Seorang gadis dengan pakaian serba hitam menatap keluar jendela kamarnya. Matanya tak lepas dari dua orang yang sedang memasuki mobil. Tak mau buang-buang waktu gadia dengan hijab di kepalanya itu berlari keluar dari kamar, memutuskan mengikuti mobil yang baru saja pergi dari halaman rumahnya. Untung saja ia sudah memesan taksi, jadi tak perlu lagi menunggu.
"Ikutin dari jauh aja, Pak." Sang Sopir mengangguk tanda mengerti. Sheera bergerak gelisah di tempatnya. Walau sudah bertahun-tahun papanya meninggal, baru hari ini Sheera berani datang ke sana. Sebenarnya sedari dulu Sheera sangat ingin mengunjungi sang cinta pertamanya itu. Namun, Darra dan Renata melarang keras, bahkan tak pernah mau memberi tau letak makan papanya.
Dulu Sheera pernah mencoba mencari ke pemakaman umum terdekat. Namun, hasilnya tetap nihil. Sekarang Sheera tak bisa menahan dirinya lagi, mau apa pun resikonya ia harus bisa bertemu papa.
Sheera mengernyit saat melihat mobil yang dikendari Renata berhenti di rumah masa kecilnya dulu, tak mungkin makan papanya ada di sana.
"Makasih, Pak." Sheera bersembunyi di belakang pohon yang lumayan besar. Memantau Darra dan Renata dari sana.
Sheera berjalan dengan hati-hati di belakang keduanya. Dalam hati Sheera berdoa agar Renata dan Darra tak sadar jika sedari tadi ia menguntit keduanya, Sheera tak bisa berbohong jika ia sangat merindukan ayahnya.
"Taman belakang?" bisik Sheera tak paham saat melihat kedua orang berbeda usia itu ke arah taman belakang rumahnya yang masih tetap indah, walau sudah lama ditinggali.
Sheera mengernyit. Sedari dulu dia tak tau jika di belakang rumahnya ada suatu tempat yang diberi pagar? Setelah Renata dan Darra memasuki tempat itu, sekarang giliran Sheera dengan hati-hati membuka pintu pagar hitam tersebut.
Tubuh Sheera membeku saat melihat gundukan tanah dengan nisan bernama Papanya. Jadi selama ini mereka menyembunyikan ini semua kepada Sheera?
"Sheera!" Sheera tersentak kaget saat menyadari Renata dan Darra sudah menyetahui keberadaannya.
"Kurang ajar!" maki Renata menatap Sheera marah.
"Lancang kamu sampai ngikuti kami ke sini." Renata menunjuk wajah Sheera. Membuat air mata Sheera langsung luruh seketika.
"Kenapa?" lirih Sheera dengan wajah penuh air mata. Ia masih tak percaya jika selama ini makam papanya berada di dekatnya.
"Kenapa Mama sama Kakak sembunyuin ini?" teriak Sheera dengan suara serak. Bahkan ia tak peduli jika penunggu tempat ini akan marah kepadanya.
"Kenapa Sheera enggak boleh tau?" Sheera menunduk dalam menyembunyikan wajahnya yang sudah berwarna merah.
"Ini semua salah lo!" Darra menarik hijab Sheera hingga terlepas. Lalu mendorong Darra hingga tersungkur di rerumputan. Sheera terisak kencang, ia tak tau harus bagaimana.
"Kalau lo enggak manja Papa enggak bakal pergi!" Darra memukuli kepala Sheera, Sheera yang diperlakukan seperti itu hanya menghalau kepalanya dengan tangan mungilnya, dan Renata hanya bisa diam dengan kedua mata yang sudah memerah.
"Pembunuh!" teriak Darra sambil memukul Sheera membabi buta.
"Sheera bukan pembunuh." Sheera menutup wajahnya saat Darra sudah mundur menjauh dari tubuhnya. Tubuh Sheera bergetar hebat, kilasan masa lalunya seketika hadir saat ini.
"Lo pembunuh!"
"Karena lo Mama jadi janda, dan gue jadi anak yatim!" jerit Darra langsung pergi meninggalkan makan papanya.
Renata menyorot Sheera kecewa. Walau sudah terjadi sangat lama, luka dalam dirinya masih ada bahkan semakin parah.
"Saya kecewa. Seharusnya kamu jangan datang ke sini." Renata melangkah pergi. Meninggalkan Sheera yang semakin terisak hebat.
Sheera sadar ini salahnya. Ia juga tak mau menyalahkan Renata dan Darra yang sudah bersikap seperti ini. Karena Sheera juga paham bagaimana rasanya kehilangan, jadi Sheera mewajarkan mengapa keduanya bersikap seperti itu. Namun, Sheera tak bisa bohong. Hatinya juga sakit setiap kali mendapatkan prilaku seperti ini.
"Sheera." Sheera mengangkat kepalanya. Menatap sendu seseorang yang berada di depannya. Seseorang yang dahulu sering memeluknya saat Sheera sedih.
"Sam!" Sheera bangkit langsung menubruk Samuel dengan pelukannya. Sheera saat ini benar-benar membutuhkan sandaran.
"Kenapa aku baru tau Papa di sini?" Walau Samuel tau ia pernah membuat hati gadis di depannya ini patah. Namun, Samuel tak bisa berbohong jika ia merasakan sedih jika keadaan Sheera begini.
"Sheera cuma pengen liat Papa, Sam."
"Cup cup." Samuel menepuk pelan punggung Sheera. Membiarkan gadis itu tenang terlebih dahulu.
"Kalau kaya gini kenapa bukan Sheera aja yang dipanggil Tuhan." Mendengar ucapan Sheera membuat Samuel menjauhi tubuh gadis itu. Menghapus air mata yang sudah memenuhi wajah cantik gadis berbandana itu.
"Tuhan lebih sayang Papa."
"Tuhan enggak sayang Sheera?" tanya Sheera polos. Samuel tersenyum tipis, "Allah sayang Sheera, benget!" Sheera mengangguk, setelah itu kembali memeluk Samuel.
"Kalau Tuhan sayang Sheera. Kenapa Tuhan enggak buat Mama sama Kakak sayang Sheera?" Samuel mengeleng menolak perkataan gadis itu.
"Mama sama Kakaknya Sheera sayang sama Sheera. Cuma mereka lagi kecewa aja." Samuel bernapas lega saat merasakan Sheera yang sudah berangsur membaik. Walau gadis itu masih sesegukkan sehabis menangis.
"Sheera harap, Mama dan Kakak cepet tau kalau Sheera sayang sama mereka."
"Pasti," jawab Samuel sambil mengecup pucuk kepala sahabatnya sekaligus cinta pertamanya.
Enggak nyambung, ya?
Maaf ya, ide lagi kosong banget. Eh bukan idenya sih yang kosong, emang lagi bad mood aja.
Jangan lupa vote dan komen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gunadhya
Teen FictionBUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA! LENGKAP Baca sebelum dihapus!! Seseorang yang kau anggap pengganggu suatu saat nanti akan menjadi seseorang yang paling kamu rindukan kehadirannya.