Morning Shore

3.8K 322 52
                                    

Suara ombak yang menggelung naik, datang bergantian secara teratur menyapu tepi pantai sampai meninggalkan jejak basah di pasirnya. Laut begitu tenang seperti hari-hari sebelumnya. Ada suara burung camar sebagai pelengkap ributnya suara ombak yang datang satu-satu mengelilingi laut dan menghilang cepat sekali entah kemana.

Mata Namjoon terpaku pada sebuah kapal feri yang satu jam lalu sudah meninggalkan pelabuhan. Dia penasaran kenapa kapalnya tak juga menghilang dari pandangan, seperti tidak bergerak sama sekali.

Hari ini angin pantainya agak sedikit dingin. Mungkin karena hujan tadi malam. Bahkan bau tanah basahnya masih tercium kuat ke dalam hidungnya. Namjoon mungkin tampak tua dan hampir kehilangan kekuatan untuk melakukan apa-apa. Tapi tubuhnya masih tegap, kakinya masih kuat berjalan jauh meski harus beristirahat sepuluh menit setiap setengah jam, dan matanya masih awas. Tangannya boleh saja sudah mengkerut dengan rambut yang memutih, tapi wajahnya masih bisa disebut tampan di antara pria yang seumuran dengannya.

Senyum Namjoon tiba-tiba membentuk manis di wajahnya yang nyaris penuh kerutan saat kepalanya mengingat suami tersayangnya, Kim Seokjin. Pipinya tak lagi kencang tapi lesung pipinya masih terlihat jelas. Bahkan Seokjin bilang dia masih tampak seperti dirinya yang muda dulu. Manis, lucu, tapi menyebalkan karena suka melontarkan candaan ringan yang mengarah ke hal mesum. Tipikal Kim Namjoon sekali.

Di tangannya tergenggam lemah sebuket kecil berisi enam tangkai bunga mawar putih dengan satu bunga matahari kecil di tengah-tengahnya. Ini bukan buket bunga biasa jika dilihat dari kombinasi penataannya. Tapi, bagi Namjoon ini spesial karena kesukaan Kim Seokjin.

Terbayang kenangan lama di kepala Namjoon. Semuanya masih terasa seperti terjadi kemarin, jelas sekali bahkan sampai kalimat-kalimat yang dilontarkan Seokjin padanya. Senyumnya tak bisa hilang sampai rasanya ingin tertawa membayangkan wajah lucu kesayangannya mengomel lucu. Tingkah Seokjin semuanya menggemaskan, bahkan suara tawanya saja khas sekali.

Teringat saat mereka baru pertama kali bertemu.

Tahun 1975, di kota ini, Namjoon bertemu pertama kalinya dengan seorang pekerja bar malam bernama Kim Seokjin. Barnya bukan tempat minum-minum berpencahayaan minim dengan pelanggan brutal yang sudah tak bisa membedakan mana asli dan halusinasi. Tempatnya malah seperti tempat persinggahan para penjual dan pedagang luar daerah yang melancong ke kota ini sebelum pergi esok hari. Barnya cukup kondusif dan hanya menerima tamu yang benar-benar punya sopan santun.

Namjoon saat itu datang sebagai tenaga pengajar sukarela dari ibukota. Dia lulusan perguruan tinggi terkenal dan kesayangan para dosen. Membuatnya cukup dikenal dan disambut sorak sorai bahagia dari penduduk dan walikota. Katanya, dia membawa cahaya terang untuk generasi muda di kota itu yang memang sedang butuh pengajar kompeten yang bersedia digaji sekenanya. Namjoon awalnya menolak dan ingin sekali cepat-cepat dipindah ke kota lain. Tapi melihat keadaan kotanya yang tenang dan aman, Namjoon jadi ingin membuat rumah di sini secepatnya.

"Bisa saya ambil pesanannya sekarang, Tuan?"

Suara lembut seorang pramusaji membangunkan telinga Namjoon yang sibuk berpikir tentang rencana pengajaran minggu depan. Dia terlalu tenggelam pada pikirannya sampai lupa kalau dia datang untuk melepas penat dan kecemasannya.

Namjoon pun mengambil buku menu di atas meja dengan gerak terburu-buru. Matanya menyipit beberapa kali membaca tulisan di menu yang punya 10 dari 15 minuman dengan nama aneh. Apa itu kolia magnola? Apa itu sejenis minuman dingin warna biru kehijau-hijauan dengan asap menyembul? Apa itu aman?

"Uhm... saya ingin... hmm..." Namjoon tergagap, ragu dengan menu yang ingin dipesannya. Entah kenapa tak ada satupun yang menarik perhatiannya. "Bisa tolong rekomendasikan sesuatu untukku?"

Morning Shore  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang