6.

425 67 28
                                    

Waktu itu. . . Jihan beneran nembak Niel

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

[ pilih warna latar paling kanan agar fiksi ini semakin berkesan ]
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

[ pilih warna latar paling kanan agar fiksi ini semakin berkesan ]ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Hari yang Jihan tunggu-tunggu pun datang.

Hari Sabtu, pukul sepuluh, tepatnya saat bocah yang duduk di bangku kelas delapan itu sedang mati bosan mendengar ocehan guru matematika, Niel terlihat berjalan melewati kelas Jihan.  

Refleks, matanya berpendar, senyumnya tak kalah lebar dengan langkah yang akan Jihan ambil setelah meminta izin untuk menutaskan hajatnya pada sang guru--yang tentu saja bohong. Jangan ditiru, ya, sahabat.

Dibuntutinya Niel hingga dirinya hampir saja tercium oleh pintu bilik kamar mandi yang baru saja akan Niel tutup, “kamu ngapain, Han?”

Menggaruk pipi tak gatal, Jihan hanya mampu memberi tawa garing, lalu buru-buru menghilang dari hadapan Niel dengan memasuki bilik kamar mandi di sebelahnya.

Sekitar empat menit sudah Jihan berada di dalam bilik tanpa melakukan apapun, selain berharap suara selot kunci terbuka dari bilih di sebelahnya. Tak henti meremas celana biru dongker panjangnya, Jihan merasa luar biasa gugup sekarang. Mengingat apa yang akan ia lakukan beberapa menit kedepan mungkin saja akan cukup memalukan. Membuat Jihan bahkan inginnya menyerah saja.

Namun tiba-tiba, suara selot yang biasanya tidak pernah terdengar sesurgawi bel istirahat itu langsung terdengar. Diikuti suara langkah dan juga air mengalir menghantam permukaan wastafel.

Mulailah Jihan keluar dari persembunyiaannya, lalu menghampiri figur laki-laki manis dengan surai legam yang terlihat lembut tersebut.

Lewat cermin di hadapannya, Niel menyadari eksistensi Jihan, “kenapa, Han? Tegang banget perasaan mukanya.” Lalu Niel membalikkan badannya.

“Anu, gini, kak ...” Jihan meremat kedua tangannya, rasa gugup semakin meraja lela, melumpuhkan kemampuan berbicaranya yang selama 13 tahun ia hidup, tak pernah menjumpai satupun permasalahan.

Atmosfer sekitar semakin menegangkan kala Niel bertanya sembari memerhatikan Jihan lamat-lamat, “kenapa?”

“Kak, tolong, bisa liat ke arah lain dulu gak? Aku gak bisa konsen.”

Kepala Jihan tertunduk dalam, napasnya pun tertahan.

Duh, memang lebay bocah satu ini.

Meski dipenuhi kebingungan, Niel tetap melakukan apa yang diminta Jihan; melempar tatapan ke arah lain.

Namun beberapa menit setelahnya, Jihan masih belum juga bersuara. Sedikit kesal, Niel kembali menatap seraya berdecak pelan, “kamu kenapa sih, Han? Cepir—”

“Aku suka sama kakak. Mau jadi pacar aku gak?”

Satu kalimat tersebut lolos begitu saja. Keduanya masih terdiam, hingga sepersekian detik selanjutnya, Niel baru melontar kekejutannya.

“HAH?”

Jihan meringis, menutup muka dengan telapak tangannya, “masa kurang jelas, sih, kak? mau diulang?”

Niel bagai di ambang kesadaran, pernyataan cinta barusan seakan mimpi di siang bolong, tak percaya ia akan mendapatkannya detik itu juga.

Menggeleng pelan, si manis tersenyum gugup, “enggak usah kok, itu barusan udah jelas. Banget.”

Entah keberanian dari mana, Jihan tiba-tiba berdeham, membersihkan tenggorokannya, bersiap untung mengulang pernyataan cintanya, “jadi, gimana kak? Mau jadi pacar aku gak?”

Niel menggaruk rambutnya percuma. Hanya ada satu hal yang mampir di pikirannya, “kita berdua kan laki-laki. Emang boleh pacaran, ya?”

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

[ fiksi ini akan kembali ]
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

an:

hai?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Waktu itu... ✻ SungLeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang