Prologue - The Little Boys

715 81 66
                                    

Guess who's baaaaaack....!!!!
😆

Liyya mau ngucapin dulu muakasyih yang seeeeebanyak-banyaknya buat kalian-kalian orang-orang luar biasa yang udah berkenan mampir buat baca, vote, dan juga komen di chapter sebelumnya yaaaaaaaa...
LUPH YOUUUUUH....!!!!

Ini prolog ya, jadi g panjang-panjang...
😌😌😌😌

Okelah itu aja, gak usah berlama-lama di sini.

Aaaaand,
Without further do,
Let's dive in....!!!!

.

.

‘A  Shoulder  to  Cry  On’

PROLOG

.

.


Seorang  laki-laki  paruh  baya  terlihat  tengah  berjalan  memasuki  sebuah  rumah  megah  -sangat  megah-  dengan  tergesa.  Di  belakangnya,  seorang  bocah  kecil  berusia  sekitar  10 tahun berusaha  mengikuti  laki-laki  itu  dengan  langkah kecilnya.  Beberapa pelayan membubgkuk hormat saat berpapasan dengan mereka. Sampai akhirnua keduanya  berhenti  di  depan  salah  satu  ruangan  yang  berada  di  lantai  satu. 

Laki-laki  paruh  baya  itu  membalikkan  badannya  dan  bejongkok  di  depan  si  bocah.  Mensejajarkan  tubuh  keduanya sampai mata mereka bertemu.  Tangannya  terulur  untuk  membelai  sayang  kepala  anak  itu.

"Jadilah  anak  baik  dan  tunggu  Paman  di  depan  pintu.  Kau  bisa  melakukannya, kan?"  tanya  pria  yang  menyebut  dirinya  'paman'.  "Paman  akan  berbicara  dengan  Tuan  Max,  dan  berharap  dia  akan  berbaik  hati  padamu,"  lanjutnya.

Bocah  itu  tersenyum  khas  anak-anak  dan  menganggukkan  kepalanya.

Paman  kembali  mengusap  rambutnya  dengan  sayang  sebelum  kemudian  berbalik  dan  membuka  pintu  di  hadapannya.  Menghela  nafas  berat  sebelum  masuk  ke  dalam  ruangan  tersebut.

Bocah  itu  benar-benar  melakukan  apa  yang  diperintahkan  oleh  pamannya.  Berdiri  dengan  punggung  yang  menempel  pada  dinding  di  samping  pintu,  layaknya  seorang  anak  yang  baik  dan  patuh.  Mata  bulatnya  menelusuri  sekeliling ruangan  dengan  pandangan  takjub.  Ada  begitu  banyak  kemewahan  yang  terpancar  dari  setiap  benda  mati  yang  berada  di  dalam  ruangan  itu. Dan segalanya terlihat begitu indah, begitu megah.

Persis  seperti  rumah  orang  kaya  yang  ada  di  dalam  film  yang  sering  ditonton  ibu,  pikirnya.

Sesekali,  kepalanya  menoleh  pada  pintu ruangan di sampingnya yang  sedikit  terbuka.  Mencoba  melihat  apa  yang  sedang  dilakukan  oleh  pamannya  di  dalam  sana  melalui  celah  kecil  yang  tercipta  dari  pintu  yang  tak  tertutup  sempurna  itu.  Samar-samar,  dia  bisa  mendengar  percakapan  yang  tengah  berlangsung  di  dalam.

"Saya  mohon,  Tuan!  Dia  adalah  anak  dari  adik  saya  yang  baru  saja  mendapat  musibah  beberapa  waktu  lalu.  Anak  itu  baru  saja  kehilangan  kedua  orang  tuanya,  dan  saat  ini,  dia  benar-benar  tidak  memiliki  siapa  pun  selain  saya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Shoulder to Cry onTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang