Prolog

4.3K 408 21
                                    

oishielmo

"Kalimat yang keluar dari mulutku adalah perintah mutlak untukmu. Kau tidak akan mampu membantahnya. Tidak jika pun hati kecilmu menjerit menolak. Sebaris kata berupa mantra, memudarkan akal sehat, meruntuhkan logika. Biarkan delusi merajainya, karena hanya dengan begitu, jiwamu akan tetap tenang dalam jurang tak berdasar bernama kegelapan."


Di langit kota Jakarta, gelap tercipta dari gumpalan awan mendung. Mengisyaratkan sebentar lagi akan turun hujan diselingi suara guntur mencekam. Deru bising kendaraan di tengah kepadatan jalan, juga setiap makhluk bumi bernama manusia terburu-buru tuk sampai ke tempat tujuan.

Sebuah mobil mewah berwarna merah-model sergio ferarri berhenti di depan sebuah gedung elite pencakar langit. Pengemudinya ialah seorang pemuda bersetelan nyentrik; jaket kulit hitam dengan kaos navy sebagai dalaman berpadukan celana jeans warna achor.

Mendongak sesaat tuk menatap langit, kelabu semakin terlihat gelap di mata yang terbingkai kaca mata hitam itu.

Si pemuda keluar dari mobilnya dengan arogan diikuti seorang wanita berpakaian kekurangan bahan; dress ketat warna merah maroon, pun panjangnya tak sampai menutupi setengah paha si pemakainya. Sesekali menyisipkan helaian rambut ikal coklat gelap panjangnya ke belakang telinga, wanita itu langsung merangkul lengan pemuda yang ialah kekasihnya.

Baru dua langkah mereka berjalan, seorang pria paruh baya-security di tempat itu menegur. "Hei! Kalian tidak boleh parkir di sini!"

Security itu menghampiri dan disambut dengan tatapan angkuh oleh si pemuda bersama kekasihnya. Pemuda itu tersenyum miring kemudian melepaskan kaca matanya.

"Apa?"

"Peraturan. Kau tidak boleh parkir di depan gedung, ada tempat luas di sayap kanan yang merupakan basement untuk memarkirkan mobil. Bawa mobilmu dan parkirkanlah di sana!"

Bukannya menurut, si pemuda malah berdecak sarkas. Matanya memicing menatap si pria security dengan senyum miring. "Gedung ini adalah milik ayahku. Itu berarti, aku bebas memarkirkan mobilku dimana saja," katanya sambil memeluk pinggang si wanita yang mengangguk setuju pada sang kekasih.

"Aku tidak peduli, gedung ini milik ayahmu atau milik kakek moyangmu, peraturan di sini berlaku untuk semua orang." Security menegaskan secara gamblang.

Tampaknya penjelasan tadi memancing emosi dari si pemuda. Itu terbukti dengan ia yang melepaskan tangannya yang sedari tadi melingkari pinggang si wanita dan berjalan satu langkah mendekat-menunjuk security itu dengan tangannya menunjukkan kekuasaanya sebagai anak dari si pemilik gedung.

"Dengar Pak Tua-"

Di detik selanjutnya, terdengar suara keras dari hantaman disusul jeritan.

"KYAAA ...!!!"

"Ada apa?!"

Si pemuda menoleh, ekspresi kesal yang memenuhi wajahnya berubah dalam sekejap-detik mendapati seseorang di atas cap mobilnya dalam posisi terungkap.

Kaca dan cap depan mobil yang tadinya mulus berubah penyok. Kaca depannya retak, beberapa serpihannya berhamburan. Namun, yang membuat si pemuda tidak bisa berkata-kata adalah sesosok tubuh wanita yang tengah sekarat.

Di waktu itu juga, langit meneteskan tangisnya.

Di bawah rintikan hujan, sepasang doe ayes milik wanita itu membalalak menatapnya dengan napas tersengal-sengal, sedangkan separuh wajahnya telah berlumuran darah yang keluar dari tengkorak kepalanya yang mungkin telah retak. Tidak sampai semenit, tanda-tanda kehidupan lenyap. Tubuh kuyub wanita dengan dress pink selutut itu terkulai tidak bergerak.

Pemuda itu tidak bisa berkata apa-apa, semuanya terjadi dalam waktu singkat. Bahkan untuk sekadar berlindung dari guyuran hujan. Gemetaran, maniknya menoleh pada sosok kekasihnya, sama-sama terpaku. wanita itu sedang dalam keadaan by stand usai menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, secara langsung kecelakaan seseorang yang bahkan tidak pernah disangka akan ia lihat dan terekam dalam memorinya.

"Segera telepon polisi dan ambulans, seorang wanita barusaja jatuh dari lantai tiga belas!"

Suara milik security tadi berujar dengan seseorang di kantor keamanan melalui sebuah alat walkie-talkie di tangannya. Pria paruh baya itu sudah kembali ke pos jaga, mengabaikan sepasang kekasih yang menuai karma, karena parkir sembarangan.

Sementara waktu terdistorsi untuk sepasang kekasih yang masih dilanda shock di bawah gempuran hujan. Beberapa orang dengan payung di tangan berdatangan tuk melihat apa yang terjadi. Sebagai dari mereka mengernyit nyeri, sementara yang lain memilih kembali pergi dengan raut iba untuk si korban wanita itu.

Dari lantai tiga belas, tempat wanita itu jatuh dan mendarat di atas kap mobil. Samar-samar terlihat siluet seorang laki-laki. Ia terlihat menengok ke bawah dari jendela kaca dan pergi setelah mendengar teriakan beberapa orang dari bawah tentang keberadaan dirinya.

"Ada seorang pria di lantai tiga belas!!" Seruan terdengar di antara bunyi guntur.

Secepat cahaya kilat di tengah hujan malam hari, sekejap di mata sosok laki-laki itu tak terlihat lagi. Bisa jadi ia sudah melarikan diri.

Tak selang beberapa menit, tempat kejadian perkara sudah dipadati oleh para pemburu berita-padahal belum ada tanda-tanda hujan akan mereda. Demi profesionalitas, sampai untuk menyambung nyawa, reporter bersedia berdiri di bawah gempuran hujan. Meliput secara langsung dari TKP.

Orang-orang yang mendengar berita dari media cetak maupun elektronik, tidak pernah mendapatkan gambaran terperinci dari insiden tersebut. Mereka tak ikut merasakan shock yang dirasakan beberapa orang yang kebetulan berada di tempat kejadian. Tidak pernah tahu, bahwa para reporter yang profesional itu mengernyit ngeri-menyaksikan ketika pada petugas forensik meraup sisa-sisa otak si wanita malang setelah tubuhnya dimasukkan ke dalam kantong mayat. Dan si pemuda bersama kekasihnya, hanya bisa termangu menyaksikan polisi membentangkan police line di sekitar mobil mewahnya yang penyok. Karma karena memarkirkan mobil sembarangan.

Di saat yang bersama, dibawa sebuah pohon tak jauh dari tempat kejadian, sepasang manik gelap menonton dari awal sampai akhir. Maniknya terus tertuju pada tubuh kaku si gadis malang yang jiwanya sudah menuju ke alam baka-sampai menghilang dari pandangan.

Dirasa malam ini sudah cukup, pria itu memutupi kepalanya dengan tudung hoodie yang juga sama basah kuyup dengan tubuhnya.

Dia berpaling, dan pergi dari sana. Karena tahu, awal malam di bulan September ini hujan tidak akan berhenti sampai fajar menjelang.

[]

IN THESE WORDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang