Kewajiban
-----------------
Widyaningrum Khrisna Murti🌷🌷
"Di ... Mardi ...." Suara ketukan menganggu tidurku. Siapa juga yang mengganggu tidur siangku. Kuacuhkan.
"Mardi ...." Lagi, panggilan dan ketukan terus bersahutan. Argh, berisik sekali.
"Siapa!?" gertakku.
"Mbah Wali, Di." Suara itu rasanya tak asing. Aku kenal betul. Belum sadar penuh, aku masih menerka suara. Baru sekian detik kemudian aku tersadar.
"Mbah Wali?"
"Iya, Di."
Ah, bukan. Maksudku tadi bertanya pada diriku sendiri. Meyakinkan apa yang berkelebat cepat dalam kepala.
"O, nggih, Mbah. Sebentar." Bergegas kuraih kaus yang berada di samping guling. Kemudian menuju jendela yang sedari tadi di ketuk Mbah Wali--tetanggku yang sudah renta dan sering sakit-sakitan--.
Kubuka jendela perlahan. Dari balik teralis kayu, kulihat wajah tuanya. Sedikit pucat. Tertutup keriput yang masih menyisakan guratan ayunya.
"Wonten nopo, Mbah?"
"Bisa telponkan anakku, Di? Aku mau ke Rumah Sakit." pintanya. Astaga, tubuh Mbah Wali bergetar pelan. Mbah Wali pasti sedang sakit.
"Ya, Mbah. Nggih. Sebentar." Kusambar benda pipih yang terletak di meja kamar. Berjalan sembari menelpon Mas Wandi--anak pertama Mbah Wali--. Tidak diangkat.
Kukantongi gawaiku, yang penting kuantar dulu Mbah Wali ke Rumah Sakit. Bergegas kuhampiri Mbah Waliyem--janda tua yang hidup tinggal sendiri di rumahnya--.
"Mbah." Kuraih lengan Mbah Wali. Membantunya berjalan. Langkahnya sangat lambat dan harus dibantu dengan tongkat.
"Mbah, sakit apa?" tanyaku lembut sembari terus memapah dan mensejajari langkahnya.
"Dari kemarin perutku sakit, Di." Iya, badan Mbah Wali terasa panas. Nenek tua ini pasti kesakitan semalam.
"Mbah, sudah makan?"
"Tadi aku yo wis masak bubur. Tapi ndak bisa makan. Muntah."
Ya Allah, kasihan sekali simbah ini. Sayang, anak-anaknya tidak ada yang dirumah. Keempat anaknya merantau.
"Mbah duduk di sini dulu, nggih. Mardi ambil motor." Kududukan perlahan Mbah Wali di kursi teras.
Aku berlari mengambil helm, jaket dan motor. Tak lupa juga mengecek isi dompet. Alhamdulillah, kemarin dapat upah dari juragan beras, bantu angkut gabah kering. Buruh serabutan gajinya tidak pasti.
🌷🌷
Sudah dua malam di ruangan bercat serba putih dengan aroma khas, obat. Mbah Wali belum membaik, kondisinya justru semakin menurun. Kata dokter, ginjal Mbah Wali rusak, harus operasi. Aku tak begitu paham, yang kutahu, Mbah Wali sakit parah dan anak-anaknya harus segera datang.
Aku berdiri dari dudukku. Masuk ke bangsal dan melihat Mbah Wali terbaring lemas di atas dipan. Kasihan sekali.
Kuambil gawai dari kantonganku. Kuputuskan mencoba menghubungi kembali anak-anak Mbah Wali.
Kuawali dengan menelpon Mas Wandi, anak sulung Mbah Wali. Nada sambung berdengung nyaring ditengah hening lorong klinik. Telepon tersambung.
"Assalamualaikum," suara berat dari seberang mengingatkanku saat kecil bermain layang-layang di pematang sawah, setiap hari selesai sekolah sampai menjelang maghrib selalu diajaknya aku. Sampai simbok marah dan memukul pantatku dengan sapu lidi.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAKON
Short StoryKumpulan cerpen tentang kehidupan. Menyajikan cerita mengenai pahit manisnya hidup. Menyentuh dan inspiratif.