"Piye (bagaimana), Lit? Apa sudah ada tanda-tanda?" tanya ibu kepada Lita yang duduk di sebelah Hendra.
Mereka sedang duduk mengelilingi meja makan untuk menikmati makan malam. Sambil membahas kegiatan yang sudah di lakukan dalam sehari. Terutama mengenai perkembangan perkebunan kopi yang sudah mulai bisa Lita kuasai setelah dalam setahun ini dia pelajari.
Semenjak Lita memegang manajementnya, perkebunan itu menjadi berkembang dengan pesat. Semula kopi-kopi yang dihasilkan dari perkebunan mertuanya hanya bisa dinikmati dan dijual di dalam negeri, kini sudah tersedia di beberapa nehara Asia. Rencananya dia ingin menembus pasaran eropa. Sehingga dunia bisa tahu bahwa kopi yang dihasilkan dari perkebunan ini tak kalah dengan kopi-kopi dari mancanegar dengan olahan yang sama.
Gagasan-gagasan cemerlang seperti inilah membuat kedua orang tua Hendra semakin mengandalkan Lita.
"Tanda apa nggeh (ya), Bu?" tanya Lita balik. Matanya melirik ke Hendra sambil menyendok nasi ke piring dan menyodorkan kepada suaminya.
Sebenarnya perempuan itu tahu apa yang dimaksud ibu mertua Lita. Namun, dia takut untuk menyampaikan, bahwa putranya sama sekali masih belum menyentuhnya. Lita takut Bapak dan Ibu Wiryo tahu kalau dia masih perawan. Dan, dia takut kalau mereka tahu sebenarnya sikap putra mereka selama setahun ini sangat dingin terhadap Lita. Sehingga tak mungkin dia bisa memberikan keturunan dari benih putra satu-satunya yang selama ini mereka rindukan.
"Lo, masak ndak ngerti to, Nduk?" Pak Wiryo menegur Lita. Sepintas pandangannya sejurus dengan istrinya. Wanita berkeibuan itu pun menarik bibir hingga kedua sudutnya melengkung ke atas.
Hendra yang menyaksikan aksi drama ini tak mempedulikan. Dia menganggap ini semua hanyalah bualan semata yang tak perlu dia tanggapi. Lelaki itu menyibukkan diri mengambil beberapa menu yang sudah dihidangkan di atas meja makan.
Gurami asam manis, sayur asam, ayam, tempe dan tahu goreng serta sambal terasi. Sudah pasti ini semua masakan Lita hasil belajar dari Bu Wiryo selama ini yang selalu menjadi hidangan favorit Hendra.
Lita selalu mempunyai keinginan untuk belajar membuat menu-menu kesukaan Hendra kepada ibu mertuanya. Tak ayal, perempuan itu kini berhasil hingga membuat rasa masakannya nyaris tak bisa di bedakan rasanya dengan buatan ibu mertuanya.
Namun usaha Lita sama sekali tak pernah mendapatkan perhatian dari Hendra. Lelaki itu menganggap, itu semua hal yang biasa saja. Tak ada istimewanya.
"Kamu kan wes (sudah) setahun menikah, masak ndak ada tanda-tanda hamil?" lanjut Pak Wiryo sambil menatap Lita dengan serius. Dari sorot matanya mengisyaratkan pertanyaan yang membuat menantu satu-satunya itu gugup. Seketika lidah Lita kelu. Dia tak bisa menjawab pertanyaan dari mertunyanya yang membuatnya menjadi mati kutu.
Lita menunduk. Berpura-pura menekuri makan malamnya. Padahal dia sedang berusaha untuk menahan air matanya yang mulai mengembun di kelopak matanya. Dia tak ingin kedua orang tua yang ia cintai itu tahu, bahwa hatinya sedang teriris dan perih. Kerana pertanyaan yang terlontar begitu saja dari kedua mertuanya.
"Dereng (Belum), Pak," jawabnya lirih. Sambil tangannya yang gemetar mengantarkan nasi ke mulutnya. Dengan wajah yang masih menunduk. Lita mengunyah pelan tapi gigi menekan dalam, seraya melampiaskan kepiluannya.
"La bagaimana, to? Bapak sama ibu rasane wes ndak sabar pengen gendong putu (cucu), ini. Iyo to, Bu?" goda bapak sambil terkekeh dan meminta persetujuan dari Ibu yang disambut dengan senyum.
Lita mengangkat kepala perlahan. Dia menjawab dengan senyum candaan bapak mertuanya yang mampu mengoyak hati. Rasa pilu itu mampu membuat tubuhnya bergetar. Tetapi, Lita berusaha untuk menahan. Agar kepedihan itu tak tertangkap oleh kedua mertuanya.
"Piye, Hen? Apa perlu periksa ke dokter?" tawar ibu yang hanya disambut senyum miring Hendra. Lalu, dia bergegas berdiri dan meninggalkan meja makan. Untuk menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuatnya muak.
"Looo! Mau kemana kowe (kamu), Hen?" tanya bapak yang melihat Hendra berdiri dan akan meninggalkan meja makan.
"Mau ke kamar dulu, Pak. Baru keingat, ada kerjaan yang belum selesai," jawab Hendra beralasan agar dia dapat segera terbebaskan dari forum meja makan yang membuat mood-nya seketika menghilang.
"Kerjaan, kerjaan. Kerjaan apa kamu itu? Kebun kopi itu, lo. Urusin karo (sama) Lita. Biar kamu juga ngerti koyo (seperti) bojomu," tukas Pak Wiryo dengan suara khas seraknya. Mencoba mengingatkan Hendra.
"Nggeh (iya), Pak. Nanti kalau Hen sudah punya waktu," jawab Hendra mengelak.
"Halah! Mbelgedes. Kapan kamu punya waktu untuk perkebunan to, Le? Kalau kerjaan seperti itu masih mbok belani (kamu belain) saja," keluh Pak Wiryo sambil meletakkan sendoknya di atas piring. Menandakan ia telah selesai.
Hendra pergi begitu saja. Tak menanggapi ucapan Pak Wiryo yang sebenarnya membuat Hendra kesal. Namun, dia tak mau membuat situasi menjadi kacau. Sehingga dia tak meladeninya.
Hendra pergi ke kamarnya untuk melerai emosinya yang mulai tersulut dengan kata-kata Pak Wiryo tadi. Dia memang tak pernah sepaham dengan pemikiran bapaknya. Selalu berselisih paham. Sehingga dia lebih sering memilih untuk menghindar.
Lita pun ikut pamit. Bergegas dia menyusul Hendra yang sudah masuk ke kamar. Walau sebenarnya di dalam kamar mereka tak saling bertegur sapa dan bicara. Namun Lita tetap berusaha untuk menemani suaminya dengan harapan suatu saat sang suami akan berubah dan mau mencintainya, meski harapan itu sangat kecil.
Akan tetapi, ketika Lita masuk, dia menemui Hendra sedang menelepon. Lita melihat wajah suaminya yang begitu bahagia berbicara dengan lawannya di balik telepon itu. Ia sempat menduga, bahwa itu adalah Maya Rinjani.
Perempuan yang sudah merebut cinta sumainya. Perempuan yang sudah mengalihkan perhatian suaminya. Perempuan yang selama ini telah membuat Hendra takluk. Perempuan yang sudah memporak poranda rumah tangganya.
Apakah dia ndak tahu, kalau Mas Hendra sudah beristri? Hati Lita dibakar api cemburu. Namun, dia bisa apa? Tak ada yang bisa ia lakukan selain meratap dalam hati. Dia bersumpah, akan menemui Maya Rinjani. Akan melabrak perempuan itu agar pergi yang jauh dari suaminya. Agar tak mengganggu rumah tangganya lagi. Agar Hendra menjadi milik dia seutuhnya.
Lita duduk terdiam di atas ranjang sambil berpura-pura membaca novelnya. Dia memperhatikan suaminya yang sedang menelepon menghadap keluar luar jendela.
Hendra yang melihat Lita masuk, seketika berpaling ke jendela sambil menerima telepon dari seseorang. Terkadang dia memelankan suaranya agar Lita tak mendengarnya. Terkadang dia pun tertawa kecil. Dia tak sadar Lita sedang memperhatikannya.
"Mau ketemu di mana? Oke, aku ke sana sekarang. Tunggu aku di sana," ucap Hendra menutup teleponnya. Kemudian dia bergegas menyambar kunci mobilnya dan pergi meninggalkan Lita sendiri di dalam kamar. Padahal, malam ini sebenarnya Lita sudah siap bila suaminya terpesona dengan penampilannya. Dia sudah siap bila Hendra ingin menjamahnya. Dia sudah siap untuk menjemput pahala. Namun, ternyata itu sia-sia. Hendra sama sekali tak memedulikannya.
Bersambung...!
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMBILU PERJODOHAN
RomanceSeharusnya, bagi sepasang kekasih yang sudah mengikat janji dalam ikrar pernikahan, malam pertama adalah saat yang terindah. Akan tetapi, bagi Hendra tidak begitu. Ini adalah malam terburuk sekaligus neraka buatnya, karena dia harus berada dalam sat...