(Don't) Stop this train...

5.6K 684 49
                                    

So scared of getting older
I'm only good at being young
So I play the numbers game
To find a way to say that life has just begun — John Mayer, Stop this train

So scared of getting olderI'm only good at being youngSo I play the numbers gameTo find a way to say that life has just begun — John Mayer, Stop this train

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hal paling menyebalkan saat mudik ke kampung halaman adalah harus mendengar pertanyaan 'kapan nikah?' yang berkumandang di sana sini bagai adzan. Kalau udah ada calonnya masih mending, masalahnya aku sedang jomlo.

Meski setiap tahun udah banyak activist amateur yang menyuarakan tentang betapa tidak sopannya pertanyaan seperti itu, tapi tetap ada aja yang masih menganut mazhab pertanyaan kapan nikah sebagai topik wajib pergaulan dunia.

Berbagai jurus andalan penangkal pertanyaan laknat selalu aku pikirkan selama perjalanan pulang.

"Tante mau bayarin uang gedungnya?"

"Om mau nyariin jodohnya?"

"Kalau bisa pesan gedung bonus mempelai, Joddy nikah besok deh."

"Nikah kan seumur hidup sekali, Joddy nggak mau sembarangan memilih pasangan."

Dari jawaban paling serius, jawaban becanda setengah serius sampai jawaban paling ngajak berantem udah aku coba semua. Kalau sekarang sih udah punya format yang paten "Doain ya supaya cepat ketemu jodohnya"

Dengan harapan orang yang bertanya juga benar mendoakan aku sungguh-sungguh, bukan basa-basi yang beneran basi.

Bertemu dengan orang yang pas dan cocok di usiaku sekarang lebih susah daripada saat aku masih di awal 20-an.
Biar aku elaborasi, waktu masih berumur 18 sampai awal 20-an aku nggak punya kriteria khusus untuk pasangan.
Standar aja, diajak ngobrol nyambung, penampilan nggak perlu tampan rupawan yang penting lumayan. Bisa jadi kenal karena satu kampus atau mutualannya teman. Historikal keluarga, ras-nya dari mana, profesinya apa, gimana style-nya, selera parfum sampai selera musiknya nggak masuk dalam pertimbangan.

Kalau sekarang? Setelah usia mulai kayak lari sprint menuju tiga puluh, penghasilan juga mulai stabil membuat kriteria terhadap kaum adam semakin banyak. Satu kriteria yang nggak terpenuhi aja bisa langsung mengibarkan bendera merah, alias gugur.

Seperti ketertarikanku yang tiba-tiba padam pada pria yang duduk disebelahku. Padahal postur badannya atletis, tinggi tegap, wajah juga lumayan. Tapi...

"Dari liburan?" tanyanya padaku sambil mengunyah bekal nasi rendang yang baru dia keluarkan dari tas.

Terima kasih untuk Mas ini karena sekarang satu gerbong bisa mencium aroma nasi padang.

Dilema apabila bertemu stranger yang mulai bertanya-tanya, jawab jujur atau jangan?

"Dari pulang Mas." Aku memilih menjawab jujur.

Si Mas Nasi Padang mengangguk. "Orang Bandung? Ke Jakarta kerja?"

Sekarang gantian aku yang mengangguk. Sebenarnya aku bukan orang asli Bandung, hanya orang tua memang sudah lama tinggal di sana. Tapi bagian aku kerja di Jakarta, benar kok.

Tapi aku malas menjelaskan.

Kami berdua diam. Aku pun kembali melihat ke jendela menikmati pemandangan sementara si Mas Nasi Padang kembali sibuk dengan nasi rendangnya.

Mungkin karena aku sudah kelamaan jomlo dan udah ngebet menikah, jadi setiap ketemu laki-laki, aku langsung membuat penilaian yang berujung dengan konklusi apakah laki-laki ini bisa masuk kategori 'potential' atau nggak.

Aku menengok tipis ke arah si Mas supaya tidak terlalu kentara kalau aku tengah mengintipnya.
Dari sepatu yang dia pakai kayaknya dia lebih sering di lapangan, sneaker putihnya hampir berwarna coklat kehitaman, setiap dia bergerak hoodie-nya tercium aroma minyak angin bukannya wangi parfum. Ouch... sekarang dia sibuk mengambil gambar nasi rendang yang udah hampir habis menggunakan ponselnya.

Aku menghela nafas, sudah cukup observasinya.

Bukan tipeku.

"Maaf ya nggak nawarin, cuma bawa satu," Si Mas tiba-tiba menawari.  Aku yang sedang mengintipnya makan sambil sedikit melamun sontak terpekik kaget.

"Nggak apa-apa Mas, saya sudah makan." Aku tersenyum simpul.

"Maaf juga ya kalau baunya menyengat," lanjutnya. Duh, kalau sadar diri gini aku jadi nggak enak tadi sempat protes walau dalam hati.

"Dibawain Mama saya, jadi saya harus lapor kalau makanannya udah saya makan. Biar senang." Aku si Mas sambil nyengir lalu menunjukkan hasil foto makanan di layar ponselnya.

Mendadak hatiku menghangat. Semua penilaian yang serba minus dari si Mas langsung bubar jalan. Tergantikan dengan perasaan kagum. Ada berapa banyak anak laki-laki yang nggak malu makan bekal dari Ibunya yang dibungkus kertas minyak pakai karet dan di makan di perjalanan?

Astaga.

Aku benar-benar terpukul. Ternyata nggak bijak buat menilai orang hanya dari penampilannya aja.

"Pasti enak ya, habis gitu," ujarku bermaksud mengurangi perasaan bersalah karena tadi sempat jadi orang yang judgemental.

Dia tertawa. "Iya, enak. Belum sarapan juga."

"Ke Jakarta liburan?" giliran aku yang bertanya perlahan mengorek informasi tentang cowok ini.

"Lagi ada kerjaan."

Aku mengangguk.

"Suka design?" tanyanya seraya melihat ke buku berjudul Work for Money, Design for Love yang sedang aku pegang.

"Oh, iya tapi bukan profesional. Aku bikin tote bag terus model-model gambarnya aku coba design sendiri," jelasku semangat.

Menit berikutnya aku tahu kalau dia adalah konsultan design interior yang hobi naik gunung.
Sepanjang perjalanan kami mengobrol tanpa henti dari bercerita tentang seni, hobi, sampai ke issue lingkungan saat ini.

Tanpa terasa kereta kami sudah berhenti di Gambir.

"Dijemput?" tanyanya padaku ketika kami sama-sama keluar gate.

Aku menggeleng. "Ojek online, deket kok."

"Raga!" teriak seorang wanita berambut panjang terurai sambil setengah berlari menuju ke arah kami. Tanpa basa-basi langsung menghabur ke pelukan si Mas Nasi Padang yang ternyata bernama Raga.

Saking serunya ngobrol sampai lupa bertukar nama.

Aku menepi, meninggalkan mereka dengan urusannya.

Takdir memang lucu, aku yang awalnya nggak suka, sampai akhirnya kenal dan tertarik kemudian dibuat patah hati bahkan sebelum aku diberi kesempatan buat mengenalnya lebih dalam lagi.

Selalu begitu.
Aku suka, tapi dia nggak suka.
Aku suka, tapi dia ada yang punya.
Aku suka, dia suka tapi setelah dijalani banyak hal yang sulit dikompromi.
Dia suka tapi aku nggak cocok.

Entah kapan kata 'tetapi' tidak ada diantara aku dan 'siapapun dia'.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JODOH JODDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang