LIES

2.4K 234 19
                                    

"Hinata, menyenangkan ya menjadi sepertimu, seperti tidak memiliki beban. Aku iri sekali! Bisa melakukan ini-itu dengan mudah. Cerdas di bidang matematika juga fisika, ahh seandainya saja aku ditakdirkan menjadi kau, haha."

---seperti tidak memiliki beban?

Hinata bermandikan keringat, langkahnya lemas setelah berlari memasuki koridor rumah sakit, seragamnya lusuh, rambutnya sedikit basah, tapi tak mengapa, Hinata rela melakukan apa pun demi menemui seseorang di rumah sakit ini. Seseorang yang satu-satunya Hinata miliki. Seseorang yang bisa membuat Hinata berada di tengah kewarasan atau kegilaan.

Sampai di depan ruangan bertuliskan kamar 43, Hinata menarik napas perlahan, kemudian membuka pintunya pelan-pelan. Matanya melebar, lalu, tersenyum.

"Aku pulang."

"Pulang?" tanya Hikara menoleh polos, senyumnya melebar, amat teramat lebar, terlalu lebar---kontras dengan kulit pucat wanita itu yang terasa terus memutih semakin bertambahnya hari, Hinata meringis memperhatikan. Kini, Iris mereka bertemu, sorot Hikara yang hangat berubah, sedikit demi sedikit pupilnya melebar lalu suaranya melengking tercekat, ia histeris disertai urat-urat yang muncul di sekitaran leher. "KAU YANG SUDAH MENGHANCURKAN KELUARGAKU!"

Tidak.

Tidak.

Hinata menggeleng, napasnya tak beratur, jantungnya berdetak mengetuk tulang rusuknya, seolah ingin menyakiti Hinata di setiap ia memompa darah. Hinata terasa ditarik oleh memori acak yang mendorongnya untuk melihat betapa... betapa tidak berartinya dia selamat dari sebuah ajal.

Lima perawat segera datang untuk menenangkan pasien. Memberi obat ketenangan ketika, Hikara nyaris berlari menerjang tubuh Hinata, mengulangi kata 'akan menghancurmu' dengan kacau. Hikara semakin berteriak, mengutuk dan menyumpahi keberadaan Hinata, memenuhi koridor dengan suaranya yang penuh oleh... keputusasaan.

Apa ini yang disebut hidup tanpa beban?

Tak ada air mata yang turun, mengalir dari kelopaknya, Hinata memundurkan langkah dengan tremor, irisnya bergerak liar---dipenuhi kegelisahan, jantungnya kembali berdenyut, lebih menyakitkan dari sebelumnya, otak Hinata terasa dingin---tak bisa berpikir, kosong, hampa dan gelap. Kepalanya terasa terhantam benda keras, begitu dipenuhi kepeningan hebat hingga rasanya... Hinata ingin melarika diri. Hinata ingin mengakhiri ini semua---ingin menyudahi ini semua.

Jarum suntik menusuk kulit Hikara, membuat wanita berambut biru tua itu memperlihatkan ketertidakberdayaan, tubuhnya lemas dan tak dapat bergerak, sedikit demi sedikit menutup mata untuk menyelami sebuah mimpi yang menenangkanya sesaat.

Hinata menahan jeritannya. Memundurkan langkah untuk kemudian berlari meninggalkan ruangan tersebut, membunyikan pantulan suara dari sepatu hitamnya dengan gesekan lantai---Melarikan diri dari kenyataan---Apa yang harus dirinya lakukan? Semua terjadi akibat kehadirannya ada di dunia. Hinata adalah penghancur, meretakkan hidup seseorang hanya karena satu-satunya yang selamat dari kematian.

"Astaga, lihatlah Hinata, nilaimu yang tertinggi lagi! Ya Tuhan!" Naoko berujar semangat, memuji Hinata akan hasil ideal fisika, yang bahkan nyaris menggapai sempurna. Gadis berambut pirang sebahu itu kembali berucap. "Beritahu aku, apa rahasiamu? Apa kau belajar setiap hari?"

Hinata melirik, kemudian terdiam. Pergelangan tangannya memiliki bekas luka goresan ditutupi sebuah plester coklat juga jaket; setelah meminta izin pada guru, bahwa dirinya sedang tidak enak badan sehingga diperbolehkan menggunakannya di dalam kelas. Bukan hanya pergelangannya, ada beberapa bekas luka yang tidak tertutupi dengan baik oleh plester, lengan kiri maupun kanan, sama saja. Dua-duanya terluka.

LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang