Semacam teror

3 0 0
                                    

Sekarang tanggal 3 Agustus 2006. Dan sekarang hari Kamis. Ya benar hari Kamis sesudah hari Rabu. Sebelumnya aku tinggal di desa durian utuh. Desa yang pada hari Selasa sebelum hari Rabu mengalami gempa bumi dahsyat tapi tidak sampai tsunami. Tapi aku saat itu berdoa agar tidak ada tsunami. Kalau ada tsunami nanti Mbak Sri yang punya hutang aku 53.000 gak jadi dibayar. Kalau nggak jadi dibayar aku jadinya enggak bisa beli poster Ariel Peterpan.

Aku anaknya dari pak Tukijo si nelayan yang gagal cari ikan paus tapi selalu dapetnya ikan Lemuru. Dan ibuku, IBu Wati tukang jualan cilok di sekolah SD ku. Terlihat miris ya, tapi kalian bayangkan betapa enaknya makan ikan Lemuru setiap hari. Membuat badan sehat dan kuat.

Kini waktunya aku perkenalkan diriku sendiri, namaku: Retno Arumaningsih dipanggil Kadita. Nama samaran biar keren hehe soalnya mau masuk SMA negeri. Sebenarnya hasil UAS ku tidak sampai masuk SMA Negeri 1 tapi karena waktu itu ada gempa bumi dan aku tolongin anaknya kepala sekolah SMA Negeri 1, jadinya aku bisa sekolah disana. Kepala sekolah itu bilang 'Sebagai imbalannya kamu minta apa dek....?' Waktu itu aku tampak berpikir berat. Sedikit malu tapi ini kesempatan. 'Aku minta diterima di sekolah Negeri 1,Pak..'

Tapi mata bapak kepala sekolah itu langsung membeliak. Membuatku menunduk tidak enak. Terus bapak itu tanya sekali lagi. 'Apa tidak ada permintaan lainnya dek...?' Aku pikir ini adalah kesempatan. Saat aku masih menunduk, malu malu aku berkata 'tidak ada pak. Cuma itu keinginanku'
.
.
.
.
Lembaran buku dairy di tanggal 3 Agustus itu pun tertutup rapat rapat di bawah laci Olimpic di rumahnya di pinggiran pantai, oleh sang pembacanya sendiri yang tak lain adalah Kadita itu sendiri.

Lalu pasti kalian sudah tidak sabar kan, mendengar cerita cintanya dengan si cowok yang katanya cowok es, cowok yang katanya cowok paling kaya di kota Bikini Bottom. Cowok yang katanya paling tampan di bumi yang datar ini.

Dialah Brian Anggara, Brian yang selalu menjaga Kadita secara diam diam saat Kadita selalu mendapatkan kesusahan.
.
.
.
.
Hari ini tidak ada muatan barang ke kota yang ada hanya ada bang ojek pengkolan yaitu kang Abdul biasa disapanya. Kadita, sebelumnya memberikan uang 10.000 sampai ke kota. Uang yang mungkin sama nominalnya dengan 35.000 di tahun ini. Kadita gadis berparas cantik jelita, bulu matanya lentik hitam, tubuhnya ramping tapi tidak kurus. rambutnya hitam lurus bergelombang bak ombak yang samar samar mendesir halus.

Ia jinjing satu kresek merah bawaan ibu dan bapaknya dari rumah. Ada salak ada kedondong, Cermai juga sayur nangka sisa kemaren yang katanya sangat enak. Matanya kini selalu tertuju Terlihat di beberapa Toko toko Thionghoa di pinggiran pasar. Beberapa pegawai pikul barang pasar terlihat kelelahan sambil mengusap keringatnya dengan kerah bajunya sendiri yang sudah lusuh dan kotor.

Kadita pandangi semua yang ada di pinggir jalan. Sampai terlihat gedung putih yang di sisi sisi pintu gerbang ada tulisan Balai Kota Kardika lalu di sampingnya ada bangunan bertingkat lantai 3 berwarna coklat agak putih Tertulis SMA NEGERI 1 KARDIKA.

Telunjuknya menunjuk ke gedung itu. “Itu pak. Itu pak sekolah baruku.”

“Wah besar ya neng.”

“Iya pak, Kos Ku ada di belakang sekolah itu.”

“Yang kos-kosan elit itu neng.”

“Hehe bukan pak, yang depannya yang kos-kosan murah pak.”

“Lo berarti lewat gang kecil itu dong neng.”

“Gak tau kang, kayaknya iya.”

“Aduh neng, hati-hati," Nada mistis. “kata-katanya digang itu sedikit angker.... Kalau malam banyak suara nenek nenek menangis.”

Buluk kuduk Kadita seketika berdiri. “Kang ini nakut-nakutin aja. Dosa kang.”

“Hehe bercanda kok neng. Siapa tahu beneran hehehe.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Ice BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang