26/08

4 0 0
                                    

Hari yang cerah, sang mentari mulai menyapaku dengan senyuman mega di bibirnya, hembusan sang bayu menemani indahnya dunia pagi ini. Kicauan burung nan amat merdu, menemani alunan tetesan embun hari ini. “Selamat pagi dunia.” sapaku dengan senyuman. Hm... dunia ini sangat indah. Lukisan sang Maha Kuasa sangatlah menawan, apik, dan mempesona. Namun, tak seperti apa yang kurasakan ini, hidup terasa berat dan suram. Tak secerah mentari pagi ini. Aku cacat. Ya, sudah sejak lahir. Tapi aku tak kan menyerah, mentari saja selalu menampakkan senyumnya walau dia tak kan muncul di malam hari. Kini aku duduk di bangku depan. Aku tak sendiri,  Andra adikku yang masih bayi menemaniku. “Wir.. Ibu minta tolong ambilkan makan Adikmu, ya!” ujar ibu dari dalam kamar.

Ya... Henin namanya. Nama cantik yang selalu membuatnya berseri-seri setiap harinya. Namun, ah... wajah berseri itu kini berubah menjadi wajah muram dan penuh duka. Sejak adikku lahir, ibuku memang tak bisa melihat karena darah putih ibuku naik. Apalagi ditambah dengan keegoisan ayahku, dunia ini serasa sempit, gelap, dan kejam. Memang setelah usaha ayahku bangkrut, ayahku berubah menjadi seorang yang boros, pemarah, dan pengguran. Yang dilakukan ayah hanyalah pulang minta uang, minta makan lalu pergi lagi entah kemana.

“Heh.. kamu! Setiap hari makan tahu tempe tahu tempe. Lho pikir, gue gak bosan apa? Cepet bikinkan lagi!” teriak ayah dari dalam kamar yang tengah marah dengan ibu.

Seketika lamunanku pecah, bak air dalam plastik yang dibanting dan pecah berhamburan, mengalir entah kemana. Tak berpikir panjang, aku segera menghampiri mereka berdua.

“Ada apa sih Yah?” tanyaku dengan menegur.

“Bagaimana saya gak marah, tiap hari makannya tahu tempe tahu tempe. Kayak orang miskin aja.” jawab ayah dengan nada tinggi.

“Maaf Yah.. itu yang sanggup aku beli. Karena aku harus membeli susu buat Andra juga.”  ujarku dengan tenang.

“Susu.. Susu. Bukan Andra juga yang butuh gizi, orang dewasa malah lebih butuh, bodoh!” sambung ayah semakin marah.

“Sudah Yah... jangan marah ke Wirdha. Wirdha gak salah. Aku yang salah.” ujar ibu menambahkan.

“Dasar kamu.” hanya kata-kata itu yang diungkapkan ayah. Lalu pergi entah kemana.

*****

Hari silih berganti. Awan tebal kini semakin lama semakin tipis. Sama seperti stok makanan yang ada di rumah. Beras semakin ke sini semakin habis.
Memang sejak ayahku berubah, semua pekerjaan rumah berganti alih kepadaku. Ya... mau bagaimana lagi? Andra harus punya asupan gizi yang  baik, ibuku? Anak mana yang tega membiarkan ibunya menanggung beban semua  dengan keadaan fisik yang kurang. Ya memang ini adalah tugas ayahku. Tapi, dengan perubahan sikap yang amat berlawanan, membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga. Hm... tak apalah daripada ibu dan Andra yang menjadi korban.

Kulangkahkan kaki kecilku ini menuju pasar. Ya pasar, tempat yang pantas untuk mencari uang. Kutengok ke kanan, tatanan stand pasar yang amat rapi, namun mana mungkin aku bisa melakukannya, memotong ayam dan menyangkut beras. Kutengok ke kiri. Sip.. ini pantas. Kulihat stand koran. Ya mungkin aku bisa bekerja di sana. Perlahan kumulai mendekati tukang koran itu.

“Assalamualaikum Pak. Mohon maaf, apa saya bisa bekerja di sini? Saya bisa memutarkan koran ini Pak.” tawarku kepada tukang koran.

“Waalaikumsallam. Lho kamu ini masih kecil. Mana orang tuamu? Anak sekecil ini kok ditinggal di pasar sendirian.” gerutu tukang koran.

“Saya sendiri Pak, ibuku di rumah Pak. Ayahku gak tau entah kemana.” jawabku dengan nada amat pelan.

“Lho kenapa bukan Ibumu dan Ayahmu saja yang bekerja? Kamu kan masih kecil dan seharusnya kamu sekolah.” tanyanya lagi.

26/08Where stories live. Discover now