Chapter I

453 54 17
                                    

Senja membentang jingga di cakrawala. Sebentar lagi gelap meraja, hiruk-pikuk kehidupan di ibu kota Jakarta selalu padat seperti biasa, seusai masyarakatnya menjalani rutinitas harian yang monoton; kerja keras bagai kuda.

Uap semerbak aroma sedap kuah bakso menguar dari dalam panci, menyusupi indera penciuman seorang lelaki yang sedang duduk di pojok pinggir jalanan tempat pedagang kaki lima menjajakan dagangan.

Kendati perut sudah keroncongan, seorang lelaki dengan jaket denim, dan celana jeans, duduk di pojokan menunggu giliran antrean semangkok bakso jumbo isi telur ayam rebus sampai ke meja kecilnya. Menatap layar ponselnya, sebut saja saja Erza-nama panggilan lelaki itu, sesekali menangkap pandangan dari seorang gadis manis-Atiqah, namanya. Gadis yang sering mencuri pandangan ke arah Erza sambil menuangkan kuah bakso ke dalam barisan mangkuk para membeli.

Bakso Pak Somad sudah sangat terkenal di daerah Kemayoran, Jakarta pusat. Lima puluh meter lokasinya dari perempatan lampu merah. Pak Somad, ayah dari Atiqah sudah berjualan bakso sejak masih muda. Pekerjaan turun temurun dari keluarga.

Erza sejak tadi memilih fokus pada ponselnya; membaca postingan di instagram dari salah satu teman semasa SMA yang memposting beberapa potret sebuah pesta pernikahan. Fokusnya teralihkan tatkala sepasang tangan meletakkan pelan semangkuk bakso lengkap dengan dua keping pangsit renyah di atas empat bola bakso jumbo.

Rona malu disembunyikan Atiqah dari Erza saat lelaki itu tersenyum sembari mengucapkan terima kasih. Jika bukan lirikan curiga dari Pak Somat kepada Erza, Atiqah pastinya akan menyapa dengan sepatah dua patah kata sebelum pergi membantu sang ayah melayani pelanggan.

Erza sendiri tidak ambil pusing atas sikap Pak Somat. Toh, lelaki itu tidak punya maksud mendekati Atiqah meskipun statusnya sebagai bujang lapuk tergambar jelas dari ekspresinya yang selalu suntuk meskipun wajahnya tampan. Pakaiannya yang terkesan asal-asalan sering memancing curiga kalau saja si lelaki akan melakukan hal yang tidak-tidak.

Setelah mengantongi ponsel pintar berlogo apel miliknya, Erza segera mengaduk-ngaduk kuah bakso agar tomat dan kecapnya tercampur dengan sempurna. Dentingan mangkuk keramik dan sendok stainless steel terdengar, sementara cacing di perut berseru girang karena sebentar lagi diberi makan.

Tinggal sedikit lagi Erza merasakan tekstur kenyal makan sorenya masuk ke dalam mulut, di waktu bersamaan, sebuah tangan menepuk pelan pundak kanan Erza sambil memanggil namanya singkat. "Za!"

Sialan ....

Erza menatap wajah yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah-setelah menyela acara makan baksonya. Begitu ditatap balik, si empunya menunjukan cengiran lebar.

Berbanding terbalik dengan Erza, Andrean Harahap tag nama yang tersemat di dada kanan seragam porli yang dikenakannya. Andrean, polisi yang tidak mengerti situasi ini kemudian duduk di sisi Erza sambil memesan seporsi bakso beranak kepada Pak Somad.

"Huh?" Erza menyahut malas, sudah terlampau bete meladeni lelaki yang bekerja di Departemen Kepolisian Investigasi Kejahatan itu.

Andrean terkekeh, menepuk-nepuk punggung Erza yang sudah mengunyah baksonya tanpa selera. "Jangan pasang tampang masam gitu dong, Bro! Entar gak ada orang tua yang mau menikahkan anak gadisnya sama lo."

"Hushh!" Erza menyikut tangan temannya itu. Ingin mengumpat karena sempat mendapat atensi dari Pak Somad, karena mulutnya penuh bakso Erza memilih melototi Andrean-yang sayangnya tidak sempat dilihat oleh yang bersangkutan karena bakso pesanannya sudah datang.

IN THESE WORDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang