Kawan Kolaborasi

4 0 0
                                    

     Hari yang cerah, sorot bagaskara yang sinarnya terlihat dari balik dedaunan, memaksakan muncul walau deretan awan menghadang niatnya. Lambaian dedaunan pohon palm menyapaku penuh kelembutan di pagi ini. Desiran sang bayu juga tak lupa hadir untuk menemaniku menikmati kehangatan sinar mentari hari ini. Bertemankan selembar kertas dengan pena, aku tuliskan apa-apa saja yang ingin kutuliskan. Perlahan kugoreskan pena pada benda berwarna putih itu. Kata demi kata kini mulai menghiasi lembaran itu.

     Tak hanya itu, sapaan teman-teman yang silih berganti menemaniku mengagumi keindahan ciptaan Tuhan. Bermacam-macam bentuk sapaan yang kudapatkan dibalik balkon, membuatku tambah semangat untuk menjalankan hari ini. Aku teringat pada satu quotes yang kutuliskan beberapa hari yang lalu. Kala itu, aku langsung bergegas mengambil lembaran kertas lain di dalam tas. Kuambil kertas itu dan kubaca lagi dengan senangnya. 

“Senja itu kembali datang,
seiring dengan pisahnya hari ini.
Senyuman itu hanya sebatas asa,
yang akan kembali dengan senyuman misteri.
Membuat semangat tuk bergelut dengan waktu.
Terima kasih sudah hadir.
Pintaku hanya satu,
tetaplah berjuang dengan sejuta kejutan,
tuk kelak yang lebih baik.”

     Dengan masih tersenyum aku baca lagi tulisan itu. Ya, ternyata bukan saja kemarin senja aku melihat segaris senyum di bibirnya. Di pagi yang begitu cerah ini,  aku kembali melihat senyumnya. Senyum yang selalu kunantikan di setiap harinya.

     “Hayo lihat siapa?” celetuk Sukma yang datang tiba-tiba.

     “Eh Sukma. Kapan datang?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

     “Barusan tadi. Hayo lihatin siapa?” tanyanya ulang.

     “Halah, itu lho biasa. Lihat teman-teman yang berangkat sekolah. Seneng rasanya lihat orang berangkat sekolah.” jawabku menghindari.

     “Walah, iya. Aku masuk dulu ya Ra.” ujarnya pamit. Aku yang mendengarnya tak menjawab apapun. Aku hanya mengangukkan kepala tanpa Sukma tahu dan kembali menikmati indahnya dunia pagi ini.

****

     “Silahkan segera berkumpul ke kelompoknya masing-masing. Nanti saya beri tugas untuk masing-masing kelompok.” jelas Bu Ani yang dilanjutkan dengan menuliskan sesuatu di papan tulis.  Aku yang mendengar kata-kata itu langsung bergegas mencari kelompok siapa aku ini. Tak hanya aku, semua teman satu kelas kini berangsur-angsur bergerak mencari letak kelompoknya berada. Dengan membawa buku dan tempat pensil aku berjalan mencari teman sekelompok. Kulihat ke samping kanan, terdapat Ilham yang mengangkat tangannya dengan posisi jari telunjuk diacungkan. Pertanda bahwa ia kelompok pertama, satu kelompok denganku. Tak berpikir panjang, aku langsung bergegas menuju tempat dimana kelompokku berada.

     “Kelompok satu kan?” tanyaku.

     “Iya. Ayo Ra.” ujarnya. 

     “By the way, bakal dapat tugas apa ya?” tanyaku pada semua anggota kelompokku. Belum sempat terjawab, Bu Ani mengangkat bicara. Perlahan ia mulai menjelaskan tugas seperti apa yang ingin ia berikan. Aku yang mendengarnya langsung mencatat apa-apa saja yang ada dalam tugas itu.

     “Sudah silahkan dikerjakan, saya beri waktu setengah jam. Setelah itu presentasikan di depan.” perintah Bu Ani sembari menutup spidol.

      Tanpa berpikir panjang, aku dan teman-teman satu kelompok dengan semangat mulai mengerjakan tugas. Satu demi satu pertanyaan kami jawab dengan teliti. Kami tuliskan jawaban pada selembar kertas putih dengan rapi. Canda tawa menghiasi di setiap goresan pena yang kami lukiskan pada lembar jawaban. Selang waktu dua puluh menit kemudian, akhirnya kami tuntas tugas. Alhasil yang kami lakukan hanyalah berdiam diri seolah menjadi patung dalam suatu museum. Yang hanya duduk dan saling menatap tanpa merasa ingin membicarakan suatu hal.

     Aku yang semakin kesini semakin bosan dengan keadaan langsung bergegas membuka ponsel. Aku letakkan tempat pensil di depanku dan kuletakkan ponsel di baliknya. Berharap, apa yang kulakukan tidak diketahui oleh Bu Ani, guru fisika yang tengah mengajar pagi ini. Kubuka sosial media apa-apa saja yang ingin kubuka. Kugerakkan ibu jariku ke atas ke bawah, mulai  men-scroll bagian-bagian apa saja yang ingin kutengok. Tiba-tiba aku ingat dengan satu hal yang kujadikan tujuan hari ini. Sebuah kata kolaborasi yang harus segera dinyatakan. Kumemandangi semua temanku, kulihat satu per satu. Namun, entah mengapa aku belum saja mendapatkan  petunjuk. Sekarang yang kulakukan hanyalah berdiam diri, membaca pamflet untuk keberkian kalinya, tanpa tahu siapa orang yang akan berkolaborasi denganku.

     “Ra, baca pamflet apa?” tanya Sanu yang tiba-tiba saja angkat bicara.

     “Ini pamflet lomba karil.” jawabku sembari menunjukkan pamflet dalam ponsel.

     “Oh, karya tulis ilmiah. Temanya apa?” tanyanya lagi.

      “Baca ae coba. Ndek situ ada.” jawabku.

     “Optimalisasi peran generasi milenial untuk mewujudkan generasi emas Indonesia. Wow, menarik temanya. Mau ambil subtema yang mana?” tanyanya penuh penasaran.

     “Rencana mau ambil pendidikan si. Eh, ayo ikut. Satu kelompok sama aku, nanti tinggal cari orang satu lagi.” ujarku tiba-tiba. Entah apa yang sudah mendorongku untuk mengajaknya. Yang terlintas di benakku hanyalah, sebegitu penasarannya Sanu dan semangat yang terpancar dari matanya. Membuatku yakin untuk mengajaknya berkolaborasi.

     “Waduh, ngawur! Aku bukan anggota ekstra KIR Ra.” ujarnya berusaha menolak.

     “Nggak papa. Nggak semua yang ikut lomba karil harus anak KIR. Dan aku yakin, Sampeyan mampu untuk itu.” ujarku meyakinkan.

     “Aduh, sek. Biar kupikirkan matang-matang dulu. Selain aku, nanti mau ngajak siapa?” tanyanya sembari membaca ulang pamflet.

     “Fadhil mungkin. Dia kan anak KIR dan sering ikut lomba pula. Nanti coba aku tanya, siapa tahu masih longgar belum ada jadwal lomba lainnya.” ujarku dengan masih ragu-ragu. Kulihat Sanu yang masih saja memelototi pamflet hanya mengangguk, mengiyakan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

****

     “Ayo Dik, segera masuk kelas ya. Ini pembina sudah datang.” perintah Mas Afif dari balik pintu ruang kelas. Mendengar perintah itu, kami para junior yang sedang asyik mengobrol di luar kelas, bergegas memasuki ruangan kelas. Aku yang pada waktu itu adalah anggota baru hanya berdiam diri tanpa berbicara satu kata pun.

     Sebenarnya tidak bisa dibilang anggota baru juga, hanya karena saja aku jarang masuk ekstra. Karena harus menyelesaikan masalah dengan ekstra sebelah. Namun apalah daya, dengan kondisi yang seperti itu aku hanya menyapa orang-orang yang tak kukenal. Tidak semua, mungkin hanya Fadhil yang kala itu sudah mengenalku. “Dhil, duduk ndek sini ae.” ajakku berharap ada kawan mengobrol.

     Tak membutuhkan waktu lama, Fadhil langsung merespon perkataanku. Diambilnya tas pada bangkunya dan mulai berpindah duduk di sampingku. Saat itu juga pembelajaran dimulai. Pak Malik, pembina ekstraku memulai dengan melontarkan pertanyaan yang sempat membuatku syok.

     “Bagaimana sudah sampai mana KTI-nya. Coba kamu yang depan, judulmu apa?” pertanyaan itu terlontar begitu saja.

     Aku yang notabennya tidak punya teman bahkan tidak punya kelompok ini langsung kebingungan mencari judul. Terlintas saja dipikiranku tentang tema lomba yang akan kuikuti. Aku mengambil pena dan kugoreskan pada buku Fadhil judul yang kuinginkan.
“Penerapan Kurikulum berbasis komputer di SLB untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia.” jawabku pada Pak Malik yang sudah menanti jawaban ini.

     Kulihat raut wajah Pak Malik yang datar itu langsung lanjut bertanya pada kelompok lainnya. Aku yang melihat tingkah Pak Malik langsung mengelus dada. Aku yang merasakan pair jantung ini berusaha mengontrol diri. Kubuka obrolan dengan Fadhil.

     “Dhil, aku mau ikut lomba KTI. Kira-kira mau ambil judul ini. Piye? Ayo ikut.” ajakku pada Fadhil yang terlihat bersemangat.

     “Wah, ayo. Siapa yang ngadakan?” tanyanya penuh semangat.

     “Ini pamfletnya. Tapi, Sampeyan nggak lagi ada job lomba dengan kelompokmu kan? Eh, oleh ta Sampeyan lomba bareng aku?” tanyaku dengan menyodorkan ponsel berisi pamflet.

     “Wow, keren lombanya. Ikut deh aku. Bolehlah, siapa yang ngelarang. Aku ya nggak ada job lomba sama temenku satu kelompok. ” jawabnya memantapkanku.

     “Oke, alhamdulillah.” ujarku.

     “Mau ngajak siapa lagi?” tanya Fadhil.

     “Aku tadi sudah coba ngajak Sanu. Tapi entah dia katanya masih pikir-pikir.” jawabku tak terlalu yakin.

     “Bagus. Dia mau mustinya. Nanti coba kita ngobrol lagi.” ujarnya penuh harapan.

****

SEMUWhere stories live. Discover now