Tak ada lagi padang rumput hijau yang dapat kulihat. Tak ada lagi warna-warna dunia yang dapat ku nikmati. Hanya hitam, gelap dan sepercik cahaya jingga yang dapat ku rasakan, apakah cahaya itu adalah sebuah harapan atau simbol hidupku, yang akan hilang untuk selamanya? Aku tersenyum miris. Entahlah, aku tak perduli.***
Kala itu, aku berjalan di atas trotoar yang basah karena ditimpa air hujan. Banyak orang berlalu-lalang sembari memegangi payung mereka. Ada juga beberapa orang yang berjalan tergesa dengan jaket yang menangkup kepala berniat untuk menghalangi hujan yang turun. Aku? Tentu saja banyak yang bersedia memegangkan payungnya untukku. Cafe yang aku tuju sudah berada di depan mata.
Dengan gerakan tangan aku mengusir si pembawa payung begitu aku menginjakkan kaki di depan pintu cafe. Cafe ini begitu bernuansa elegan dan tentu saja disediakan untuk kalangan atas seperti kami. Aku dan kedua kakakku, oh, juga pengacara kami.
Fathya, kakakku yang menyebalkan itu memandangiku dengan tatapan kesal, ”Kau fikir aku tidak punya pekerjaan lain selain menungguimu?” Katanya.
Aku menyuguhkan senyuman tipis sembari menarik kursi untuk ku duduki, ”Kau sangat bersemangat untuk kekalahanmu, kak”. Kulirik kakak laki-laki yang duduk di sebelah kananku dengan beberapa dokumen di tangannya, hahh, tidak berubah. Workaholic.
”Cepat selesaikan. Aku banyak pekerjaan” Ucapnya seakan tau aku tengah menunggui tanggapannya. Pak Harman berdeham lalu menegakan duduknya “Baiklah, sesuai dengan surat wasiat dari Tuan dan Nyonya Husein. Semua harta benda yang mereka miliki diwariskan kepada anak bungsu mereka, pada Reihan Husein”. Kak Deno dengan santainya berdecak, ia lalu mengemasi barangnya sembari berdiri.”Sudah kuduga, kedua orang tuaku itu memang selalu memanjakan sibungsu,”
Kak Deno menyalami Pak Harman, “Terimakasih atas kerja samanya. Kerja Anda sangat baik saat bersama kedua orang tua saya jadi, saya harap kinerja Anda akan tetap seperti ini di bawah tangan adik saya”, Pak Harman mengangguk mantap, Kak Deno menepuk pundaku sebelum berlalu pergi.
Tinggalah aku dan Kak Fathya. Semua orang tau kalau dia adalah wanita yang paling menginginkan warisan yang jumlahnya tak terhingga itu. Selalu haus akan harta walaupun sudah menikahi pengusaha kaya raya. Ku lihat wajah Kak Fathya memerah lalu hendak beteriak kencang tapi segera ku cegah,
”Sudahlah, Kak. Kak Deno saja tidak keberatan. Bahkan sudah sangat jelas kalau kedua otang tua kita mewariskan hartanya pada adik semata wayangmu ini. Apa kurang Jelas?,” Aku memandang Pak Harman, ”Berikan surat wasiat itu padanya”.
Begitulah, Aku berhasil mendapatkan segalanya. Hidup dalam kemewahan yang kukira kebahagiaan mengiringinya.
Hidupku berlanjut. Semuanya berjalan dengan baik hingga perampokan itu terjadi. Semua harta bendaku dirampas dan aku dituduh membunuh pelayanku dalam kasus itu. Semuanya lenyap, harta benda yang selama ini aku banggakan di depan kedua saudara dan semua temanku tak lagi ada gunanya. Tak hanya sampai disitu, penderitaan setelah bahagia yang sangat singkat itu berlanjut dibulan-bulan berikutnya.Aku mengalami kecelakaan saat di lokasi proyek yang mengakibatkan kedua kakiku lumpuh dan semua perusahaan yang berkerja sama menuntut ganti rugi.
Aku jatuh miskin dan dipenjara karena tak bisa melunasi ganti rugi mereka. Semua terasa gelap sekaligus terasa berat di hidupku. Tidak satupun dari kekayaanku yang saat ini dapat membantuku, aku terpuruk jatuh ke jurang terdalam. Aku tahu saat itu, saat aku dikelilingi kekayaan, tidak sekalipun aku bersujud kepada-Nya, tidak sekalipun aku memberi, bahkan kepada saudaraku. Aku tahu mungkin saat ini Tuhanku telah menurunkan azabnya.
Pagi itu, saat aku mulai berusaha menerima semua cobaan ini aku harus menerima kenyataan pahit kembali, tiba-tiba saat aku membuka mataku semuanya menjadi gelap, tidak sedikitpun cahaya yang dapat kulihat kukira malam memang belum berganti tetapi suara petugas penjara menyadarkanku bahwa sekali lagi Tuhan menunjukkan kekuasaannya. Aku buta, aku tidak tahu apa penyebab dari semua ini mataku tidak pernah bermasalah tetapi kenapa ini bisa terjadi. Aku bertanya pada diriku sendiri apa yang sudah terjadi, apakah Tuhan sedang mempermainkanku, apakah Tuhan ingin membalas semua kesombongan dan kekikiranku selama ini. Saat itu, aku benar-benar sadar bahwa Tuhan hanya ingin aku mendekat padanya.
Ku basuh tangan dan wajahku dengan debu suci-Nya, ku bentangkan kain sajadah yang telah lama berada di sana dengan susah payah. Ku sujudkan tubuhku menghadap Yang Maha Kuasa dan untuk pertama kalinya aku menangis dalam sujudku. Aku berdoa dengan segala kerendahanku, aku memohon ampunan-Nya mungkin memang selama ini yang butuhkan adalah pertolongan dan keridhoan Tuhan serta dukungan keluarga. Aku sadar harta tidak akan pernah dapat membuatku bahagia dengan sesungguhnya. Mungkin saat ini Tuhan sedang memberikanku kerbekahan-Nya dengan kekurangan yang kuterima ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuberkahi Kau dengan Kekurangan
Short StoryHanya cerpen yang udah lama banget aku tulis