BAGIAN TIGA | PENENTUAN

132K 5.3K 509
                                    

Selamat membaca~

"Apakah Tuhan mengtakdirkan kamu untuk melengkapiku?" -Erina Palmira

Erin tersenyum canggung. Saat ia hendak angkat suara, bibirnya kembali mengatup karena disela oleh suara Winda yang terdengar lembut.

"Gilang, ayo masuk. Ayah, Bunda, dan adikmu sudah di dalam," ajak Winda sembari melingkarkan tangannya pada tangan laki-laki bernama Gilang itu. Mereka melangkah begitu saja melewati Erin.

"Erin, jangan lupa tutup pintunya," tegur Winda tanpa menatap Erin. Ia sibuk mengajak Gilang berbicara sembari melangkah menuju meja makan.

Erin melongo tak percaya. Yang dijodohkan itu dia atau Winda sih? Kok calonnya dibawa Winda sedangkan Erin mereka tinggal. Erin menghela napas maklum lalu menutup pintu utama rumahnya.

Erin melangkah menuju meja makan. Ia berpikir, apa tak salah jika ia dijodohkan dengan laki-laki sesempurna Gilang? Bahkan ia yang akan menjadi teman hidup Gilang.

Erin berharap Gilang akan menerimanya apa adanya. Karena sepertinya perempuan seperti Erin tak cocok bersanding dengan Gilang. Gilang pasti memiliki tipe calon istri yang sempurna. Erin yakin itu.

Erin mendudukkan diri di depan Gilang yang tak sedikit pun meliriknya. Miris. Erin hanya bisa tersenyum miris melihat nasibnya saat ini. Sepertinya perjodohan ini akan dibatalkan oleh Gilang. Tapi tak apa. Memang itu yang ia inginkan, bukan?

"Kenalan," tegur Arfan menatap Erin.

Rasanya Erin ingin menangis. Bagaimana tidak? Arfan menyuruhnya agar ia mengajak Gilang berkenalan. Demi apa? Erin tuh kaum hawa. Harusnya kaum adam yang ngajak kenalan.

Erin sudah seperti perawan tua yang sedang kelimpungan mencari jodoh saja. Memalukan dan menyedihkan.

"Gilang, ayo dong ajak calon istrimu kenalan. Masa dia yang ngajak kamu kenalan?" titah Fifah pada Gilang. Kata calon istri membuat pipi Erin kembali merona malu.

"Kak Erin tuh cewek, kak Gilang cowok 'kan? Kalo kak Gilang cowok sejati, harusnya kakak yang ajak kak Erin kenalan," tambah Galang.

Gilang pasrah. Jika Bunda dan adiknya sudah kompak, akan sulit untuk membantah atau sekadar beralasan. Gilang mentap Erin datar. Gilang menyodorkan tangannya ke depan Erin. "Gilang Rayhan Dhika."

Erin tersenyum canggung. Ia balas menjabat tangan Gilang sembari mengucapkan namanya. "Erina Palmira."

Setelahnya, Gilang melepaskan jabatan tangan mereka. Gilang sangat dingin. Selama ini Erin mengidam-idamkan cowok dingin karena keromantisan cowok dingin dalam novel, tapi kini ia tau cowok dingin secara nyata bagaimana.

Menatap mata tajam dan wajah datar Gilang saja sudah membuat Erin ciut. Jujur saja ia meringis melihatnya. Dan Gilang sukses menggoyahkan rasa kagum Erin pada cowok dingin. Kenyataan memang tak seindah dunia imajinasi.

Diam-diam Gilang menatap Erin. Erin tak terlalu cantik tapi Gilang tak memandang fisik meski Erin akan menjadi teman hidupnya, mungkin selamanya. Erin terlihat seperti anak baik-baik, but don't judge people by cover.

Selesai makan malam, kedua keluarga itu berbincang di ruang tamu. Mereka membicarakan tanggal pernikahan Erin dan Gilang. Jadi, mereka tak memberikan kesempatan untuk keduanya membatalkan perjodohan ini.

"Jadi, kapan?" tanya Dani.

"Yah?" panggil Gilang namun diabaikan padahal kedua pasang orang tua itu mendengar.

"Lebih cepat lebih baik," sahut Arfan.

"Pa?" panggil Erin namun juga mendapat respons sama seperti Gilang, diabaikan.

"Akan lebih baiknya sebelum kalian ke Paris," saran Fifah.

"Bun?" panggil Gilang pada Fifah namun tetap diabaikan.

"Nah bener tuh. Jadi, kita bisa menyaksikan hari dimana Erin akan sah menjadi seorang istri," jawab Winda setuju.

"Ma?" panggil Erin pada Winda. Lagi, ia diabaikan.

"Bagaimana jika acara berlangsung pagi dan malamnya kami akan berangkat ke Paris," ujar Arfan.

"Papa! Mama!" panggil Erin kesal karena kedua orang tuanya terus mengabaikannya, tak memberinya kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.

"Apa sih Erin?" tanya Arfan dan Winda serempak.

"Gilang juga," lanjut Dani dan Fifah.

"Please, beri aku kesempatan ngomong," pinta Erin yang diangguki Gilang.

"Ngomong apa, hm? Mama gak mau denger penolakan, ya?" sahut Winda.

"Enggak kok. Aku cuma mau ngomong, jangan ada resepsi dulu, biar akad aja dan yang ngehadirinnya cuma orang terdekat. Aku masih sekolah, kalo Gilang sih gak apa-apa," jawab Erin dengan santainya menyebut Gilang tak masalah jika ada resepsi.

Gilang melongo, menatap horror Erin. "Gue juga masih sekolah kali."

"Oh, lo masih sekolah?" tanya Erin malu karena ia salah menduga dan dengan santainya mengatakan Gilang tak masalah jika ada resepsi karena sudah bukan pelajar seperti dirinya. Ia mengira Gilang sudah bekerja atau kuliah.

"Iya, Gilang baru kelas dua belas. Dan, dia akan pindah ke sekolah kamu," sahut Dani.

Erin membelalakkan mata tak percaya. Jadi, dia akan satu sekolah dengan Gilang. Wah bakalan makan hati nih. Siswi di sekolah Erin tuh para pecinta cowok ganteng. Dan Erin yakin, Gilang akan menjadi most wanted di sekolahnya nanti.

"Kenapa pindah, Om? Padahal 'kan udah kelas dua belas," tanya Erin.

"Biar nanti kalian berangkat sekolahnya satu arah. Sekolah kalian sekarang 'kan beda arah? Kasian nanti Gilang telat," sahut Fifah.

"Kan aku bisa berangkat sendiri?" balas Erin.

"Gak. Kamu harus bareng Gilang," tegas Winda.

"Tapi, Ma-"

"Jangan ngelawan, Erin. Gak malu apa kamu sama Gilang? Dia aja nurut sama orang tua," tandas Winda membuat Erin bungkam.

"Oke, lanjut ke topik sebelumnya, ya?" ajak Arfan yang diangguki semuanya.

"Aku setuju sama Erin. Kita gak usah ngadain resepsi dan yang ngehadirinnya cuman keluarga dan orang terdekat. Mereka masih berstatus sebagai pelajar, setelah mereka lulus SMA, barulah kita ngadain resepsi," ujar Dani.

Erin tersenyum terhura, ada yang setuju dengan pendapatnya. Setidaknya jika calon ayah mertuanya itu yang menyampaikan, maka didengar oleh yang lain. Tentu saja.

Erin hanya diam mendengarkan. Bosan, tentu ia rasakan. Bahkan sesekali matanya terpejam karena ngantuk, terlalu bosan mendengarkan. Erin sangat menunggu kata penolakan dan pembatalan keluar dari mulut Gilang.

Namun sampai acara selesai dan keluarga Gilang pulang, Erin tak sedikit pun mendengar kalimat yang ia tunggu keluar dari mulut Gilang. Itu artinya pernikahan ini benar-benar akan dilangsungkan.

Erin melangkah lesu menuju kamarnya. Ia membaringkan tubuhnya telentang sembari menatap langit-langit kamarnya.

Bagaimana masalah rumah tangga yang nantinya mereka hadapi? Apakah mereka bisa menyelesaikannya tanpa ada kata pisah? Sepertinya Erin harus belajar menjadi perempuan dewasa meski ia belum siap.

Memikirkan itu membuat kepala Erin pusing. Erin pun memilih tidur daripada pusing memikirkan perjodohan itu.

###

Tbc

Gimana perasaan kalian setelah membaca chapter ini? Suka?

Terima kasih sudah membaca cerita manis ini :) Jangan lupa tinggalkan jejak! Baca kelanjutannya, oke?

Salam sayang,
Author23

Wedding Sweet Seventeen [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang