"Can you love me without prejudice?"
─ calazura ─
🌧️
🌧️
🌧️
(i)
Sampai petugas perpustakaan mengenakan mantel hangatnya, Namjoon masih urung meninggalkan buku tebal yang belum berhasil ia rampungkan dalam minggu ini. Jika mahasiswa lain disuruh segera pergi menjelang jam tutupnya perpustakaan, maka Namjoon tidak.
Namjoon sering membantu menyusun buku di rak dan melakukan pembukuan. Bisa dibilang ia magang tetap. Meski ia tidak menganggapnya demikian.
"Pulanglah. Ini sudah malam dan kurasa sebentar lagi hujan akan turun, Namjoon-ah!"
Ia melirik arlogi silver di pergelangan tangan kiri. Setengah delapan malam. Apakah Seokjin sudah selesai?
"Ck, segera hubungi Seokjin dan seret dia pulang!" Namjoon hanya terkekeh mendengar omelan pegawai berkulit pucat itu. Ia benar-benar sudah hafal apa yang ada dalam kepala Namjoon: Seokjin.
"Baiklah, Hyung. Aku akan segera pergi dari sini. Tapi kurasa aku akan menunggu Seokjin di halte seperti biasa."
"Terserah, dasar bodoh!" umpat Min Yoongi seraya berkacak pinggang melihat punggung Namjoon yang tertelan pintu perpustakaan.
Sudah tiga hari ini Namjoon rela menunggu Seokjin di kampus sampai malam hari meski kuliah mereka tiap harinya selesai tidak lebih dari sore hari.
Seokjin sedang antusias dengan segala hal berbau Perancis. Itu semua karena Namjoon pernah bercerita kalau tiap tahun dosen wali mereka merekomendasikan mahasiswa-mahasiswi terbaik untuk mendapatkan beasiswa magister di sana.
Dan kebetulan sekali, fakultas mereka baru saja kedatangan dosen Perancis baru. Menggantikan dosen tua yang seharusnya pensiun saja sejak lama. Karena sungguh, cara mengajarnya pun sudah tidak efektif lagi. Namjoon yang punya otak jenius saja kesusahan memahaminya.
Ashton, 35 tahun, keturunan Amerika, bermata hijau tua. Dosen muda yang begitu mudah menarik perhatian banyak mahasiswanya. Bukan hanya karena penampilannya yang oke, tapi caranya berkomunikasi di kelas dan di luar kelas yang begitu menyenangkan. Jiwa mudanya masih menggelora.
Dan Seokjin suka.
Pukul delapan malam. Tepat ketika Seokjin keluar dari gedung fakultas, hujan berlomba turun membasahi bumi. Tak ingin berteduh, ia nekat berlarian menuju halte yang letaknya lumayan jauh. Bagaimanapun juga ia sudah berjanji pada Namjoon untuk pulang bersama pukul delapan tepat. Seokjin tidak ingin membuat Namjoon marah karena ingkar janji.
Hujan disertai angin membuatnya sesekali kehilangan keseimbangan dan menelan banyak tetesan air hujan. Namun ketika melihat badan tegap Namjoon yang melengok di bawah penerangan lampu halte, ia tersenyum lega. Kecepatan larinya bertambah tanpa ia sadari.
"Seokjin! Kenapa hujan-hujanan?" Namjoon benar-benar mengutuk mulut Min Yoongi karena hujan benar turun sebelum mereka sampai rumah.
Yang kehujanan justru pamer senyum seolah baru saja bermain-main. "Ingin cepat pulang."
Namjoon hanya bisa menghela napas berat melihat tubuh Seokjin yang basah kuyup dan menggigil. "Kau pasti kedingingan." Ia membuka tas ransel yang ia dekap dan mengeluarkan kaos bersih untuk mengeringkan kepala Seokjin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cafuné (✓)
Fanfiction[Oneshot] - college students | childhood friend to lovers | mutual pining | hurt comfort. - content warnings: bad rumors and misunderstandings.