SATU

9 3 0
                                    

10 tahun kemudian.....

Sudah hampir delapan jam Bella mendekam di studionya dan suda hampir delapan kali juga Alena, bundanya, memanggilnya untuk makan malam. Namun Bella tetap tak mau beranjak dari sana. Studio Bella berada tepat di bawah atap rumah, dibangun kurang lebih dua tahun lalu saat Adam tak tahan lagi melihat anak semata wayang mereka harus tidur di kamar yang berbau cat minyak dan varnish. Adam menyulap ruangan kosong berbentuk prisma segitiga itu menjadi studio kecil-kecilan.

Alena menghampiri Bella dan mengelus rambut gadis itu dengan sayang. "Bel, kamu tahu kan ini sudah jam berapa? Kamu belum mandi dan makan malam. Bunda tahu kamu sangat suka melukis, tapi jangan kelewatan dong, sayang."

"Tanggung bun" Bella tidak mengalihkan pandangannya sejenak dari kanvas.

"Sepuluh menit lagi aku turun, bun"
Alena menggeleng-geleng, "Bunda tunggu di bawah ya, Sepuluh menit nggak lebih."

Bella mengangguk. "Beres bundaku sayang."

Sudah sepuluh tahun sejak kejadian memilukan itu terjadi. Kini Bella sudah tumbuh menjadi gadis cantik. Sejak kepergian mahesa, Bella mulai menaruh minat pada dunia seni lukis. Gadis itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam di kamarnya hanya dengan selembar kertas dan sekotak krayon.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki menggebu-gebu. Bella setengah berlari menuruni anak tangga. "Lho, kok bunda masih di sini?"

Alena buru-buru menghapus air matanya yang sempat menggenang lalu tersenyum tanpa menjawab pertanyaan anaknya. "Mau makan dulu atau mandi dulu?"

"Makan dulu deh bun. Lapar nih"

jawabnya sambil mengelus perut. "Ayah sudah pulang bun?"

"Sudah, lagi nunggu tuh di bawah."

* * *

Mahar merebahkan tubuhnya di kasur. Sesekali ia merenggangkan tangan dan kakinya yang terasa pegal hasil bermain futsal tadi. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dengan ogah-ogahan ia beranjak dari kasur lalu menuju meja belajar. Ia meraih ponselnya yang masih berbunyi dan membaca nama yang tertera di sana.

Bella.
Ya, Bella sahabat kecinya dan Mahesa.

"Halo?" sapa nya setelah menghempaskan tubuh kembali di atas kasur. "Kenapa, Bel?"

"Lagi bosan." terdengar hembusan napas dari sana.

Mahar tertawa. "Sudah? Gitu doang alasannya?"

"Nggak juga sih. Aku mau kasih kabar gembira nih."

"Kamu akan kuliah di tempat yang sama kayak aku," tebak Mahar santai.

"Mahar! Jangan langsung di tebak kayak gitu dong! Kan jadi nggak seru lagi."

Lagi-lagi Mahar tertawa. "Oh, tebakanku benar ya?"

"Iya. Tadi aku habis ngobrol sama Bunda dan Ayah. Akhirnya aku mutusin buat kuliah di Uzak."

Uzak adalah singkatan dari Universitas Zamrud Khatulistiwa, salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup populer di Bali.

"Kamu nggak ngotot lagi buat kuliah di Jakarta? Universitas apa tuh... Untara?"

"Nggak dibolehin ngekos sama Bunda, lagian kayaknya susah buat tinggal sendiri di Jakarta. Mau nggak mau deh." jawab Bella dengan nada datar.

"Kok pasrah begitu sih? Uzak juga bagus jurusan Teknik Sipil nya. Menurut riset yang kulakukan, Teknik Sipil Uzak itu nomor tiga terbaik di Indonesia."

"Kamu serius sampai melakukan riset segala?"

"Nggak lah!" Jawab Mabar cepat. Terkadang ia takjub pada kepolosan sahabatnya itu.
"Kalaupun aku ngelukuin riset, itu pasti tingkat kepolosan seseorang di usia delapan belas tahun. Dan kamu akan jadi orang pertama yang aku teliti."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MAHAR dan MAHESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang