GUNADHYA (DUA TIGA)

1.5K 48 3
                                    

Awan sudah mulai gelap, bukan karena sebenatar lagi malam, tetapi sepertinya awan akan meneteskan air hujannya. Namun, seorang gadis yang masih lengkap dengan pakaian sekolah tak juga kunjung pulang ke rumahnya, alasannya adalah karena sang ibu belum juga kunjung menjemput.

Sheera mengecek ponselnya kembali, untuk segera menghubungi Darra. Sedari tadi saat ia keluar dari kelas ia sama sekali tak menemui Darra, Sheera jadi penasaran di mana sang kakak.

Kedua mata bulatnya menyusuri seluruh jalan yang sudah hampir sepi. Ia menghela napas lelah, dia yakin kali ini ditinggal pulang lagi.

Perlahan rintik hujan turun sedikit demi sedikit. Sheera memundurkan tubuhnya agar tak terkena air. Sungguh ini yang dinamai penyesalan, jika tau begini lebih baik ia naik angkot atau taksi saja tadi.

Sheera berdecak kesal saat melihat ponselnya tiba-tiba mati, dan sekarang ia semakin bertanya menyesal. Jika tadi ia tak mamakai ponselnya untuk mendengar musik, mungkin sekarang ia bisa memesan taksi.

Sheera mengelus lengannya untuk mengurangi rasa dingin yang begitu menusuk. Bukannya berhenti hujan malah semakin deras.

"Gimana ini," keluhnya sambil menyorot jalanan dengan tatapan sedih. Sungguh benar-benar hari yang mengesankan.

***

Sheera menyeka air di wajahnya. Sekian lama menunggu di halte akhirnya ia dapat kembali pulang ke rumah. Saat memasuki rumahnya suara tawa langsung menyambutnya, entah mengapa Sheera sangat ingin masuk ke antara dua orang itu.

"Dari mana?" Renata yang sedari tadi tawa langsung merubah raut wajahnya menjadi datar, saat melihat Sheera baru saja pulang dengan keadaan basah kuyup.

"Sekolah, Ma," jawab Sheera sambil memeluk dirinya sendiri.

"Sekolah?" beo Kristal tak percaya.

"Sekolah apa sampai jam segini?" Renata bersidekap dada. Menatap Sheera setajam mungkin.

"Aku nungguin Mama di halte," balas Sheera dengan suara serak menahan tangis. Sungguh tubuhnya saat ini benar-benar lelah.

"Alah alasan kamu!" bentak Renata.

"Bener, Ma," bantah Sheera.

"Semakin hari semakin enggak bisa diatur," geram Renata mendengar Sheera yang membalas ucapannya.

"Masuk kamu ke kamar!" suruh Renata. Darra mendengar ucapan ibunya mencebik kesal, padahal dia ingin melihat Sheera lebih menderita lagi. Namun, mau bagaimana pun Renata seorang ibu, ia tak tega melihat raut kelelahan serta tubuh menggigil putrinya, walau ia juga sangat membenci Sheera.

"Mama kenapa suruh dia ke kamar?" Darra mendaratkan bokongnya secara kasar. Menatap Renata dengan kesal, sungguh ia berharap lebih.

"Biarin aja," titah Renata santai. Darra bersedekap dada, sungguh kapan-kapan ia yang akan berprilaku lebih.

"Mama ih." Darra melangkah pergi masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Renata yang langsung menyorot kamar Darra dengan sorot sendu.

Di kamarnya Sheera langsung bersih-bersih lalu bergelung di bawah selimut. Sheera jadi tak yakin jika ia besok baik-baik saja. Sheera memejamkan matanya, membiarkan ia terlelap ke alam mimpi. Ke alam yang selama ini membuatnya bahagia.

***

Sheera menghela napas saat makan malam mereka sama saja seperti biasanya. Darra yang selalu menyindir, Renata yang selalu bersikap sinis, dan Sheera yang seolah tak terlihat. Jujur saja Sheera merindukan masa-masa saat ayahnya masih ada, tak ada suasana yang terasa begitu canggung seperti saat ini.

"Mama terbaik." Darra memeluk Renata erat. Renata tersenyum sambil membalas pelukan putrinya itu, putri yang beberap tahun ini sangat dekat dengannya.

"Aku mau dibeliin ponsel baru dong, Ma." Renata mengangguk mengelus surai indah mikik Darra.

"Thanks, Mom."

"Apa pun untuk kamu," balas Renata sambil tersenyum lembut.

Dibalik kebahagiaan mereka ada Sheera yang bertahan mati-matian tak menangis. Ia sangat rindu ibunya, rindu pelukan hangat dari Renata, yang dulu sangat sering ia rasakan.

"Ma, besok ayo ke makan Papa."

"Aku ikut," sambar Sheers cepat.

Renata dan Darra menatap Sheera aneh. Membuat Sheera menyadari sesuatu, tak mudah mengobati luka kedua orang yang ia sayangi ini.

"Aku enggak mau kalau sama dia!" Darra menunjuk Sheera tak terima.

"Dia enggak ikut." Bahu Sheera melorot lesu mendengar jawaban dari Renata. Padahal ia sangat ingin bertemu dengan ayahnya walau tidak secara langsung, tetapi Sheera rasa tidak semudah itu, karena Darra dan Renata tak akan pernah mengizinkannya. Apa lagi selama ini mereka menuduh Sheera sebagai penyebab kematian sang kepala keluarga mereka.

"Sheera ke kamar, Ma." Sheera berlari pergi menuju kamarnya. Sudah cukup, air matanya tak bisa Sheera bendung lagi.

Di dalam kamarnya Sheera tak dapat membendung air matanya. Jika waktu bisa diulang Sheera tak mau bermain bola dan menyebabkan Papanya meninggal. Namun, bukankah semuanya takdir? Lalu kenapa semua orang masih menyalahkannya.

Jangan lupa vote dan komen
Follow juga akun instagram
@Dilla_mckz
@Mckz_stories
Jangan lupa follow akun wattpad ini juga. Salam cinta semuanya.

Selalu jaga kesehatan
Jangan lupa pakai masker dan cuci tangan.

Gunadhya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang