*PROLOG*

13 3 0
                                    

Bella, Mahar, dan Mahesa

* * *

Mei

SEPERTI hari-hari sebelumnya, matahari Bali bersinar terik siang itu. Tak salah kalu pulau eksotis itu menjadi surga bagi para pemburu matahari. Setiap hari ribuan wisatawan lokal maupun asing memenuhi pantai-pantai di Bali. Mereka berjemur, bermain di pantai, surfing di laut, dan melakukan beragam kegiatan lainnya.

Dua anak laki-laki duduk di atas pasir pantai yang hangat . Keduanya tidak sedang melakukan kegiatan berarti , hanya sibuk memandangi orang-orang berseliweran. Mereka mengenakan kaus kutang kebesaran , yang sesekali menggembung tertiup angin.

Dua anak itu sekilas tampak serupa. Sama-sama berambut hitam kecoklatan dan berkulit sawo matang. Tapi bila di perhatikan lebih seksama, mereka jelas berbeda. Yang satu memiliki mata berwarna biru cerah, sedangkan yang satu lagi memiliki mata berwarna hitam. Si pemilik mata biru lebih tinggi beberapa sentimeter. Mereka adalah kakak-adik. Si kakak tiga tahun lebih tua. Sia adik dengan cepat menyusul tinggi kakaknya sehingga mereka terlihat seperti anak kembar.

Satu jam kemudian, si adik yang tadinya anteng mulai gelisah. Ia memasukan jemari kakinya ke pasir, kemudian dengan kecepatan tinggi mengangkatnya tinggi-tinggi, membuat pasir berterbangan ke mana-mana.

" jangan begitu, Mahes. Pasirnya masuk ke mata kakak," omel Mahar, si kakak, sambil mengucek matanya yang mulai terasa perih .

" kapan kita mulai latihannya?" tanya Mahesa dengan muka cemberut. Kedua kakinya masih menendang-nendang pasir, tapi kali ini dengan gerakan lebih pelan.

"Tunggu Dad datang dulu", jawab mahar.

Dua jam setelah itu, ayah mereka masih belum datang juga. Mahesa sudah tidak tahan dengan rasa bosannya. Ia berguling di pasir dan berlarian kesana kemari , membuat kaus kutang dan celananya kotor oleh pasir.

Untunglah, akhirnya seorang pria bule datang ke arah mereka, yang langsung di sambut sorak bersemangat Mahesa.

" Maaf ya, Dad terlambat. Tadi ada urusan mendadak di kantor," ujar pria itu penuh sesal.

Pria bule itu bernama johan Anderson, warga asli Australia yang belum lama pindah ke Bali. Sebelumnya ia tinggal di jakarta bersama istrinya, Nina Saraswati, dan dua anak laki-laki mereka. Awalnya Johan yang bekerja sebagai arsitek mendapat proyek pembangunan di Jakarta, dan di pindah tugaskan ke Bali.

" Mana surfing board kami ? Dad tidak lupa kan?" tanya Mahesa.
"Ada di mobil, Mahes?" jawab johan.

Hari ini adalah hari pertama Johan mengizinkan kedua anaknya berselancar di laut setelah sebelumnya mereka selalu latihan di kolam renang. Mahar dan Mahesa sama-sama jago berenang. Mereka terbiasa berada di air dan hal itulah yang membuat Johan cukup yakin mengajak mereka ke arena berselancar yang sesungguhnya.

" Ayo pegang papan kalian ". Johan menyerahkan papan selancar kepada anak-anaknya. Ia sengaja memilih papan berukuran agak besar, agar lebih stabil saat di gunakan. Papan jenis fun board berwarna merah untuk Mahar dan biru untuk Mahesa

" Dad boleh kita naik ke papan sekarang? Aku masih ingat cara paddle yang benar."
Mahesa tampak tak sabar setelah mengenakan leg rope , tali yang menjaga kaki tetap terikat dengan papan.

MAHAR dan MAHESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang