mata madu

1.5K 97 37
                                    

Kata orang; cinta itu datangnya dari mata lalu turun ke hati.  Jatuh cinta terjadi tiba-tiba dan kita tidak bisa mengelak panah Cupid yang melesat. Menolak sama saja dengan tidak menerima takdir; itu suatu kesalahan besar dalam hidup.

10 Februari 2020, pagi nan damai dalam hidup gue terusik. Hati gue tergelitik dan mata malah asik melihat rambut kecoklatan seseorang yang gak dikenal tertiup angin. Iya, hanya melihat rambut model batok kelapa itu saja sudah membuat dada gue berdesir nikmat.

Di selasar kampus, gue menjatuhkan atensi pada lelaki yang sepertinya lebih muda dari gue. Lelaki itu berdiri dengan gusar yang sesekali menolah ke beberapa pemuda yang bersisian dengannya biar bisa melihat orang yang dilewati; seperti sedang mencari sesuatu atau mungkin seseorang.

Posisi buruk, gue gak bisa melihat wajah orang yang sudah membuat jantung gue berdegup cepat karena dia membelakangi tempat gue berdiri. Hanya bisa merekam bagaimana sweater abu-abu sepaha yang menenggelamkan tubuh si pencuri hati dipadu dengan celana jeans ketat yang membungkus kaki tidak seberapa jenjang itu. "Parah, keterlaluan nyetak sih. Gue bisa bebas menikmati betis sekal dia." gumam gue dalam hati.

"Fano." Menoleh lalu mendapati Faros tersenyum sangat lebar di sebelah gue. "Kelas jam berapa? Gue kira tadi telat, taunya masih ketemu lu yang ngaso di sini." cerocos Faros tanpa henti.

Melirik jam tangan, gue masih terus curi-curi pandang pada lelaki yang sedang celingkuan di depan pintu utama sana. "Jam sepuluh. Lu duluan ke atas dah, lima belas menit lagi masuk. Taken kursi buat gue." Gue mendorong bahu Faros beberapa kali sampai teman sekelas gue itu kesal.

"Taken kok sama bangku. Orang jutaan noh napas." Faros berlalu dengan decak yang gue abaikan.

Sekarang, setelah semenit mengumpulkan keberanian, gue melangkah mendekati lelaki incarannya. "Ehkem." Pura-pura batuk agar atensi si pencuri hati teralih.

Lelaki bersweater abu-abu menoleh. Sejurus kemudian pandangan teduh menusuk sepasang kembar manik gue. Tertegun. Indah sekali.

Seumur hidup, gue belum pernah melihat bola mata berwarna coklat terang seperti itu. Ibarat madu, lelehannya menjadi warna mata yang menyesatkan rasionalitas. Gawat, gue benar-benar jatuh cinta.

"Eh, iya? Oh, maaf ..." Lelaki berobsidian madu sedikit menggeser tubuhnya agar tidak berdiri terlalu di tengah pintu masuk utama fakultas. "—mau lewat ya? Silahkan." katanya sopan.

Suaranya tak kalah lembut dengan sorot mata yang dari tadi membuat gue linglung. Gue yakin gak akan pernah bosen jika mengobrol dengan lelaki ini. Gue bisa seharian hanya mendengar dia berceloteh sembari memandangi obsidian layak madu murni yang terangnya sudah menginvasi kewarasan.

Gue malah menggaruk kepala belakang yang tak gatal. Sedikit gugup sebenarnya, namun gue ingin mengenal atau setidaknya mengetahui nama orang yang memenuhi pikiran sejak satu jam terakhir. "Bukan. Kamu ngapain di sini? Gue liat dari tadi lu mondar-mandir depan pintu. Masuk aja kali."

Lelaki itu menggeleng. Astagah, lucu sekali. Gue mengigit bibir bawah guna menyalurkan rasa gemas.

"Aku nyari orang, tapi dari tadi dia gak bisa dihubungin." Si manik coklat menggoyangkan ponsel di depan wajah gue yang tadi sempat blank.

"Nyari siapa? Masuk aja terus keliling. Siapa tau dia ada di perpustakaan atau toilet?" Gue masih mencoba membuka obrolan.

"Iyok." Suara setengah teriak menghentikan percakapan. Kita menolah. Wayan datang dengan berlari cukup cepat menuruni tangga.

"Maaf telat. Aku ada kelas terus dosennya kebanyakan ngomong jadi susah interupsi kalau jamnya udah selesai. Lama nunggunya?" Wayan berkata cepat seolah tidak ada hari esok untuk memberikan klarifikasi.

Yang pakai sweater abu itu menghentakkan kaki dua kali. Raut wajah kesal sangat tercetak. Gue lagi-lagi mengigit bibir bawah ditambah kedua tangan terkepal di sisi tubuh. "Lucu banget. Karungin jangan?" batin gue menjerit heboh.

"Lama. Aku kepanasan di sini. Mau cari kamu di dalem juga segan."

Wayan terkekeh. Napasnya sudah teratur. "Maaf. Besok kalau mau tungguin aku, kamu duduk di taman belakang atau masuk aja." Tangannya terangkat dan mengusap rambut coklat yang gue lihat sangat lembut. Karena setelah diusak, tatanannya kembali seperti semula; poni menutup dahi dan surai membentuk batok.

"Eh, No? Ngapain?" tanya Wayan setelah sadar ada gue; orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.

"Dia nemenin aku buat nungguin kamu." celetuk lelaki bermanik madu menjawab pertanyaan Wayan yang sebenarnya ditujukan buat gue.

Wayan menggumam 'oh' panjang. "Udah kenalan kalian?"

Kita menggeleng bersama.

"Kenalin, Yok. Ini Fano, temenku satu jurusan tapi beda kelas. Fano, ini Iyok. Manis, ya? Ngedip dong, woy." Wayan malah menepuk pundak gue agar pikiran kembali ke bumi.

Gue mengerjap beberapa kali. Malu sekali mendapat kesan pertama yang buruk; melamun sang pujaan hati tepat di depan orangnya. Gue mau tenggelam saja bersama Moana.

"Fano, Teknik semester lima. Temennya Wayan." Gue mengulurkan tangan.

"Iyok. Sastra Indonesia semester satu. Salam kenal, kak." Uluran tangan gue disambut. Mata indah itu menyipit kala tersenyum. Gue benar-benar sudah sangat ingin mematenkan anak sastra itu agar menjadi milik gue doang.

 Gue benar-benar sudah sangat ingin mematenkan anak sastra itu agar menjadi milik gue doang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Fano, tadi gue ketemu Faros." Perkataan Wayan menyentak halusinasi. Yang lebih dulu melepas tautan itu adalah Iyok.

"Anjir, telat gue. Cabut duluan, Yan." Sebelum pergi, gue tersenyum sebentar pada Iyok. "Duluan, ya. Bener kata Wayan, kamu manis." Setelah mendapat umpatan dari Wayan, gue berlari cepat. Mengabaikan lift dan memilih menaiki tangga saja.

Sepanjang gue menapaki tangga. Pikiran malah penuh dengan Iyok, lelaki yang sudah mencuri hati dan logika. "Bodoh. Gue lupa tanya hubungan mereka lagi." Runtuk gue setelah sampai di lantai tiga.

Jalan pelan menuju kelas dengan pikiran bercabang. "Pacaran?" tanya gue dalam hati. Wayan belum pernah mengenalkan gadis atau orang lain yang diklaim sebagai kekasih.

Jadi, mungkinkah?

.
.
.
Manik madu yang berbinar indah terkena sinar matahari pagi adalah kesukaanku. Kamu indah.
Mulai hari ini, aku menetapkan kamu sebagai target untuk aku miliki.
.
.
.
Page 1: Closed

TARGET | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang