Gerah, panas, berdebu, itu yang dirasakan Jaka selama satu tahun lebih merantau di Jakarta. Naik transjakarta tiap hari mengajari dirinya kalau parfum mahal dan mandi sejam tidak akan ada gunanya. Kaki terinjak, mas-mas bau bawang, ibu-ibu mangap ngecés karena ngantuk adalah mungkin beberapa pemandangan yang tidak akan ia temui di Rangkasbitung kampungnya.
"Pemberhentian selanjutnya, halte Olimo". Terdengar suara nyaring dari speaker pengeras suara yang berada tepat di depan wajahnya. Sudah 10 halte ia lewati dan suara speaker ini membuat kupingnya budeg, terlebih dengan intonasi yang sama. Kaki sampai lutut terasa sangat lemas. Wajar saja dari awal masuk bis sampai tujuan, tidak dapat kesempatan untuk duduk. Sambil berdesak desakan, Jaka berusaha sekuat tenaga keluar dari bis yang panas ini. Tidak ketinggalan memotret ibu-ibu yang sedang mangap tadi lalu ia posting di grup kantor, sekedar hiburan pikirnya.
Dari jembatan penyebrangan terlihat pedagang asongan yang masih belia, setengah memaksa menawarkan peyek kacang dan kue gemblong ibu Juju. Wajah anak itu tampak bersemangat untuk menawarkan dagangannya. Tidak ada salahnya membeli kue tersebut sebagai bekal sarapan pagi ini. Dibelakang anak itu terlihat bangunan tinggi dua puluh lantai tempatnya bekerja. Bangunan yang menyatu dengan mall alakadarnya ini sudah kokoh berdiri sejak tujuh tahun lalu. Dari luar kita bisa melihat gedung warna putih dan hijau yang di cat vertikal, dengan kaca besar yang mendominasi di tiap sudut lantainya. Ketika pertama kali bekerja disini, Jaka merasa sangat senang karena akan meniti karir di tempat yang mewah pikirnya. Ternyata apa yang dirasakannya, bahwa kemewahan tempat bekerja tidak akan jadi patokan kebanggaan seseorang. Di kampung tempat asalnya, orang tua Jaka sebagai petani selalu berpesan kepadanya untuk bisa bekerja di kota kalau bisa di gedung tinggi karena pasti gajinya besar, menurut mereka. Tapi apa yang Jaka rasakan sekarang?, bersyukur?, Ya sudah pasti, siapa yang bisa menyangka untuk level staf yang baru saja gajinya bisa hampir dua digit. Tapi apakah Jaka bangga?. Sepertinya belum, karena apa yang ia kerjakan berbeda dengan apa yang ia imajinasikan sebelumnya.
Di Rangkas dulu, Jaka menjadi guru bahasa Inggris honorer. Ia sadar tidak akan bisa memenuhi impiannya untuk bisa menikah muda dan membangun rumah dengan penghasilannya sekarang. Sering sekali perasaan iri datang ketika melihat beberapa temannya semasa SMA melaut di kapal pesiar. Terlihat dari luar saja penampilan mereka lebih sukses dan mapan dibanding dirinya. Dari sana ia tergoda untuk bekerja di dunia pariwisata yang menurutnya cukup menjanjikan. Jaka berusaha mencari informasi tentang dunia "hospitality" ke beberapa temannya dan belajar beberapa hal tentang hotel dari internet. Selang beberapa bulan ia sudah mengirimkan cv ke hotel hotel bintang tiga dan empat namun belum ada jawaban. Ya mungkin karena niatnya iseng iseng berhadiah. Sampai suatu hari, ada panggilan untuk interview di Jakarta. Sebetulnya dia ingin sekali bekerja di sekitar Tangerang atau Serang, alasan klasiknya biar lebih dekat dengan Abah, Umi dan pacarnya. Sempat ragu untuk menerima tawaran interview tersebut, maklum saja tidak ada pikiran sama sekali untuk bekerja di Jakarta sebelumnya. Pergaulan bebas dan persaingan kerja yang menurutnya lebih ketat dibanding kota lain, menjadikannya nyalinya ciut. Butuh waktu beberapa hari untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya. Tapi berkat dorongan orang tuanya dan keinginan untuk memperbaiki nasib, Jaka mencoba peruntungan tersebut.
Interview yang menurut Jaka tidak terlalu sulit. Hampir semua pertanyaan dalam bahasa Inggris dijawabnya dengan lancar. Jaka hanya tersendat di beberapa pertanyaan seperti "check in after running" dan beberapa istilah lainnya. Jaka dapat meyakinkan kepada calon managernya itu bahwa ia akan belajar dengan sungguh sungguh untuk menguasai beberapa dasar ilmu perhotelan khususnya di bagian reception. Ia sendiri memilih receptionist karena menurutnya pekerjaan tersebut cukup linier dengan pendidikannya. Masalah diterima atau tidak, itu urusan belakangan. Setidaknya Jaka sudah berusaha semaksimal mungkin. Yang bisa ia jual kepada calon manajernya untuk sementara ini hanya cas-cis-cus in English dan penampilannya yang tidak jelek jelek amat.
Ruang loker yang pengap, kipas angin yang tidak bergerak dan bau kaus kaki yang tidak dicuci adalah ciri khas loker laki-laki hotel ini. Ingin dibersihkan seratus kali pun, baunya tetap seperti ini.
Khas bau ketek, handuk lembab ditambah aroma bangkai terasi ini menyadarkan Jaka yang sedang melamun orang orang terdekatnya. Lamunan tentang nyamannya suasana kampung di Rangkas, orang tuanya dan Ratna yang ada disana.
Selamat datang para tamu dengan keinginan aneh-aneh dan selamat datang di hotel tercinta ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Pelayan - Cerita Petugas Reception Hotel
General FictionJaka terjerumus di dunia perhotelan yang ia sendiri tidak pernah berangan angan akan menjadi tempatnya mengadu nasib. Pikirnya hanya berdiri kemudian menyapa tamu dengan berkata "selamat datang" saja pekerjaannya, ternyata bidang yang digelutinya sa...