Karya : MercapadaEsa adalah interpretasi bahagiaku untuk saat ini, dan semoga hingga nanti. Kita berteman sejak lama, kala dot menjadi kawan setia penenang tangis. Jarak antara rumahku dan dia yang barangkali dapat dihitung dengan jengkal memudahkan kami untuk saling bertatap muka.
Jangan kautanya seberapa bahagianya aku dengan pertemuan kami. Dengan tingkah konyolnya, sendu memudar dan mengempis di udara bersamaan dengan guyonan yang ia lontarkan. Aku tentu menyukai pria humoris, dewasa, dan tampan itu. Oleh karenanya, kami memutuskan menjadi sepasang kekasih.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Ada panggilan masuk dari Esa. Dengan bibir berkedut-kedut, aku mencoba mengangkat panggilan.
"Halo, Sa!" sapaku kelewat senang yang membuatnya terkekeh di seberang sambungan.
"Hai, Diva!" sekarang aku yang tertawa karena suaranya yang dibuat sengau.
"Suara kamu kayak orang pilek, ih!" tegurku dengan sedikit geli.
"Aku pilek pun kamu tetep suka," entah mengapa pipiku bersemu.
Ia berdehem. Suaranya terdengar berat dan serius. "Nanti sore kamu jemput aku di rumah. Kita ketemuan di taman deket kompleks. Ada sesuatu yang harus diobrolkan."
Kemudian sambungan terputus setelah Esa mengucapkan salam penutup tanpa menunggu balasanku. Terkadang aku merasa pria itu mengalami gangguan bipolar. Sikapnya tak menentu; kadang bersikap seolah menyukaiku, namun kadang juga berperilaku seolah kami hanya kawan biasa. Hingga detik ini, aku selalu berpikiran positif dan menganggap remeh perilakunya. Toh aku hanya pacar, bukan istri yang memang berhak atas diri Esa sepenuhnya.
Sesuai persetujuan, kami bertemu di taman kompleks. Selama 2 tahun berhubungan, aku yang selalu menjemputnya setiap kami ingin bepergian. Tak apa, aku sepenuhnya memahami alasan dibalik perihal ini.
Kami duduk bersebelahan di salah satu kursi panjang. Ia terlihat berkali-lipat lebih tampan saat tubuh atletiknya dibalut kemeja flanel sesiku terbuka serta dalaman putih polos dipadukan dengan celana krem. Tatanan rambutnya yang dibuat sedikit berantakan, dan sepatu snickers casual. Perpaduan yang menarik.
Kedua bola mata Esa tampak kosong daripada biasanya. Menyalurkan sugesti buruk yang membuat jantungku memompa tak biasa. Diri ini merasa takut jika ia akan mengobrolkan hal yang sama kemarin-kemarin. Aku hanya menunggu, tak kuasa bicara.
Ia menghembuskan nafasnya.
"Seperti yang sudah aku bicarakan. Sepertinya kita harus menyudahi hubungan ini, Div."Dadaku seolah dibentur jadam. Haruskah aku kembali sendiri bersama malam?
Esa melanjutkan, "Alasannya masih sama. Maaf, dan terimakasih untuk semuanya. Saat orang lain enggak mau berkawan denganku, kamu bahkan menjadi kekasihku. Kala orang lain menghinaku, kamu yang pasang badan melakukan pembelaan."
Angin sore menggoyangkan anak rambutku. Membawa serta air mata yang tak kuasa dibendung. "Kamu sayang aku, kan?" tanyaku mencoba kukuh.
"Lebih tepatnya cinta. Justru karena itulah, aku merelakan kamu dengan orang yang lebih baik dan layak daripada aku untuk bersanding denganmu." Ia tersenyum, aku buncah tangis.
"Gak bisa gini! Aku menerima kamu apa adanya! Aku kurang apa, Sa?" nafasku tercekat.
"Selama dua tahun ini aku selalu ada untuk kamu .... "
Ia mengangkat tubuhnya berdiri. Nada suaranya meninggi beberapa oktaf. "Kamu gak kurang apa pun! Aku yang serba kurang di sini!"
Esa berjalan tak tentu arah, lantas menabrak kursi panjang yang lain hingga membuat tubuhnya jatuh terduduk. Sontak aku berlari ke arahnya.
Esa menghempaskan tanganku yang menyentuh pundaknya. "Lihat ini! Kamu masih mau dengan orang buta sepertiku?"
Kedua supir pribadinya datang menjemput. Tampaknya supir itu diperintahkan Esa untuk membuntuti kami. Dengan cekatan, supir itu mengapit tangan Esa dan membawanya pergi. Seorang yang lain menghalangi pergerakkanku.
Hingga mobilnya berlalu, aku diam membisu. Tak sedikit pun aku berpikiran hubungan kami akan berakhir seperti ini. Teramat sakit yang dirasa. Mungkin benar, apa yang terbaik menurutku, belum tentu baik di mata Sang Maha Kuasa. Ya, kali ini aku harus benar-benar membebaskan hatiku dari jeratan Esa. Aku harus kembali menyendiri bersama malam.
Editing by : ranti_muchliza09
KAMU SEDANG MEMBACA
Cermin Komunitas Bima Sakti Collaboration
Teen FictionCerita mini atau fiksi mini berupa kumpulan karya member Komunitas Bima Sakti Collaboration "Sastra tidak memandang ruang"