TUJUH

21 1 0
                                    

Aku tidak punya pilihan.

Perlahan kulangkahkan kakiku menuju pria pingsan di depanku. Aku benar-benar berharap Tuan Aiden berada di sini saat ini. Pria sepertinya pasti tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamakan diri.

Kuperhatikan pria di depanku. Wajahnya tidak terlihat karena dia menggunakan topi fedora berwarna hitam dan mantel berwarna hitam pula. kuberanikan diri membalikkan tubuhnya dan betapa terkejutnya aku saat melihat lebam di tulang pelipis dan sudut bibirnya.

Tuan Aiden

"Nona Foster," ucapnya lirih hampir seperti bisikan.

Aku dengan cepat menyeret tubuhnya yang berat ke bawah jembatan. Orang yang mengejar Tuan Aiden datang setelahnya, mereka berada tepat di atas kami. Tuan Aiden masih sadar namun tidak memiliki tenaga untuk berdiri. Tuan Aiden mencengkram pergelangan tanganku tiba-tiba, mata gelapnya menatapku sangat intens memancarkan sebuah ketenangan yang secara tiba-tiba pula menyebar di seluruh dadaku. Aku tenggelam dalam iris hitam tanpa dasar miliknya.

"Sial, kemana dia." Ucap seorang pria yang masih bisa kudengar.

"Akan aku periksa." Ucap lainnya.

Pria itu turun ke bawah jembatan. Aku bisa melihat bayangannya yang semakin mendekat ke arah kami. Aku semakin menempelkan diriku dan Tuan Aiden ke pilar jembatan. Tertangkap oleh mereka adalah hal konyol yang tidak ingin aku alami malam ini. Tuan Aiden masih mencengkram tanganku, dan aku merangkulnya sekuat tenaga untuk menahan tubuhnya tetap berdiri.

"Kau menemukannya?" Tanya pria satunya dari atas jembatan.

Bayangan itu berhenti bergerak, "Tidak." Jawabnya.

Aku menghembuskan nafasku gusar setelah kedua orang itu menjauh dari kami. Aku hampir ketahuan dan hal buruk mungkin akan aku dapatkan setelahnya.

Aku membopong Tuan Aiden menuju Philip setelah kulihat kedua pria itu pergi ke arah Desa. Aku harus membawa Tuan Aiden ke Mansion secepatnya. Kutarik tali kekang Philip hingga membuatnya berlari sangat kencang. Dua Penjaga dengan senjata laras panjang menyambutku dengan wajah khawatir. Aku berhenti setelah melewati gerbang. Mereka menurunkan Tuan Aiden dan membawanya ke dalam Mansion dengan cepat.

***

"Apa yang terjadi padanya?" Tanya Tuan Collins padaku.

Aku menggeleng cepat, "Aku menemukannya seperti ini saat perjalanan pulang. Tepat setelah aku melewati jembatan." Jawabku berbohong. Tuan Aiden pernah memintaku untuk merahasiakan pertemuan kami kepada siapapun termasuk Tuan Collins.

Tuan Collins melihatku selidik, namun aku lebih pintar menyimpan rahasia. Tuan Collins mengangguk setelahnya.

"Tuan Aiden ingin berbicara denganmu," ucap Tuan Collins. Aku mengangguk cepat, kami naik ke Kamar Tuan Aiden yang berada di ujung lorong bersebrangan dengan lorong kamar Catania. Pintunya dicat putih seperti seluruh dekorasi rumah ini.

Tuan Collins membuka pintu dan yang pertama kulihat adalah suasana yang sangat berbeda dari ruangan lainnya. Kamar Tuan Aiden bercat abu-abu dengan tirai merah darah dan perabot yang terkesan sangat sederhana. Hanya ada ranjang tidur berukuran besar dengan tirai tidur yang juga berwarna merah di atasnya. Kanan kirinya hanya terdapat nakas tanpa lampu tidur seperti kamar lainnya. Di tengah ruangan terdapat sofa berwarna merah dan meja minum kecil dan karpet bulu yang terasa sangat lembut ketika menyentuh kakiku. Sekarang aku yakin Tuan Aiden menyukai warna merah.

Aku mengalihkan pandanganku pada empu ruangan ini. Tuan Aiden duduk di ranjangnya dengan tenang, seperti tidak kesakitan sama sekali. Aku tidak bisa melihat lebam di wajahnya dengan jarak sejauh ini, kulitnya yang kecoklatan menyamarkan lukanya.

Tuan Aiden berdeham, membuatku terseret kembali ke kenyataan. Tuan Collins kemudian pergi dari Kamar ini menyisakan aku dan pria bermata legam yang menatapku sangat intens sejak awal.

Aku menghampiri Tuan Aiden dan duduk di sisi ranjangnya. "Kau sudah sadar?"

Tuan Aiden tersenyum, "Aku tidak pingsan,"

omong kosong

Aku sendiri yang membopongnya naik ke atas kuda dan dia masih bisa mengelak tidak pingsan.

"kau sama sekali tidak menyahutku saat aku membawamu kemari," sangkalku sedikit ketus.

"Aku menghemat tenaga." Jawabnya enteng.

"Siapa mereka?" Tanyaku.

"Aku tidak yakin siapa mereka, mungkin bandit." Jawabnya sembari terbatuk. Tuan Aiden memegangi perutnya. Darah merembes dari sana hingga tembus di kaos putih yang dipakainya. Aku membelalakkan mataku, tidak menyadari luka itu sebelumnya.

"Aku akan memanggil Tuan Collins." Ucapku.

Tuan Aiden menggenggam tanganku, "Ambilkan saja perban di atas nakas."

Aku tidak ingin menyutujui perintahnya, tapi tatapannya benar-benar menuntutku.

kuambil kotak obat dari nakas dan memberikannya pada Tuan Aiden. kubasahi kapas dengan alkohol dan memberikannya pada Tuan Aiden. Selanjutnya Tuan Aiden mengobati sendiri pendarahannya. Dia bukan orang yang amatir dalam hal ini.

"Terima kasih, Rayne." Ucap Tuan Aiden ketika selesai mengobati lukanya.

Jantungku berdesir seketika. Ada satu hal yang membuncah di dalamnya, seperti petasan dan aku menyukainya. Ini pertama kalinya Taun Aiden memanggil nama depanku.

Kurasa dia mulai mempercayaiku.



Meet Me Under the BridgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang