kusut

17 7 5
                                    

Tik, tik. Denting tik-tok berpacu mengitar bersama angka-angka yang tertuju. Kepalaku bertumpu pada telapak tangan dengan mata sayu menatap papan kaca didepan yang penuh dengan banyak tulisan. Demi apapun aku bosan menatapnya.

Kringggg….

Akhirnya, kukemas semua alat tulisku sebelum keluar dari ruang kelas. Sekolah perlahan sepi, atau bahkan kini tinggal aku seorang diri? Ternyata tidak, sekelompok lelaki menghampiriku, mereka kawananku. Beberapa diantaranya mulai melajukan kendaraan seraya melempar senyuman dan beberapanya memilih tinggal menungguku pulang. Teman yang baik bukan?

“Tungguin ya,” pintaku padanya, seorang lelaki berhoodie gelap. Badai, ia sahabat lelakiku, kami cukup dekat belakangan ini. Dan Badai lah yang selalu sabar menunggu kepulanganku.

“Ya,” menunggu tak kan terasa bosan saat ada Badai, karena dia selalu mampu menghadirkan gelak tawa diantara kami semua. Tak jarang akupun tertawa mendengar celotehannya, atau bahkan sebaliknya.

“Badai, gue pulang ya!! Makasih,” aku berlalu dengan senyuman yang masih tertuju pada mereaka yang tertinggal. Badai tersenyum, dia manis dengan rambut tebalnya yang diterpa angin dan bajunya yang keluar.

Waktu berjalan cepat, hingga tanpa sadar Aku dan Badai pun semakin dekat. Ia menghiasi hari-hariku dengan jingga istimewa, dan kurasa yang dilkukannya itu wajar sebagai seorang sahabat.

Saat jarak kami terasa dekat tapi aku merasa ada sekat, begitu banyak perbedaan yang hadir mewarnai hubungan ini.
Badai melempar senyum saat mata kami beradu dikantin, ia duduk bersama kawanannya dan aku duduk bersama kawanan lain. Tegukan demi tegukan membasahi kerongkonganku yang terasa kering.

“Senja, gue rasa Badai suka deh sama lo,” aku terhenyak, kutatap dalam kedua bole mata gadis yang duduk disampingku itu.

“Maksud lo?” Santi menceritakan segala hal yang ia tahu, aku terdiam mendengarkan. Benarkah Badai? Benarkah kau menyukaiku? Hatiku terus menepis saat logikaku menyetujui ucapan Santi.

Berpura-pura adalah caraku untuk menjaga perasaanku sendiri agar rasanya tidak semakin tumbuh. Aku benci menjaga jarak darinya, karena dia sahabatku, dan akan selalu begitu.

Kami bermain peran, peran yang amat bodoh. Aku tahu dia mencintaiku tapi aku bersikap seolah tak ada apa-apa dintara kami, aku tak ingin Badai terluka hanya karena rasanya yang tak terbalaskan. Badaipun begitu, ia sudah tahu mengenai perasaanku tapi ia tetap menunjukan seolah ia tak tahu apapun.

Semua berperan baik, sampai suatu hari Badai menyatakan rasa itu secara lngsung padaku. Ingin rasanya kuputar waktu agar lelaki itu tetap pada jalannya dan tak mengusik jalanku.

Tidak, adalah jawaban yang kuberikan padanya. Aku tahu ini menyakitkan, tapi lebih baik ditampar oleh kenyataan bukan dari pada dibahagiakan oleh kebohongan? Namun lelaki ini berbeda, ia tetap teguh memperjungkanku.

“Apa nggak ada cara lain biar kita bisa bersama?” Aku diam masih dengan perasaan yang bergejolak.

“Nggak dai.”

“Kenapa?” kuhembuskan nafas panjang seraya menatap kedua manik legamnya yang pekat.

“Karena kita beda dan nggak akan bisa sama,” bibirku tersenyum kecut, ia diam berusaha tuk tegar dengan kata-kata yang baru kuucapkan. Ia tersenyum seolah menerima ucapanku, kemudian pergi meninggalkanku sendiri.

Raga kami memang dekat, tapi perbedaan membuat kami terasa jauh. Bagaimana bisa kami bersama sedangkan yang kami percayai saja berbeda? Akan terasa percuma jika kami menjalani hubungan yang kami sendiri sudah tahu bagaimana akhir dari kisah itu.

Aku memang tak ingin kehilangan dirinya, tapi bukankah akan terasa egois jika aku menahannya? Kini pilihannya hanya dua, ditinggalkan oleh dia atau meninggalkan sang pencipta. Dan aku memilih pilihan pertama dengan segala resiko yang ia bawa.

Badai berubah, kini hatinya seakan sekeras batu karang yang tak habis diterpa ombak. Aku terlalu pengecut tuk mendekatinya, atau hanya sekedar menyapanya. Badai, andai kau tahu semua ini harus kulakukan agar tak ada yang terluka. Aku tahu melupakan itu butuh waktu, dan kumaklumi sikap Badai terhadapku. Namun kini bukn hanya Badai yang tersakiti, tapi juga aku.

Aku hampa, rasanya bintang itu tak lagi bercahaya. Rasanya senja di cakrawala itu sudah mati rasa, dan tertutupi oleh awan hitam yang memercikan kesedihan.

Ya aku sadar, perasaanku pada
Badai telah berubah. Dosisnya lebih dari sekedar sahabat, tapi akupun paham posisi kami. Sebesar apapun rasa yang ada tak akan memungkinkan kami tuk bersama, itu sudah menjadi ketetapan mutlak. Sedari itu Badai tak boleh tahu, cukup aku saja yang memikulnya. Dan semuapun sudah sia-sia, karena lelaki itu telah menyerah dan akupun tak bisa menampiknya.

“Badai?” Aku menjadi kikuk didepannya. Cukup lama kami berperan sebagai orang asing yang tak saling mengenal, kini aku lega ia mau datang dan mengajakku kembali bercanda seperti biasa.

“lo udah dijemput, pulang sana!!”

“Iyaa iyaa, gue deluan. Bye!!”

Andai kau tahu badai, membuat jarak padamu itu menyiksaku, dan aku senang kini kau kembali sebagai Badai yang aku kenali.

Tak jarang aku lihat ia tertawa bersama gadis lain, begitupun sebaliknya. Tapi aku tahu inilah yang seharusnya terjadi. Kami memilih tuk saling merelakan dalam diam dan pasrah akan ketetapan sang pencipta.

Lebih baik rasa itu hilang jadi debu bukan? Dari pada harus terbakar jadi arang.
Dari dirinya aku belajar hal baru, bahwa perbedaan paling jauh itu bukanlah beda kota, melainkan beda keyakinan. Pahit memang, tapi percayalah yang Tuhan takdirkan tak akan pernah kita sesalkan.


-end-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KUSUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang