Juric : Relakan Aku Pergi

2.2K 163 46
                                    

Juyeon berdiri terdiam agak jauh dari gundukan tanah itu. Kedua manik tajamnya hanya bisa menatap kerumunan orang yang sejak tadi berdiri disana. Mereka semua menangis. Tak semua, beberapa hanya memasang wajah berduka. Yang Juyeon tak mengerti, apa yang Ia lakukan di sana? Apa yang semua teman-temannya lakukan di sana? Bahkan manajer dan sajangnim menangis di depan kuburan yang masih baru itu. Tapi yang paling Juyeon tak mengerti adalah mengapa mulutnya menyebut nama itu dengan lirih.

"Eric..."

---

Cahaya matahari mulai merasuki celah mata Juyeon yang perlahan terbuka. Pandangan gelapnya pun tergantikan oleh pemandangan di sampingnya. Bibir tipis itu mengulas senyum sembari memperhatikan malaikat bernama Eric yang masih terlelap.

Seketika sekelebat mimpinya tadi malam kembali melintas. Juyeon tak percaya Ia baru saja memimpikan Eric meninggal. Kenyataannya, anak itu masih di sana. Juyeon sungguh berharap, Ia akan terus berada di sampingnya sampai ajal menjelang.

Jemari panjang Juyeon merayap ke pipi yang sedikit gembil itu, hendak mengusapnya. Namun sebelum Ia berhasil melakukannya, kedua mata bulat yang sedari tadi tak luput dari tatapannya itu perlahan terbuka. Keduanya saling pandang selama beberapa detik.

"Selamat pagi, hyung..." Mata bulat nan indah itu melengkung ketika memberi senyuman pada Juyeon.

Bibir Juyeon ikut melengkung, membalas senyuman lelaki yang Ia cinta itu, "Selamat pagi, malaikatku."

Wajah Eric sedikit memerah akibat panggilan dari Juyeon. Di mata pria itu, Eric terlihat sangat manis dengan rona di kedua belah pipinya. Tak tahan, Juyeon mendekat dan mengecup batang hidung sang kekasih.

Kembali gambaran mimpinya tadi malam muncul di ruang otaknya. Kenapa? Kenapa Juyeon memimpikan hal itu? Mimpi akan Eric yang pergi meninggalkannya. Meninggalkan keluarga dan teman-temannya, bahkan rekan-tekan kerjanya. Apa itu pertanda buruk?

Tidak.

Juyeon yakin itu hanya sebuah mimpi biasa. Itu hanya fiktif yang Tuhan buat untuk sekedar bercanda dengannya. Juyeon tahu dan percaya bahwa Eric akan selamanya di sisinya. Bersamanya, untuk saling mencintai.

"Hyung, kau baik-baik saja?" Eric melambaikan tangan di depan wajah sang kekasih. Sedari tadi pria itu menatapnya, tapi pikirannya tak di tempat. Alias melamun.

Juyeon pun tersadar.

"Ah, maaf. Tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu."

"Apa itu?"

"Bukan apa-apa, sayang. Jangan khawatir." Juyeon mengusap pipi Eric dengan ibu jarinya. Ia terkekeh ketika melihat bibir tebal itu sedikit mengerucut. Ia pun tak kuasa menahan hasrat untuk mengecupnya. Setelahnya, Ia kembali tersenyum pada sang kekasih, "Apa kau lapar? Ingin sarapan?"

"Ya. Tapi rasanya aku agak tak enak badan, hyung. Malas keluar." Suara Eric terdengar manja di telinga Juyeon. Yah, anak ini memang manja.

Juyeon kembali terkekeh, "Mau aku bawakan sarapanmu kesini?"

Eric hanya mengangguk. Juyeon pun beranjak dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar. Dari pintu kamarnya, Ia bisa melihat beberapa anggota grupnya yang lain duduk melingkari meja makan. Beberapa lagi sudah sedang bersantai di ruang tengah.

"Pagi, Juyeon!" Sapa sang leader sembari mengunyah roti lapisnya. Sayangnya, objek yang tadi Ia panggil hanya merespon dengan sebuah anggukan. Yah, semua tahu Juyeon memang begitu.

Semua anggota kemudian hanya kembali memperhatikan sang main dancer melangkah mengambil piring dan meletakkan dua porsi roti lapis di atas piring dan nampan. Hal itu yang akhirnya membuat keempat pria itu saling pandang.

One by OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang