4. Siapa yang masih ganteng?

2.4K 357 32
                                    

Seungmin duduk di bangku depan kelas sendirian, menanti Hyunjin yang tak kunjung keluar dari kelas. Hari ini hari Kamis, pelajaran terakhir adalah matematika. Yang membuat Seungmin heran adalah guru sekolah mana yang sudah memberikan ulangan dadakan di pertemuan ke dua.

Ya sekolah ini.

Ada ulangan mendadak dengan materi dari caturwulan (cawu) sebelumnya. Seungmin tidak tahu memang, karena baru kembali dari LA, tapi dasarnya udah jago matematika jadi Seungmin bisa menyelesaikan ulangannya dengan cepat.
Lain dengan Hyunjin yang sudah hampir setengah jam dari bel pulang berbunyi juga tak kunjung selesai.

Seungmin menghela napasnya. “Ngapain juga gue tungguin,” gumamnya, lebih kepada diri sendiri. Seungmin menyandarkan punggungnya di dinding.

Pintu kelas terbuka 15 menit kemudian, menampilkan sosok Hyunjin yang sudah seperti zombie. Kepulan asap terlihat mengawang di atas kepalanya. Hyunjin menoleh ke bangku di samping pintu untuk melihat Seungmin tertunduk.

“Astaga, Seungmin! Gue kirain lo nggak nungguin,” kata Hyunjin, kemudian menghampiri teman sekelasnya yang tidak merespon.

Hyunjin berjongkok di depan Seungmin untuk melihat wajahnya yang tertunduk. “Min?” panggilnya.

Ia dapat melihat mata Seungmin terpejam. Tangan Seungmin tersilang di depan dada. Hyunjin tersenyum. Tangannya bergerak untuk mengguncang pelan bahu Seungmin.

“Min,” panggilnya lagi.

Seungmin mengerang pelan, mengedipkan matanya beberapa kali sebelum mendongak.

“UWA!” Seungmin terbelalak dan menjerit kaget begitu melihat wajah Hyunjin di depannya. Ia menarik mundur kepalanya terlalu keras sampai membentur dinding. “Aw!” jeritnya lagi.

Hyunjin yang kaget reflek memegang kepala Seungmin. “Eh tiati kejedot min!” ucapnya telat.

Seungmin meringis sambil mengusap belakang kepalanya. “Udah kejedot!” serunya.

Hyunjin ikut mengusap rambut Seungmin. Ia terkekeh. “Lagian kaget segitunya emang gue setan?” candanya.

Seungmin menepis tangan Hyunjin. “Udah gapapa,” katanya. “Iya lo titisan setan. Kenapa lama banget sih? Lo ngerjain soal, nyari jawaban di ujung langit apa gimana?”

Hyunjin merengut sedih. “Susah tau,” katanya.

Seungmin membereskan tasnya kemudian berdiri. “Yaudah, udah lewat. Datang, kerjakan, lupakan.” Seungmin merapal mantra ajaib andalannya. “Ayo berangkat, keburu sore.” Ia berjalan mendahului Hyunjin.

Hyunjin berjalan pelan di belakang Seungmin. “Gue kirain lo udah duluan begitu gue agak lama keluarnya,” katanya.

Seungmin menggeleng. “Gue tungguin, sih, lagian nggak ada acara apa-apa juga,” katanya.

“Makasih ya, hehe.” Hyunjin nyengir.

Seungmin menoleh ke belakang. “Lah? Makasih doang nggak bikin kenyang kali. Ntar traktir gue makan. Tapi jangan chiki gue ga doyan,” kata Seungmin sambil tertawa jahil.

Hyunjin mendengus. “Huft, iya iyaaa. Ntar gue traktir makan di sana. Gue juga laper sih,” katanya.

Seungmin mengangguk senang. “Oke,” katanya.

Dua laki-laki berseragam itu menaiki bis menuju ke mall yang paling dekat dengan sekolah. Tidak ada topik yang dibahas pada 10 menit pertama, hingga Seungmin bosan dan memutuskan untuk menanyakan sesuatu pada Hyunjin.

“Eh, Hyun—” Sebelum sempat menanyakan pertanyaannya, ia merasakan sesuatu menimpa pundaknya. Berat, dan ada bagian yang menggelitik pipi tembem Seungmin.

Seungmin menoleh. Kepala Hyunjin tersandar di pundaknya. Mata Hyunjin terpejam, nafasnya teratur. Seungmin menahan tawanya. Cuma gara-gara soal matematika bisa tepar gini. Kemarin aja main basket sendirian kuat sampe 2 jam, belum lari dari Minho juga. “Lemah lo,” gumamnya.

Seungmin memposisikan duduknya agar ia juga berada di posisi yang nyaman. Tentu ia melakukan dengan hati-hati agar tidak membangunkan Hyunjin.

***

“Min, sorry ya. Kok lo nggak bangunin gue sih?” Hyunjin mengucek matanya, masih ngantuk.

Mereka sudah memasuki area mall. Hyunjinnya sendiri baru benar-benar bangun Ketika Seungmin menarik tangannya untuk turun dari bis.

“Gue udah bangunin, Jin. Lo yang kebo parah,” kata Seungmin. Ia menggelengkan kepalanya, mengingat-ingat bagaimana susahnya membangunkan Hyunjin.

“Gapapa deh, gue kan gak berat.” Hyunjin mengangkat bahunya, pasrah.

Seungmin menoleh cepat, pura-pura terkejut. “Wow, siapa yang bilang? Ini Pundak gue mati rasa loh gara-gara kesemutan,” kata Seungmin ngawur.
Sebenarnya sih enggak, alay aja dia.

Hyunjin percaya. Dia terbelalak. “Yang bener lo?!” pekiknya.

Seungmin menggeleng sambil tertawa kecil. “Enggak lah, Pinter,” ucapnya sarkas.

Hyunjin memutar matanya malas. “Dikerjain nih gue.”

“Lo kenapa dah beli bola baru, bukannya yang lama tinggal ditiup aja?” tanya Seungmin sambil berjalan di samping Hyunjin yang memasuki toko alat olahraga.

Hyunjin tertawa. “Ditiup lo kata? Itu bola basket, Min. Bukan balon ulang tahun,” kata Hyunjin.

“Ya kenapa gak dipompa aja gitu?” tanya Seungmin. “Daripada beli baru?”

Hyunjin mendecak kesal. “Minho emang nggak kira-kira. Kalo Cuma dikeluarin anginnya mah bisa dipompa doang. Ini sama dia disobek.”

“Wah..” Seungmin takjub dengan si Minho ini. Barbar banget.

“Nggak papa, sekalian jalan-jalan,” kata Hyunjin.

Hyunjin berdiri di depan deretan bola basket. Ia mencari merk yang biasa dibelinya, mengambil salah satu bola, dan memantulkannya sebentar di lantai. Ia memeriksa bola itu dengan seksama, memastikan tidak ada bagian yang cacat. Kepalanya mengangguk-angguk tanpa ia sadar. Matanya melekat pada benda bundar berwarna jingga. Hyunjin terlihat begitu fokus.

Seungmin memandang Hyunjin dari tempat ia berdiri di sebelah Hyunjin. “Masih ganteng ya,” gumamnya tanpa sadar.

Hyunjin menoleh. “Apa, Min?” katanya.

Seungmin mengerjap dan menoleh cepat, salah tingkah. Ia merasakan wajahnya tiba-tiba menghangat. “Masih lama kah?” Kaki Seungmin membawa tuannya berjalan ke arah lain, memunggungi Hyunjin.

Hyunjin menggeleng. “Enggak. Gue beli yang ini. Lo ada yang mau dibeli, nggak?” tanya Hyunjin, menunjukkan bola pilihannya.

“Enggak ada, sih, cepet bayar gih. Gue udah laper,” kata Seungmin. Ia berjalan melewati Hyunjin ke pintu luar. Lebih memilih menunggu Hyunjin di luar toko.

Malu, pikirnya setelah Hyunjin kemungkinan mendengar isi otaknya. Cuma temen, kagum sebatas temen, rapalnya dalam hati berkali-kali.

“Yoook makan!” Begitu keluar dari toko dan melihat Seungmin, Hyunjin berseru. Ia melangkah mendahului Seungmin.

Seungmin mengikuti Hyunjin yang menenteng kantong berisi bola basket.
“Masih suka siomay?” tanya Hyunjin pada Seungmin di belakangnya.

Seungmin mengangguk, kemudian menyusul Hyunjin dan menyamakan langkah dengan temannya itu. “Masih, tapi beliin nasi aja deh, Jin. Kayaknya mama buat dumpling hari ini,” kata Seungmin.

“Mama lo bikin dumpling?” Hyunjin menoleh pada Seungmin. “Mau,” rengeknya, menampilkan mata membulat bagai anak anjing.

“Iya, nanti lo mampir rumah gue aja biar bisa dibungkusin sama mama. Sekarang beliin gue makan dulu, ya. Jangan alesan,” kata Seungmin galak.

“Iya, iya.”

***

Woy tidur klen

Friends // Seungjin [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang