"Kamu gak nanya siapa dia?"
"Maksudku, wanita tadi yang bersamaku?"
"E-oh, dia siapa? Teman atau pacar?"
"Kalo dia pacarku, bagaimana?" Ia berubah serius. Alisnya meningkat sebelah kiri. Seolah memastikan.
"Ya, tidak apa." Ujarku santai.
Daren melangkah mendekatiku. Memegang kedua pundakku, dan mengunci tatapanku. Ok, sekarang aku merasa tidak nyaman.
"Arlena? Kamu pikir aku bisa mempunyai pacar, saat tiga bulan lagi aku sudah berencana untuk melamarmu?"
"Ya, bisa saja."
"Arlen?! Kamu samakan aku dengan laki-laki brengsek itu?!"
Aku tak bermaksud seperti itu. Sungguh. Daren dan Farsan berbeda.
"Ti-tidak, sungguh aku tak bermaksud begitu. Maksudku, jika kamu memang mempunyai pacar, atau seseorang yang kamu cintai. Tinggalkan aku. "
"Sialan!!!"
"Daren?"
"Aku meninggalkan kamu, saat bahkan kak Rendra tahu aku mau ngelamar kamu, Len?"
"Gak papa, hanya Bang Rendra yang tahu. Aku yang akan mengurusnya. Kamu berhak untuk bersanding dengan orang yang kamu cintai dan itu bukan aku. Aku akan terima, Daren."
"Arlen?! Katakan padaku, seberapa banyak trauma yang kamu rasakan? Yang masih tersimpan di hati kamu? Seberapa banyak kamu ditinggalkan?" Air mukanya tambah mengeruh. Aku tahu mungkin Daren susah muak denganku. Dan aku masih diam tak bisa menjawab. Aku tak ingin menghitungnya. Bahkan, aku tak ingin mengingatnya.
"Arlene, dengarkan aku. Aku hanya cinta sama kamu. Sialan, wanita tadi yang bersamaku, hanya klien aku. Gak lebih. Dan aku gak se-brengsek dia yang ninggalin kamu."
Mungkin Daren sudah lelah dan akhirnya mengeluarkan semua amarahnya padaku.
Kalo dia tanya trauma? Aku tidak tahu. Hatiku sudah mati. Aku terlalu lama berkutat dengan ambisi sendiri, kuliah dengan cepat dan nilai yang memuaskan, karir yang cemerlang. Beberapa tahun itu yang aku perjuangkan sekuat tenaga dan pikiran.
Jadi, untuk kesekian kalinya aku rela ditinggalkan oleh orang disekitarku.