Sudah hampir dua jam sejak Sean mengeluarkan kertas putih bertulis cetak 'ANGKET MASA DEPAN'. Dan selama itu pula, yang dihasilkan dari perenungan kerasnya hanyalah tulisan-tulisan yang dicoret dan lipatan diujung sisi kertas. Mengetuk-ngetuk meja. Sean menghela frustrasi.
"Lagi apa, mas Sean?" Cila yang baru keluar dari staff room, mendekat. Melirik penasaran pada kertas putih yang bentuknya sudah mengenaskan. Berkerut-kerut dipermukaannya. "Ngerjain tugas liburan, ya?"
"Iya nih, mba. Susah banget." bunyi 'puih' keluar dari mulut Sean. Disandarkannya badan ke kursi kasir. Besok sekolah dimulai, dan ia harus mengumpulkan angket ini.
"Disuruh mengisi tentang rencana setelah SMA, ya? "
"Iya. Pencerahannya dong, mba."
"Tinggal isi aja ini mas, gampang."
Tadinya Sean juga berfikir begitu.
"Susah, mba. Dari tadi nggak selesai-selesai." Sean melirik Cila yang tampak fokus pada kertasnya. "Mba dulu nulisnya apa?"
Cila memang lebih tua dua tahun darinya. Jadi Sean berharap bisa mendapatkan inspirasi dari seniornya itu.
Tempat mereka bekerja, ANNETH, adalah toko penyedia perlengkapan kecantikan milik kakak Sean. Mba Anna. Selama liburan, untuk menambah uang sakunya, Sean magang sebagai kasir disini. Sebagai formalitas, Cila memanggilnya 'mas'. Sementara demi sopan-santun, Sean memanggilnya 'mba'
"Saya nulisnya 'maunya nikah sama CEO muda, tampan yang awalnya dingin tapi akhirnya posesif', mas."
Sean mencibir, Cila terbahak.
"Memikirkan masa depan boleh saja sih, mas. Tapi menjalani masa sekarang juga perlu." Cila mendadak bijak, tatapannya syahdu membuat Sean terpana. Telunjuk Cila terangkat, menyuruh Sean menatap objek yang ditunjuknya. "itu pelanggannya mau bayar mas, layanin gih."
Elah, dikira apa.
Setengah mendengus, Sean tersenyum menyambut pelangan tadi. Remaja perempuan seperantarannya dengan kaos hitam dan tas besar dipundaknya. Menaruh sabun cuci muka bentuk botol.
"Ini saja, kak?"
Gadis tadi mengangguk, Sean meraih botol sabun itu. Agak mengernyit saat melihat merek yang sering diiklankan di TV.
"Memang biasanya pakai merek ini?"
"Ini pertama kalinya."
"Sebaiknya pakai merek yang biasa dipakai saja. Lebih aman."
"Biasanya pakai sabun mandi."
Sean menahan tawa mendengar intonasi datar itu. Mendongak penasaran seperti apa wajah pembelinya ini.
"Kalau begitu, ini bukan produk yang cocok. Bahannya keras. Untuk remaja, yang direkomendasikan sih merek ini." tangan Sean mengambil sampel produk dimeja kasir. Menyerahkan pada pembelinya yang berkerut bingung. Mengamati dengan dahi berkerut.
"Mereknya kurang terkenal, ya?"
"Terkenal kok. Tapi lebih dipromosikan di sosial media. Yang diincar, kan, remaja sekarang." gatal mulut Sean ingin bertanya apa gadis ini tak punya sosial media.
Melihat pembelinya masih bimbang, Sean tersenyum sales, "Sampai sekarang belum ada komplain atas produk ini. Bahannya lebih ringan. Jadi untuk remaja, juga yang pertama kali mencoba, lebih disarankan pakai ini." itu yang ia dengar dari salesman yang berkunjung, sih.
"Kalau untukku tak cocok?"
"Langsung komplain, minta ganti rugi. Kau bisa ke kelasku. Kita satu sekolah, lho." Itu kalau Sean tak salah ingat. Soalnya ia seperti tak asing dengan wajah gadis ini.
Kening sang gadis berkerut, mengamati wajah Sean. "Kamu yang namanya Sean?" Sean tersenyum, diam-diam bernafas lega.
Walaupun tau ia terkenal, agar tak terlihat sombong, Sean bertanya, "Kok kenal?"
"Anak kelas suka cerita. Lagipula rambut coklatmu mencolok." otomatis Sean menyentuh rambutnya, tertawa. "Kenapa sekolah memperbolehkan rambutmu dicat?"
"Aku keturunan eropa, jadi ada gen rambut coklatnya." Sean menjawab asal. "Lalu kau...?" Sean berlagak lupa, padahal ia bahkan tak tau siapa gadis ini.
"Kinan."
"Jadi, Kinan, karena kita teman, aku akan memberimu diskon spesial jika kau membeli produk ini. Juga, kalau mau, akan kubuatkan kartu member tanpa membayar." Sean masih berjuang meyakinkan. Padahal memang ada diskon, juga membuat kartu member itu gratis.
Kinan mengangguk. Sean bersiul, segera melakukan transaksi.
"Memilihkan produk juga harus dibayar, lho"
Kinan menatap heran, "Lima ribu, cukup?" dan Sean tergelak.
"Bagaimana kalau kapan-kapan aku ditraktir?"
Kinan hanya mengangguk, lantas melangkah menuju pintu keluar. Sepeninggalannya, Cila kembali muncul. Menganggu Sean yang kembali sibuk dengan lembar angketnya.
"Mas Sean kalau disuruh mengerjakan tugas otaknya mandet. Tapi kalau urusan menggoda cewek lancar jaya, ya."
"Iya, nih, mba. Apa aku jadi penggoda wanita saja, ya?"
"Astaga mas Sean, jadi simpanan janda saja. Lebih untung."
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITAS
Teen Fiction'Bagaimana rasanya memilih mimpi?' Dipenghujung kelas 12, Sean, si playboy kelas kakap yang tengah pusing akan masa depannya, bertemu Kinan, ketua klub karate yang hidupnya sekaku aturan sekolah. Kinan bilang ingin berubah, dan Sean seenaknya...