Biarkan Kami di Jalan

3 0 0
                                    

Ratusan Siswa-siswi baru berbaris di lapangan sekolah. Mereka berdiri tertunduk lengkap dengan topi kerucut berbahan kertas karton dan papan nama yang terbuat dari kardus diikat tali rafia sebagai tanda pengenal. Aku melihatmu ketakutan saat para senior melewati barisanmu. Barangkali, kamu takut berdiri di sampingku. Bukan karena aku akan menyakitimu, tetapi barisanku adalah barisan depan yang menghadap ke ratusan siswa-siswi. Ya, kami baris di depan karena dianggap telah menyalahi aturan yang telah dibuat. "Mbak, itu yang pakai kuncir warna merah di barisan kedua kok nggak dihukum juga? Kan dia nggak pakai papan nama dari kardus," laporku atas kesalahanmu kepada salah satu senior di sampingku.

"Sudah, nggak usah ikut-ikut!"

Senior itu kemudian berjalan mendekat ke tempatmu. Dia seperti bertanya sesuatu, tapi telingaku tidak cukup sensitiv untuk mendengar. Waktu itu suasana di lapangan memang cukup gaduh karena senior-senior itu memarahi kami dengan membentak-bentak. Tidak lama kemudian tanganmu ditarik menuju depan dan disuruh berdiri tepat di sampingku. "Ya Tuhan, sekarang aku baru tahu bahwa memang benar surga dunia itu bisa didapat dengan cara melanggar aturan," gumamku, sambil menghindar dari lirik tajam matamu.

Barangkali saat itu kamu sedang menyimpan kecewa padaku. Tapi, maaf, sebesar apapun kekecewaan itu, tidak sebanding dengan besarnya kagumku melihatmu. Kamu cantik. Kamu anggun. Kamu segala yang baik-baik. Satunya-satunya jatuh yang paling menyenangkan adalah cinta kamu. Sungguh terlalu cepat. Tapi, tidak ada satu teoripun yang melarang jatuh cinta lebih cepat ataupun agak lambat. Bahkan dalam kisah romeo juliet-pun.

MOS (Masa Orientasi Siswa) memang ajang untuk saling mengenal. Termasuk antara aku dan kamu. Di hari pertama sekolah, sebagai permintaan maafku karena telah melaporkan kesalahanmu pada senior, aku mengantarkanmu pulang. Awalnya kamu menolak. Tapi setelah aku mengancam akan bunuh diri, kamu luluh. Wajahmu marah, anggukmu dipaksa, tapi itu tak masalah. Yang terpenting di hari itu adalah: kita sama-sama.

"Bunuh diri kayak gak punya iman aja" katanya, di atas motorku yang pelan-pelan melewati gang-gang.

"Aku nggak punya iman? hehe, yang bener itu aku nggak punya kamu."

Saking senangnya, aku lupa melewati jalanan kota tanpa memakai helm. Di sebrang ada polisi berdiri menatap kami. Kumisnya tebal, memakai kaca hitam, dan menggenggam tas kecil. Mungkin isinya surat tilang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Biarkan Kami di JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang