(Bukan) Pecundang
Gyora HpsariAku terus menunduk, gamang. Pikiranku kini berkecamuk.
_Aku harus bagaimana?_ batinku bertanya.
Wanita yang kucintai tampak sudah tertidur pulas, bergelung dalam selimut. Aku tahu ia kecewa. Ini bukan hanya menjaga perasaannya, tetapi juga ibu.
"Kamu jadi lelaki itu yang tegas, Di," kata ibu saat itu. "Dia tak bisa diandalkan. Sebenarnya wanita macam apa yang kamu nikahi itu. Sudah ibu katakan dari awal, ibu ndak setuju. Kamu itu selalu saja ngeyel," lanjutnya.
Aku tak sanggup jika harus menikah dengan Aisyah, lalu menduakan Ana. Ini akan menyakiti hatinya. Namun, jika tidak memenuhi permintaan ibu, aku takut durhaka.
Aku menyugar rambutku, lalu mengacak-acaknya. Ah, kepala ini seakan mau meledak. Dari awal aku sudah memutuskan pisah rumah dengan ibu. Tujuanku agar Ana bisa jadi satu-satunya ratu di rumah ini. Namun, ternyata salah. Wanita yang melahirkanku 25 tahun silam itu tetap saja mengatur hidupku.
"Jika Ana tidak mau dimadu, ceraikan saja!" Ibu memberikan sebuah pilihan yang rumit.
"Bu, kasian Ana. Dia yatim, ibunya pun kini pergi merantau. Aku sudah berjanji akan menjaga dan menemaninya hingga akhir hayat nanti."
"Omong kosong apa? Dia itu mandul. Wanita manja. Dia hanya jadikan sakit sebagai alasan untuk tidak mau hidup susah. Nyadong lelaki, enak bener hidupnya."
"_Astaghfirullohal 'adzim_ mengapa ibu sampai punya pikiran seperti itu? Ana tidak pernah minta apapun, Bu. Dia itu juga kerja. Soal anak, itu hak Alloh."
"Ngeyel kamu! Andaikan Masmu Wito mau, sudah aku suruh nikah sama Aisyah. Dia janda kaya, masih muda. Kurang apalagi?"
"Mas Wito yang duda saja tidak mau, apalagi Adi, Bu."
Perdebatan itu selalu saja terjadi. Aku tetap bertahan dengan pendirianku. Mendua itu bertentangan dengan prinsipku. Cuma Ana. Ya, dia istriku satu-satunya. Soal ibu, aku berusaha mencari cara meluluhkan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pecundang
RomanceHanya kisah tentang seorang lelaki yang mencintai istrinya. Pertengkaran itu pati ada. Anggap saja bumbu rumah tangga.