Satu

17 1 0
                                    

"Ibu, aku tidak ingin menikah!" tandasnya dengan intonasi yang sedikit tinggi. Ia tidak menyangka jika masa mudanya akan berakhir dengan sebuah pernikahan. Ia baru lulus SMA beberapa minggu yang lalu dan tentunya ia ingin kuliah dan bekerja seperti yang ia impikan.

Namun, ia terkejut dengan Ibunya untuk menikahkannya dengan seorang pria yang sama sekali ia tidak kenali dan tentunya berselisih 7 tahun dengannya. Ia benar-benar frustasi dengan keputusan ibunya.

"Nduk, tenang dulu ... kamu harus dengar penjelasan ibu dulu," tutur sang ibu sambil membelai rambut panjang putrinya. "Ini amanah mendiang Ayah kamu, Nduk."

"Amanah, Ayah? astagfirullah." Ayu terkejut mengelus dadanya sembari beristighfar. Ia tidak tahu jika ini adalah keinginan Alm. Ayah yang paling ia sayangi itu.

"Iya, Nduk. Ayah kamu pernah bilang jika usia kamu genap delapan belas tahun, kamu akan dinikahkan sama anak sahabatnya-- Pak Ridwan." Ibunya memperjelas perkataannya untuk meyakinkan Ayu agar tidak terjadi kesalahpahaman. Tangannya mengelus lengan Ayu agar mengerti dengan keinginan Ayahnya.

"Bu, tapi ... bukankah pernikahan itu dilandaskan karena cinta? lalu bagaimana dengan kita yang akan menikah tanpa rasa cinta?" Kini Ayu beralih menatap lekat netra sang ibu. Ia merasa cemas karena pada akhirnya sesuatu hubungan yang tidak berdasar oleh cinta akan berakhir dengan luka.

"Nduk, cinta akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Cinta akan tumbuh karena terbiasa dan Ibu yakin ... kalian bisa melewati semua itu." Ibunya berujar sekali lagi sambil tersenyum lembut. Ia tahu, jika Ayu sulit menerima ini apalagi Ayu masih terbilang muda dan seusianya pun masih labil-labilnya dalam bersikap, tetapi ia tahu jika putrinya mudah diberi nasehat selama nasehat itu baik untuknya.

Ayu yang mendengar ujaran sang ibu hanya menghela napas berat, ada rasa pedih di dalam hatinya, tetapi ia tidak boleh egois karena ini adalah permintaan Ayahnya dan jika pun tidak terkabulkan bukankah itu berdosa? dan Ayahnya pun akan sedih berada di sana, Ayu tidak ingin itu terjadi, ia ingin mencoba menjadi anak yang berbakti pada kedua orang tuanya.

"Bu, apa anak sahabat Ayah tahu tentang perjodohan ini? Apa dia menerima perjodohan ini?" tanya Ayu memastikan, ia tidak ingin jika hanya dirinya yang tahu dan pria itu tidak tahu.

"Iya, Nduk, tentu saja." Ibunya menjawab pertanyaan putrinya dengan senyuman yang lembut terpatri di bibir tipisnya. Tentu saja pria itu menerima perjodohan ini karena ia pun ingin berbakti pada kedua orang tuanya sama seperti yang dilakukan Ayu.

"Jadi bagaimana? Apa kamu masih mau menerima perjodohan ini atau tidak, Nduk?" Kini Ibunya yang bertanya kembali pada Ayu. Ia ingin Ayu jujur padanya tanpa harus ditutup-tutupi.

"Hm ...." Ayu mengangguk pelan tanda setuju, Ibunya bersyukur dan bahagia karena amanah Ayahnya terjalani, ia menarik tubuh Ayu dan memeluk putrinya sayang.

Ayu membalas pelukan sang ibu dengan rasa sayang, walaupun ia masih ragu dengan keputusan yang ia ambil. Namun, ia mencoba meyakinkan hatinya agar semuanya berjalan lancar dan soal cinta? ia mengikuti cara yang dikatakan oleh ibunya itu.

Bismillahirramannirrahim, ya Allah ... mantapkan hatiku dengan dirinya, semoga dia adalah jodoh yang engkau berikan untukku." Ayu berdoa di dalam hati yang kini masih dalam pelukan sang ibu.

Sementara di sisi lain, ada seorang pria yang tengah duduk di bangku kebesarannya, ia adalah Muhammad Zikran Syarifudin. Ia tengah sibuk berkutat dengan laptopnya, mengerjakan laporan untuk bahan presentasinya nanti ketika meeting tiba.

Ruangannya begitu besar dan luas, beberapa map besar berwarna merah, biru dan hijau tertata rapi di lemari berkasnya. Ada beberapa furniture terpajang di sana dan ada sebuah kamar khusus untuknya jikalau ia ingin sholat atau pun tidur ketika kelelahan.

Cinta yang LillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang