SEHARUSNYA

6 1 0
                                    

SEHARUSNYA

---

Di antara bebunga yang sedang berbisik, dan  reranting saling berbicara. Lalu di sudut kamar, ada mainan anak berserakan.

Di antara boneka-boneka yang tertunduk diam. Di balik pintu, serak dedaun kering, rerimbun semak dan belukar masih mengalunkan mantra tentang perpisahan. Di sana terlihat selengkung jalan setapak yang berujung menuju hutan tempat para peri berpesta. Tersibak kenangan tentang dia,

“Galuh,” bisiknya nyaris tak terdengar.

---

“Kenapa tiba-tiba menulis lagi?” Galuh menelisik, sambil memainkan buih latte yang baru saja tersaji.

“Tadi sebelum ke sini aku hujan-hujanan sambil nyuci mobil.” Arya mengalihkan pembicaraan sambil menatap perempuan di hadapannya.

Beberapa tahun terakhir ini Arya memang tidak aktif menulis lagi seiring dengan kesendirian yang tersudahi sejak pertemuan dengan Galuh. Perempuan itu dikenalnya ketika menonton pagelaran musik underground. Hari-hari mereka setelahnya dipenuhi dengan bermacam janji dan berbagai pertemuan -- makan, membaca, berenang, mendaki – berlari di setiap pantai.

“Saat perjalanan pulang terakhir kemarin, di pesawat aku nonton film tentang anak kecil yang penuh mimpi dan imajinasi. banyak kisah jenaka dia bersama sahabat-sahabatnya. Masa kecil yang sangat kaya,” ujar Arya.

“Christopher Robin?” Galuh menebak.

“Betul,” jawab Arya. Senyumnya tersungging bersama sesapan kopi tubruk arabica single origin bajawa. Kopi favorit yang berasal dari sebuah kota kecil di Flores.

Dan di balik jendela cafe, langit kembali terlihat murung. Gelap dan muram. Mereka kemudian kembali terdiam agak lama dari biasanya.

“Besok pagi aku menjemput anak-anak dan mamanya di bandara. semua sudah kusiapkan agar mereka langsung betah di sini.” Arya tertunduk dalam.

“Oh, oke. Jadi ini pertemuan terakhir kita di sini?” Galuh mencoba memastikan untuk sesuatu yang sudah pasti.

Ya kepastian setelah segala pengelabuan ini berakhir. Segalanya akan kembali terdampar pada yang seharusnya.

---

Di sudut kamar Arya kembali menulis. Menuangkan berbagai kerinduan dan kesunyian di tengah celoteh riang anak-anak dan perempuan yang dipanggil mama.

Di sini, di rongga dada ini
Sekelumit kisah kita tersimpan rapih
Dan di antara memerah darah pun degup
Tertatih menata hati
Demi sebuah keharusan

Tulis Arya lalu menutup laptop dan bergabung dengan mereka yang tengah menantinya melengkapi keriangan.

---

Di sudut kota lain, Galuh mengaduk-aduk buih latte. Duduk sendiri. Tak henti tatapannya dialihkan ke arah luar kaca. Berharap seseorang akan datang dan menemani. Mungkin.

“Permisi, Mbak, lima belas menit lagi kami akan tutup. Sepertinya laki-laki itu tak akan datang.”

Teguran seorang pelayan menyadarkan lamunan Galuh. Ia segera beranjak dan meninggalkan secarik kertas di atas meja.

[Aku masih menunggu di sini]

Selesai

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEHARUSNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang