Si Nol Koma Empat Belas.
19 maret 2020, 07:12.
**
Pernah kah kamu takut menyukai seseorang, karena kamu tau hal buruk akan terjadi padanya? Kalau belum, mari Seungwoo ceritakan.**
Setiap pagi ia berbisik dengan selembar daun pojok kanan ruang, hijau membuat kepalanya bergelayut dengan pemahaman, disalah siapakah semua kenyataan.
Bahwa tiap gerai suka selalu di akhiri dengan perasaan tak berdaya. Celaka.
Pembawa nasib buruk, kosong berupa noda hitam belakang kepalanya bilang itu semua karenanya. Setelah dua belas kali fakta buruk menyekat rongga antara akal dan ilusi, kepalanya mau tak mau turut percaya.
"Pagi." Ujaran hadir di tujuh lewat tiga puluh tiga. Matanya bergerak dari sudut ruangan ke bagian hijau layar ponselnya.
Sudah dua bulan terakhir ia rutin mendapat pesan seperti ini, baik di tujuh tiga puluh atau di tujuh belas lima belas, kadang juga di tujuh empat sembilan malam.
Ia membalas dengan kalimat serupa.
Awalnya semua terasa biasa saja, bahkan sudah ia patenkan di kepala bahwa ini hanya sementara, tapi tanpa sadar semakin meningkat kapasitasnya di tujuh hari terakhir.Dulu salah satu orang Alabama pernah menjelaskan, bahwa Seungwoo adalah nama yang diintisarikan mampu menarik titik tengah dari dua buah benang yang memisah, ia menjadi pihak yang menyatukan, bahkan untuk dua serpihan yang dibuang.
Jika perannya dalam hidup di satu abad lalu adalah begitu, maka harusnya hidupnya penuh keberkahan, tapi nyatanya tidak.
Seperti telaga, banyak kapal berlayar di atasnya, bergerak memberikan gemeriak air-air berkelompotan.
Sama seperti empat belas tahunnya, rasa menghantarkannya pada pemuaraan. Sebelum retak menghancurkan belah mancung hidung.
Kemudian ada lagi, dua tapak dalam segala sibak, kemudian pergi dan berpisah. Menyesatkan perasaan pedih selama minggu yang penuh tangis berkuah.
Sampai dititik kedua belas, ia tanpa sadar menitipkan rasa cinta, untuk kemudian disadarkan bahwa akhirannya lagi-lagi sama.
Sosok itu mengalami lagi, pedih luka di sangga belakang tulangnya. "Aku gak pa-pa, tungguin aku aja," tapi komentar oposisi di laman bersama membuatnya sadar bahwa, tak benar: ia ingin bahagia direngkuh si dua belas, maka ia harus tinggalkan.
Sampai di titik ini ia menyerah, saat satu cercah kembali menyala, memberi sedikit demi sedikit deklarasi untuk mendekat, ia pasrah, tak mau banyak menyerahkan curah, karena tahu akhirnya akan pecah.
"Seungwoo udah makan?"
Ia menilik ke arah ponselnya lagi. Masih dengan orang yang sama, antrian tiga belas. Tapi sosok yang satu mundur ke dua.Tersenyum, membalas. 'Belum.' Sebelum ada sahutan berupa, 'Mau makan bareng?'
Seungwoo sempat skeptis, berpikir bahwa di detik yang sama mungkin sosok seberang ini akan dihantam batu bata dari arah tak disangka-sangka.
Seungwoo menelisik lagi, masih menatap orang yang sama serupa dirinya, percis, balik menatap kearahnya. Setinggi tubuh pantulan cermin membuatnya menyadari apa yang ia ingin tahu.
'Engga bisa keluar rumah.'
Ia menyerah.
Menyadari bagaimana paradigma perasaannya sudah naik level, dari empat titik pusat, maka landasannya sudah menghilang pergi ke titik nomer tiga. Ia ingin lawannya selamat, karena ia menyayangi. Tapi tak sudi ditinggal, karena ia menyayangi.
Dua puluh menitnya kosong. Menyunggingkan senyum, bahwa memang semua orang tak bisa membaca pikirannya. Saat maksud dari ujung hatinya berlawanan dengan suara yang diperdengarkan.
Berapa banyak penyanyi yang mengalunkan lagu cinta, saat ia sedang tak merasakan apa-apa.
YOU ARE READING
From Him
FanfictionKumpulan cerita yang di selesaikan untuk memberi sedikit efek, bagi yang sedang berdiam diri di rumah dan terhimpit waktu senggang.