Luka, satu kata berjuta makna.
Kupikir siapapun tak ada yang ingin terluka, Luka itu hadir saat seseorang berkata "pikiranmu sempit, penuh curiga, bahkan dia berkata bahwa kamu membuat kisah ini layaknya drama". sejenak aku berpikir, tak ada satupun yang bisa baik-baik saja saat luka itu kembali terbuka ditempat yang sama. Tempat ketika butuh perjuangan luar biasa hingga luka itu tertutup dengan sayatan pisau yang berbeda dan lebih tajam. Perasaan takkan pernah bisa dibandingkan dengan logika bukan? bahkan saat itupun, aku masih sempat untuk tetap berusaha memikirkan perasaan dia yang jelas-jelas sudah membuatku terluka. Luka yang tak terlihat namun menyayat begitu dalam. Masih tetapkah aku egois ketika aku terluka namun mampu memikirkan perasaan orang lain? dimanakah letak kesalahanku? saat aku ingin menjelaskan secara detail namun tak pernah diberi kesempatan. Hanya jawaban simple yang dia lontarkan, seolah-olah ini bukan suatu masalah besar. Rasanya aku lelah berperang dengan diriku sendiri. Lelah luarbiasa, sebab aku tak pernah mendapatkan jawaban dari benang merah ini sampai permasalahan ini terulang untuk yang kedua kalinya. Rasanya muak, semua berulang hingga berakhir tersalahkan dan tak pernah menemukan titik temu yang membuatku yakin untuk tidak membahasnya lagi dan lagi. Rasa dan logika memang tak pernah bisa dibandingkan sampai kapanpun itu. Hanya mengalah yang mampu meredam segalanya. Walau tak dipungkiri banyak tanya yang ingin aku lontarkan. Namun, demi menjaga keutuhan aku rela menahan dan menganggap semua baik-baik saja. Satu hal yang membuatku berat, bahwa faktanya tersimpan dan tertahan bagaimanapun aku bukanlah sosok yang bisa menutupi sesuatu. Fakta bahwa ekspresi suka atau tidaknya terhadap sesuatu sangat terlihat jelas dari raut wajahku, nadaku berbicara, hingga gerak gerikku pun tak sanggup aku sembunyikan. Entah sampai kapan lukaku kan tertutup dan mengering. Terkadang aku ingin lari namun aku sadar aku bukan pelari tangguh, dan aku sangat paham aku bukanlah pecundang yang lari dari kenyataan. Kenyataan mengajarkanku bahwa saat malam tiba seluruh rasa itu akan kembali dan mempertanyakan keberadaannya masing-masing, seolah mereka menagih janji untuk aku selesaikan. Namun pada akhirnya aku memutuskan terkadang hanya DIAM yang mampu membuat luka pulih dengan sendirinya, karena luka tahu keberadaannya bahkan ia memahami bahwa pemiliknya mampu mengobati sendiri seiring berjalannya waktu. Bahkan luka mengingatkan padaku bahwa aku harus sanggup mengobati lukaku sendiri karena akulah obatnya. Yaaaaaa, kamulah obatnya yaitu "obat cahaya utama"