"Siapa yang sayang ayah dan ibunya?"
"Sayaaaa" kompak anak-anak mengacungkan jari dan berteriak.
"Mau ayah dan ibunya masuk surga?" lagi-lagi bunda Sani bertanya
"Mauuuuu" lagi-lagi anak-anak pun dengan kompak mengacungkan jari dan berteriak.
"Kalau begitu ayo kita berdoa untuk ayah dan ibu"
Tiba-tiba seorang anak disampingku menarik ujung bajuku dan meringis memperlihatkan deretan giginya yang ompong dibagian atas seraya berkata,
"Bunda, Surga itu apa?" tanyanya dengan nada serius. Polos sekali kamu nak...
"Surga itu tempat yang jauh lebih indah daripada disini sayang" jawabku sekenanya.
"Bunda, ayahku sudah nggak ada disini...."
Senyuman itu manis, mata itu tajam menatapku. Itu bukan keluhan juga bukan aduan. Apa yang terucap dari bibir manisnya adalah sebuah pemberitahuan. Saat aku mengerlingkan mataku, senyum itu sudah berubah menjadi tawa manis. Ya Allah. Aku harus menahan diri agar mataku yang mulai berkaca-kaca tak terlihat olehnya.
***
Padi yang mulai menguning menjadi tanda para petani siap untuk panen sekaligus bersiaga menyambut kunjungan hama yang terkenal dengan nama latin Lonchura Leucogastra itu. Burung-burung mungil yang sesungguhnya adalah salah satu ciptaan Sang Maha Pencipta yang indah dengan gerakan gesitnya mematuk biji-bijian termasuk padi yang siap panen, sayangnya menjadi musuh utama para petani. Tapi aku menyukainya. Aku menyukai mereka karena mereka selalu datang bersama-sama, mematuk-matuk padi dengan lincahnya, dan terbang berhamburan bersama-sama saat pak tani berusaha mengusirnya dengan bunyi-bunyian kaleng yang ditambatkan disepanjang pematang dengan tali dan ujungnya berada di gubuk dimana pak tani berada. Mereka selalu bersama-sama dan mungkin saja menganggap sawah adalah Surga bagi mereka. Burung-burung pipit itu tampak tak acuh meski sudah diusir berkali-kali.
Aku selalu menikmati pemandangan indah itu sambil berjalan pelan dijalan setapak ini. Jalan setapak yang bertahun-tahun lamanya ku lewati. Jalan setapak yang menjadi saksi bisu perjalanan penuh canda kita sejak masih kanak-kanak. Saat kita pertama kali mengenakan seragam merah putih dan berlari berjingkrak-jingkrak sedang ibumu dan ibuku tiada henti memperingatkan kita agar berhati-hati, agar seragam kita yang baru dibeli seminggu lalu ditoko pak haji tidak kotor jika kita terjatuh. Betapa senangnya kita waktu itu, membayangkan hari baru seperti apa yang akan kita temui di lingkungan bermain baru, sekolah.
Pun sama dengan beberapa tahun setelahnya, saat rok dan celana merah kita berganti warna dengan warna biru. Aku masih ingat betul hari pertama masuk sekolah saat itu hujan turun rintik-rintik. Kita berjalan beriringan dengan satu payung yang sayangnya beberapa besi kecil penyangganya telah patah, dan kamu harus menyangganya dengan satu tanganmu agar kita bisa sampai disekolah dengan tidak basah.
Kenangan-kenangan kecil itu selalu terlintas dipikiranku setiap aku melewati jalan setapak ini. ribuan hari telah aku lewati dengan selalu berjalan sendiri melewati jalan ini, enam hari dalam seminggu. Sama waktunya seperti saat kita sekolah dulu. Bedanya sekarang aku sendiri, tanpamu. Orangtua ku tidak memiliki biaya yang cukup untuk membiayai ku sampai keperguruan tinggi. Aku memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai guru TK didesa kecil kita ini. Sekolah TK yang baru berdiri saat kita lulus SMP sehingga kita tentu tidak pernah merasakan bagaimana rasanya bersekolah yang banyak diisi dengan bermain sebagai sarana belajar. Dan Alhamdulillah aku di terima. Tentu saja aku diterima, TK kekurangan guru dan satu-satunya lulusan perguruan tinggi disana hanyalah kepala sekolahnya saja.
Apa kabarmu disana?
Aku ingin bercerita banyak kepadamu tentang hari-hariku disini, didesa kecil tercinta kita. Desa yang kamu bilang akan kamu bangunkan mall dan taman rekreasi yang megah saat kamu berhasil menjadi bupati nantinya. Desa yang kamu bilang jalan setapak ini akan menjadi jalan yang mulus yang dilewati para pejabat dan saudagar kaya nantinya, tentu saja saat kamu berhasil menjadi bupati. Ah, indah sekali yang kau ceritakan padaku setiap kita pulang sekolah. Saat seragam mu belepotan lumpur dan luka memar menghiasi pelipismu hasil dari adu jotos mu dengan seorang anak lelaki dari desa sebelah karena ia telah mengangguku dengan menarik-narik rambutku yang dikucir kuda, kamu masih sempat bercerita banyak hal. Kamu bilang, saat kamu menjadi bupati nanti, kamu akan menutup akses jalan dari desa sebelah sehingga si anak lelaki itu tidak bisa pergi kekota. Ternyata kamu pendendam ya hahaa
Bagaimana rasanya tinggal disana?
Merangkai kata setiap kali melewati jalan ini adalah rutinitas yang selalu aku lakukan, untukmu. Aku merangkai kata dengan sebaik-baiknya untuk kuceritakan padamu nantinya. Aku memang tidak pandai bercerita sepertimu. Aku lebih banyak mengungkapkan rasa dengn ekspresi muka, yang tentu saja dapat kamu baca dengan mudahnya dan kamu selalu memberikan penjelasan tentang sesuatu dengan begitu amat baiknya.
Saat si dudu kucing hitam milik ku mati karena umurnya yang sudah udzur, aku menangis tersedu-sedu saat itu. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan pada si dudu. Ia tak lagi bergerak, tak lagi dapat menggigiti ujung rok ku. Aku benar-benar tak tau apa yang bisa membuatnya kembali membuka mata kuning pucatnya itu. Dan yang kamu katakan saat itu adalah,
"Sudahlah Mei, si dudu sudah habis waktunya disini. Dia harus pergi ketempat lain yang menunggunya",
"Memangnya tempat macam apa yang menunggu dudu? Apa dudu akan baik-baik saja sendiri? Kalau dia lapar siapa yang akan memberinya makan?"
"Tentu saja tempat yang lebih indah dari tempat disini Mei. Disana banyak juga teman si dudu. Dan tentu saja banyak makanan enak untuknya disana"
"Tempat apa itu Ris?" aku penasaran tempat seperti apa itu, tempat yang sepertinya akan membuat dudu semakin malas-malasan saja.
"Namanya Surga, Mei. Tenang saja, kalau kita sudah habis juga waktunya disini, kita juga akan pergi ketempat itu, asalkan....."
"Asalkan apa?" aku memotong ucapanmu karena rasa penasaranku.
"Asalkan kita selalu berbuat baik kepada semua orang dan tidak ada orang yang menangis karena kepergian kita".
Aku terdiam seketika. Aku tidak ingin dudu tidak jadi pergi ketempat indah seperti yang kamu ceritakan itu. Aku ingin dudu bisa berkumpul bersama teman-temannya ditempat yang telah menunggunya itu, dan bisa makan apapun yang dia inginkan.
Aku menghapus air mataku dan tersenyum padamu. Kita berlari memanggil bapak ku, meminta tolong untuk menguburkan si dudu dipekarangan belakang rumahku dan membuatkan nisan dari papan kecil yang kita tulisi "dudu" dengan arang dapur. Saat itu tahun keempat kita bersekolah disekolah dasar.
*
Bagaimana kabarmu?
Akhirnya hari ini aku bisa bercerita kepadamu, secara langsung sekaligus tidak langsung. Aku duduk bersimpuh didepan tempatmu berada, namun aku tidak yakin kamu bisa mendengarku. Aku ingin bertanya kepadamu, adakah tempat itu? Tempat yang kamu katakan akan menunggu kita saat kita telah habis waktunya disini. Tempat dimana kita bisa berkumpul dengan orang-orang yang juga telah habis waktunya disini dan memakan apapun yang kita inginkan asalkan kita memenuhi dua syarat. Selalu berbuat baik kepada orang lain dan tidak ada yang menangisi kepergian kita.
Adakah tempat itu Yoris?
Kamu selalu berbuat baik, meski perbuatan baik itu belum benar-benar terealisasikan karena kamu belum sempat menjadi bupati seperti cita-citamu dulu. Setidaknya kamu selalu baik padaku.
Dan aku berusaha untuk tidak menangisi kepergianmu agar tak menghalangi jalanmu menuju tempat indah yang kamu sebut Surga itu. Tak pernah sedikitpun air mata ini menetes agar kamu dapat bersenang-senang disana.
Berbahagiakah kamu Yoris?
Aku harap begitu.
***
"Bunda, apa ayahku ada di surga?"
"Ayah Tia orang baik kan...Insyaallah ada di surga. Ayo kita doakan ayah supaya bahagia di surga" akhirnya kalimat itu yang berhasil keluar dari mulutku.
"Siap bunda" katanya lagi sambil mengangguk mantap dan mulai mengikuti doa yang dipimpin oleh bunda Sani.
Tak ada kesedihan dimatanya, tak ada air mata yang berusaha ditahannya, yakinlah nak, ayahmu bahagia diSurga-Nya.
YOU ARE READING
Tempat Indah itu Bernama Surga
Short Storytentang kenangan, masa kecil, keindahan yang berasal dari pemikiran murni kanak2