Dua bulan berlalu sejak seminar yang diadakan jurusan Nayra, nama salah seorang guest muda tak juga lekang oleh waktu. Namanya Rendra Abimayu, alumni almamaternya yang sukses dalam usaha clothing. Orangnya terlihat sederhana namun kesan berkelas tetap nampak di mata kaum hawa, bahkan Nayra yang tidak peduli pada pria itu bisa melihat aura sultan dalam balutan kaos oblong di pertemuan pertama mereka.
Nayra hanya bertemu pria itu 3 kali. Pertama, saat menemani Alwan, kakak tingkatnya, menanyakan kesediaan pria itu jadi pembicara. Kedua, saat pria itu tampil memukau kaum hawa bersama tamu lainnya. Yang terakhir saat panitia mengucapkan terima kasih, Rendra menjabat tangan semuanya termasuk Nayra yang dia yakini pria itu tidak akan mengingatnya.
Banyak pertanyaan bersarang di kepala Nayra setelah menempuh perjalanan selama 5 jam ke rumah sakit di kotanya. Selama ini, dia hanya tahu kondisi kesehatan ayahnya sejak pingsan sebulan lalu di pasar baik-baik saja. Tidak ada tumor atau apa pun yang berbahaya yang disampaikan ibunya, tapi sekarang sang ayah malah terbaring nyaris tidak sadarkan diri. Bukankah sebagai anak tunggal, Nayra harus tahu kesehatan ayahnyanya terlebih dahulu? Bukan pria yang ditemuinya 3 kali dan sibuk dengan urusan administrasi itu.
Tidak ada waktu bagi Nayra menanyakan sebab kehadiran Rendra di tengah keluarganya, dia sibuk menangis tersedu-sedu di samping ayahnya hingga ibunya memanggil.
"Kamu kenal Nak Rendra?" tanya ibunya ketika Nayra duduk di hadapan wanita paruh baya itu. Hanya anggukan ringan yang mampu Nayra lakukan sebagai jawaban. Toh, dia memang pernah bertemu 3 kali. "Lakukan apa pun yang diminta pria itu," lanjutnya menatap putrinya penuh harapan.
Nayra tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba bicara perihal Rendra, yang terpenting sekarang adalah kesehatan ayahnya. "Papa sakit, ma. Tidak usah menghiraukan orang lain, kita fokus dulu sama kesehatan papa."
"Karena Nayra dan mama sayang papa, jadi kita harus bekerja sama dan berusaha yang terbaik untuk kesembuhan papamu." Kali ini Nayra mencerna lebih dalam setiap ucapan mamanya, tapi gagal paham. Rendra sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah keluarga mereka. "Dia menginginkanmu. Mama rasa kita tidak punya waktu membahasnya selain meminta persetujuanmu."
Ada nada bersalah bercampur putus asa dari suara mamanya, tapi Nayra menyanggah untuk mengerti. "Kenapa? Kenapa mama bisa bicara selancar itu pada putri satu-satunya? Dia orang asing yang tiba-tiba menawarkan bantuan dengan pamrih. Ahhhh...." Nayra mengerang kesal, " Dia bahkan tidak menyembunyikan niat buruknya."
"Kita tidak punya banyak waktu dan mama hanya butuh persetujuanmu. Jika kamu menolak, mama akan mengikhlaskan apa pun yang terjadi pada papamu."
"Ma!" bentak Nayra. Ini pertama kalinya dia bicara kasar pada ibunya, hanya saja dia tidak suka ibunya yang pesimis. "Kita cari solusi lain tanpa melibatkan pria itu."
"Kalau Nayra punya solusi lebih tepat, bilang sama mama," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Nayra berpikir keras mencari solusi yang dia janjikan pada ibunya, tidak ada ide yang muncul selain menghubungi sanak keluarga ayah-ibunya, tapi nihil. Mereka punya seribu satu alasan menolak memberi bantuan. Nayra duduk tepekur, orang tuanya membebankan masalah keluarga terlalu dini. Tidak ada kakak atau adik berbagi beban, atau paling tidak ada pendapat pro lain yang bisa membantah saran yang dianjurkan ibunya.
Kamar 809, saya hanya punya waktu sampai jam 11 malam.
R.A
Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal Nayra disertai foto key card yang diletakkan di atas nakas samping tempat tidur ayahnya dan lokasi sebuah hotel. Nayra menggenggam erat smartphone-nya. Jika tidak ingat itu pemberian ayahnya, sudah dia banting ke lantai.

KAMU SEDANG MEMBACA
He Is....
Short StoryNayra tak pernah tahu, dia menarik perhatian iblis dalam wujud manusia. #Just a short story#