"Minggat kamu!"
"Minggat!"
"Oh, kamu tuli ya? Minggat!"
Lelaki itu murka, terlebih perintahnya yang tak digubris. Wanita yang ia usir masih duduk di sofa, merengkul, memeluk lututnya sendiri sambil menangis. Mungkin ia ingin berkata 'maaf', namun sudah tak ada kesempatan.
"Kuceraikan Kau!"
Kata 'cerai' sudah terucap, begitu singkat dan mudah untuk mengubah status pernikahan. Wanita itu makin menangis, bahkan menjerit seperti orang gila. Ia tak dapat menerima, ia tak ingin menjanda. Terlebih ia memiliki gadis kecil.
"Pak, kita punya anak yang masih kecil," lirih Anes. --Ia memang kerap memanggil suaminya dengan sebutan 'Bapak'. Awalnya, panggilan ini memang suaminya yang menyuruh. Panggilan itu dianggap sebagai panggilan penghormatan. Dan benar, terlalu dihormati sehingga tak terlalu dekat, tak romantis. Bahkan Anes layaknya babu, yang sering mendapatkan cacian dan pukulan.--
"Alah bukan anak kita! Bawa dia kalau Kau mau, tapi biarkan dia disini kalau kau sendiri tak mampu!"
"Sabar, Pak!" Anes mencoba untuk menenangkan, "Kau sedang dirasuk setan! Bapak lagi emosi! Istighfar!"
"Ya, memang. Kau lah setannya!"
Di balik bilik kamar, malaikat kecil sedang menangis, membekap mulutnya sendiri agar tangisnya tak didengar. Meraung dalam hati, rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merpati, Tolong Sampaikan Surat Ini
Random[SKSKSK DAH, NGGAK DILANJUT] Mungkin setiap orang memiliki segudang ekspetasi, sama halnya dengan Napatra. Berhalusinasi yang tak mungkin terjadi, namun apa salahnya? Sebenarnya sederhana saja, yang ia pinta hanyalah kebahagiaan, sama seperti manu...