Chapter I

22 4 5
                                    

Hari itu, diantara senja dan gelap malam disertai hujan petir menggelegar, seorang wanita berada di ambang kematian. Ia berdiri di pagar jembatan dengan rambut terurai berkibaran, tangis dahsyatnya disamarkan runtuhan air hujan.  Wanita itu terlihat memakai dress putih yang kini basah kuyup menampilkan lekuk tubuhnya. Lalu apa itu? Bercak merah yang tercetak di paha kirinya. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Di tengah suasana jembatan yang ramai dilalui kendaraan. Wanita muda itu memejamkan matanya dan membelakangi samudra itu. Tanpa keraguan, ia menjatuhkan badannya di tengah hujan badai. Ia terlihat begitu pasrah. Rambut dan dressnya pun berkibaran ke arah berlawanan. Kemudian...

" Ahhh... "

Amaya terbangun dari tidurnya, dadanya sakit seperti ditusuk ribuan jarum. Mimpi itu, mimpi yang selalu datang sebagai pengganti tangisnya di malam hari. Selalu seperti itu, sebuah mimpi yang bahkan tak ia ketahui apa maknanya.

Amaya melihat jam yang terletak di nakas kamarnya. Pukul 05.23, masih terlalu pagi untuk bangun dari tidurnya, andai saja mimpi itu tidak datang, mungkin ia sekarang masih bermanja-ria dibawah selimut. Rasanya, Amaya masih ingin bermalas-malasan di kasur kesayangannya itu. Tapi jika ia kembali tidur, pun rasanya ia tidak akan bisa kembali menutup matanya. Tak ada pilihan lain, akhirnya Amaya memutuskan untuk membersihkan diri dan bersiap untuk pergi ke sekolah.

Pagi ini hujan kembali turun, Amaya melihat gerimis itu dari kaca mobil yang dikendarai ayahnya. Di jam seperti ini biasa menjadi jam sibuk bagi semua orang, jalanan padat kendaraan. Tapi kali ini jalanan tidak begitu ramai, dengan keadaaan yang sedang hujan, tak sedikit pula yang lebih memilih berangkat ke sekolah ataupun kerja dengan menggunakan kendaraan umum, hal ini lumayan untuk membuat jalanan agak lenggang.

"Bagaimana sekolahmu akhir-akhir ini Mey?" Ayah mulai memecah keheningan di dalam mobil dengan pertanyaan-pertanyaan ringan.

"Cukup melelahkan. Akhir-akhir ini aku sibuk untuk persiapan acara tahunan." Amaya mendengus mengekspresikan rasa lelahnya.

"Acara tahunan?" Ayah bertanya penuh minat, seakan ia ingin tergabung menjadi salah satu pengisi acara di event itu.

"Setiap tahun sekolahku selalu mengadakan acara yang hampir sama seperti pensi. Tiap angkatan wajib menyajikan setidaknya satu penampilan gabungan atau dari kelas itu sendiri. Tahun ini kelasku terpilih menjadi perwakilan angkatanku, rasanya begitu berat sampai harus menyita waktu untuk beristirahat." Amaya menyerderkan punggunya yang sebelumnya ia asik memperhatikan kesibukan Ibukota.

"Setahu ayah setiap sekolah selalu mempunyai satu program tahunan yang diunggulkan. Sekolah ayah dulu juga mempunyai program demikian. Kau tahu Mey? Dulu ayah adalah ketua OSIS yang sangat terkenal. Semua siswa tahu siapa ayah, tiap hari menerima hadiah di loker, semua orang menyanjung ayah, rasanya ayah ingin kembali ke masa-masa itu, meskipun kau tahu itu tidak akan mungkin" Ayah tertawa sambil memperhatikan kendaraan-kendaraan yang melintas di sekitar mobil.

"Aku tahu, ayah sudah berkali-kali bercerita tentang itu, sampai aku bisa menebak apa yang akan ayah bicarakan selanjutnya." Amaya berpaling dan menghadap ke luar jendela. Ayah kembali tertawa, kali ini lebih keras. Tapi menurut Amaya, tawa itu cukup menyebalkan untuk didengar, tawa sombong yang amat menjengkelkan.

"Setidaknya ayah bisa bangga dengan diri ayah yang dulu. Kaupun seharusnya juga merasa demikian, bisa memiliki seseorang yang seperti ayah. Bersikap sombong di depanmu sangat menyenangkan, rasanya ayah memiliki kepuasan tersendiri yang terungkap." Tawanya semakin menjengkelkan, rasanya Amaya ingin memberi ayahnya obat unutuk menurunkan kadar sombong ayahnya, setidaknya hal ini akan membuat Amaya merasa lebih baik. Amaya hanya mendengus tanpa membalas percakapan dengan ayahnya itu.

Keadaan didalam mobil kembali senyap, hanya tersisa suara penyiar radio yang saat ini sedang membicarakan arus lalu lintas dan perkiraan cuaca untuk hari ini dan beberapa hari kedepan. Cuaca, hujan. Amaya kembali mengingat mimpinya tadi malam, kemarin malam tidak ada hujan, itulah sebabnya ia mengalami mimpi buruk itu. Tapi pagi ini, langit menitikkan air yang sudah ditampungnya, tapi anehnya Amaya tidak memiliki sedikitpun hasrat untuk menangis. Beda halnya jika hujan malam hari, Amaya pasti selalu merasakan sakit yang sangat mendalam, seperti kesedihan yang tersimpan jauh didalam diri Amaya. Hal ini menjadi pertanyaan besar untuk Amaya bertahun-tahun belakangan, tapi ia tak kunjung mendapat jawaban bahkan sedikit pencerahan akan hal yang dialaminya.

"Amaya! Amaya apa kau tidak akan turun?" Amaya terperanjat dari lamunannya, suara ayahnya mengembalikan Amaya dari lamunannya. 

"Apa yang kau pikirkan sampai tidak mendengar seruan ayah?" Amaya hanya menggeleng perlahan kemudian mencium tangan ayahnya dengan lembut. Ia keluar dari mobil dan langsung masuk ke lingkungan sekolahnya. Pikiran itu, semakin ia mencoba untuk mencari jawabannya, semakin ia dipusingkan dengan berbagai macam kemungkinan. Semua dugaan-dugaan yang ia buat sendiri rasanya tidak cukup masuk akal, seperti apakah dia pernah mengalami amnesia, ataukah dia mengalami gangguan sihir, semuanya bercampur menjadi satu di dalam kepalanya. Ah, bahkan Amaya menggolongkan ini sebagai misteri terbesar di hidupnya, yang mungkin saja berkaitan dengan masa lalunya atau apapun itu.

"Pagi Mey!!!" Amaya kaget untuk yang kedua kalinya, kali ini oleh sahabatnya. Sahabatnya yang satu ini memang memiliki suara yang sangat keras, tak pernah sekalipun ia berbicara pelan dan lembut. Tak peduli sedang berada di acara resmi ataupun berada di tempat-tempat umum, ia selalu berbicara dengan nada yang tinggi. Pundak Amaya dirangkul dari belakang dengan berjalan agak lebih cepat sambil tangannya dikibas-kibaskan ke samping.

"Pagi Anna, Rehann...Pagi Cintya, Aurel..." Amaya tidak heran bila sahabatnya itu menyapa hampir semua siswa di koridor yang dilewatinya. Dengan sifatnya yang ramah dan periang, ia hampir tahu semua nama siswa di angkatannya, bahkan senior-seniornya. Karakternya yang seperti ini juga memudahkan dia untuk bersosialisasi, punya banyak teman, bahkan ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

"Apa kau tidak bisa diam untuk sehari saja Keyla? Aku sudah bosan mendengar suara melengkingmu itu!" Amaya mulai terganggu dengan suara yang dihasilkan Keyla. Tapi dia hanya nyengir lebar sambil menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Amaya.

Sesampainya dikelas, suasananya cukup ramai. Entah apa yang mereka bicarakan, mungkin terkait dengan acara tahunan yang akhir-akhir ini selalu menjadi perbincangan utama di kalangan siswa-siswa di sekolahnya. Amaya meletakkan tasnya dan bersiap untuk upaca bendera sebelum Bimo, salah seorang teman sekelasnya menghampiri bangku Amaya.

"Mey, tadi ada titipan dari Bu Inasa tuh. Katanya kamu suruh nyamperin dia di ruang guru setelah upacara nanti." Bimo berucap sambil menunjukkan gigi gingsulnya. Dia memang tidak terlalu tampan menurut Amaya, tapi dia memiliki wajah yang cukup manis dengan kulit sawo matang khas nusantara. Semuanya terlihat sangat kompleks, apalagi jika gigi gingsulnya itu diperlihatkan.

"Oh baiklah, terimakasih infonya." Bimo mengacunkgan jempolnya sambil senyum lebar di hadapan Amaya.

~~~

Setelah upacara selesai, Amaya langsung menuju ke ruang guru untuk menemui Bu Inasa seperti yang dikatakan Bimo tadi pagi. Saat tiba di ruang guru, ia sedikit mengintip dari pintu dan melihat Bu Inasa sudah berada di mejanya sambil sibuk dengan berkas-berkanya. Tak membuang-buang waktu, Amaya langsung menghampiri Bu Inasa dan menanyakan apa keperluannya dengan wali kelas tersayangnya itu.

"Bu Inasa, apa ada yang bisa saya bantu?" Bu Inasa mendongak sambil membenarkan posisi kacamata khasnya yang menempel pas di hidung kecilnya.

"Ah, Amaya. Tolong tempelkan ini di mading-mading sekolah, ibu sudah selesai mengecek isinya." Ia memberikan beberapa kertas yang berisi promosi barang-barang serta berbagai macam makanan dan minuman yang akan dijual pada saat acara tahunan. Di acara yang sebesaar ini, semua berlomba-lomba untuk mencari keuntungan dengan menjual barang-barang yang bernilai jual cukup bagus. Mulai dari makanan, keperluan-keperluan yang mendukung pembelajaran, bahkan fashion-fashion terkini. Semua memanfaatkan kesempatan yang mungkin memiliki omset mencapai dua kali lipat dari modal yang dikeluarkan.

"Baik Bu, akan saya tempelkan segera." Bu Inasa mengangguk sambil tersenyum ke arah Amaya. 

Amaya mulai menempelkan pamflet-pamflet mini itu di tempat-tempat yang sering dikunjungi para siswa, seperti kantin, kamar mandi, lapangan dan koridor-koridor panjang di setiap jajaran kelas. Saat kertas itu tinggal satu lembar, Amaya memutuskan untuk menempelkan di mading terbesar di sekolahnya, tapi saat ia tiba di depan mading itu, tak ada sedikitpun celah untuk ia bisa menempelkan pamfletnya, kecuali, yah... kecuali sedikit tempat yang berada paling atas dari mading itu, sialnya Amaya tidak cukup tinggi untuk bisa menempelkan pamfletnya. Amaya sudah mencoba untuk berjinjit sampai meloncat-loncat agar bisa mencapai mading itu, sampai akhirnya seorang cowok mengambil kertas yang digenggamnya dan menempelkan di tempaat mading yang sudah ia mau dari awal. Saat Amaya menengok ke arah cowok itu, tunggu apakah dia?

~~~

Jangan lupa like, comment and share yah!!!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 06, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TENTANG SENJA, MALAM DAN HUJANWhere stories live. Discover now