1

6 0 0
                                    

"Dava mana?"

"Di kelas."

"Tumben nggak ke kantin, biasanya paling rajin."

"Sepatunya itu sebelah-sebelah. Malu katanya, makanya nggak kemana-mana."

"Kok bisa?"

"Nggak tau. Katanya nyadarnya baru pas di sekolah. Kurang bodo gimana lagi coba?"

"Aneh segitu nggak pekanya ya? Bodo banget sih."

"Sama sepatu aja nggak peduli, apalagi sama cewek. Eh."

"Bener deh bener. Makanya sampai sekarang masih jones aka tu anak."

"Cie perhatian."

"Apaan sih." aku menepis rambut kebelakang.

"Jadi hubungan kalian itu apa?"

"Nggak ada apa-apa."

"Kalo nggak ada apa-apa, kok kemarin aku liat kamu sama Dava ngobrol di depan gerbang."

"Cuma ngobrol. Salah?"

"Beneran? Nggak percaya."

"Terserah."

Dan mereka malah tertawa. Aku mengambil botol minumku dan segera meninggalkan meja makan. "Aku deluan." Ujarku singkat. Meninggalkan cowok-cowok gaje yang menanyakan hubungan nggak jelas diantara aku dan teman mereka.

"Kak Azel!" seorang adek kelas dengan badan tinggi dan senyum yang manis mendekatiku, sapa saja Fandi. "Mau kemana kak?" tanyannya. "Balik ke kelas lah." Jawabku. "Yaelah kakaknya mah masih judes aja." Candanya.

"Sekali-sekali lah dek, sekalian belajar akting. Hahaha."

"Ya korbannya jangan aku juga kak."

"Yang lewat adanya kamu, salahnya lewat sini."

"Aku mau ke kantin masa nggak boleh kak?"

"Ya boleh sih, Cuma lewat jalan lain aja kalo nggak mau ketemu aku."

"Maunya ketemu kakak, makanya lewat sini."

"Ah, kamu mah gitu terus. Deluan deh dek."

"Iya kak, ketemu nanti siang kak!"

Aku hanya tersenyum kemudian berlalu pergi. Pundak bidangnnya perlahan menghilang di tengah kerumunan kantin. Aku melanjutkan perjalananku ke kelas. Langkahku terhenti di depan toilet pria, Dava keluar dari sana. Ia membasuh tangannya di wastafel depan. Aku berhenti sejenak dan Dava melihat kearahku. Pandanganku terhenti pada sepatu Dava. Memang benar sama-sama hitam, ukurannya juga sama, ya hanya jenisnya yang berbeda. Bentuknya aja beda, yang satu Fila yang satu Eagel. Seberapa bodoh dia? Aku hanya menahan tawaku. Wajahnya yang memang sayu dengan kantong mata yang tak hilang-hilang sejak pertama kali bertemu itu menyadari tatapan mataku ke arah sepatunya.

"Apa lihat-lihat!"

"Apa? Nggak boleh aku liat?"

"Nggak."

"Kamu ngantuk ya? Bodoh!"

"Nggak sengaja tau. Nggak usah liat lagi."

"Percuma nggak aku lihat, tapi semua orang bisa liat juga kan. Apa kamu mau nyuruh semua orang tutup mata gitu terus kamu lewat. Cuma orang ngantuk sama orang bodo dan nggak pekaan yang nggak bisa bedain mana Fila mana Pricies."

"Iya-iya aku ngantuk. Aku bodo. Aku nggak peka. Puas?"

"Katanya malu ke kantin. Kok ke toilet nggak malu?"

"Terpaksa!! Yakali aku kencing di botol."

"sekalian aja tuh kelas jadi kamar mandi."

"Lah, tu tau."

Aku berjalan agak mendekatinya, kemudian melepas sepatu olahragaku.

"Nih pake!" aku menyodorkan sepatu olahragaku di depan dadanya. Iya dia lebih tinggi banyak senti dariku.

"nggak ah, sepatu cewek!"
"masih mending sepatu cewek apa sepatu sebelah aja?"

"la situ make sepatu apa?"

"Aku bawa pantofel di motor."

Dia terdiam sesaat, berpikir mungkin. "ambil pantofelmu dulu, nanti aku pake sepatumu."

"lah kok nyuruh. Ya kamu yang ambilin lah, kan situ yang minjem." Aku melemparkan kunci padanya, dan otomatis dia menangkapnya dengat tepat.

"mana motormu?"

"itu disana." Aku menunjuk motor berwarna putih merek nex dengan garis hijau dan biru.

Dia mengambil sepatu pantofel berwarna hitam di jok motorku dan kembali ke depan toilet. Aku melihat siluet yang di buat olehnya. Aku tersenyum dalam hati. Kadang percakapan nggak jelas dan nggak penting semacam inilah yang akan terkenang. Entah kenapa matahari siang itu tak membuatku panas . aku hanya merasa dingin dan jantung berdebar dua kali dari biasanya. Dan dia datang membawa kantong plastik berisi sepatu itu.

"Nih!"

Aku mengambil kantong plastik putih yang disodorkannya. "Makasih." Sembari melepas sepatu olahraga dan menggantinya dengan sepatu pantofel yang di ambil Dava tadi.

"Nih!" Aku menyodorkan sepatu olahragaku di depannya.

"Beneran nggak apa?"

"Lebay banget sih. Udah sana pake aja."

"Berisik!" Dava segera memakai sepatu olahragaku yang berwarna putih itu.

"Cocok kok."

"Diem!"

Kamipun berjalan kembali ke kelas. Seperti tak menggubrisku dia berjalan 1 meter jauh di depanku. Aku hanya melihat punggungnya yang berayun seiring kakinya menghentak.

Aku meremas tanganku. Rasanya hati ingin berteriak tapi mulut mengunci semua itu. "Dav!" lirihku. Tentu saja dia tak menoleh, mendengar saja tidak. Bodohnya aku. Hanya sebatas itu hubunganku dengannya. Teman. Lebih tepatnya teman debat. Teman berantem. Tapi tak pernah sekalipun teman curhat. Karena Dava bukan tipe anak yang enak di ajak curhat, yang ada aku nanti malah di ledek.

Dava, gamers bermata coklat. Sangat tergila-gila pada Alan Walker dan musik EDM lainnya. Dekat dengan semua cewek cabe-cabean di dunia maya. Dia tak terlalu tampak di dunia nyata. Tapi di internet namanya melejit. Tak terlalu pintar. Waktu pelajaran di kelas dia habiskan untuk main game sedangkan istirahat atau jamkos dia tidur. Aku bahkan pernah memergokinya pulang magrib, katanya numpang wifian sambil ngegame.

Anak aneh, kata teman-teman sekelasku. Ya, aneh. Tapi dia cukup tampan untuk seorang aneh, dan mereka menganggapku gila. Guru bahasa Indonesia sangat sayang padanya karena keahliannya berpendapat, sering debat katanya. Terlalu pintar bicara, bahasa apa saja. Tak hanya guru bahasa Indonesia, tetapi guru bahasa Inggris juga sayang padanya. Nilainya selalu sempurna, itu membuatku muak. Ya, mungkin aku iri padanya klisekan?


Sepatu Dava [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang