Di taman kota, gadis kecil mengitari taman dengan kursi roda. Ia tak sendiri, Napatra ditemani sang ayah yang membantu ia mendorong kursi rodanya. Sudah dua tahun taman kota ini menjadi tempat berlibur mereka, semenjak ibu Napatra pergi ke kampungnya, meninggalkan mereka berdua."Nak, kamu sudah besar, Ayah harap kamu tumbuh jadi perempuan yang pintar." Ujar Ardi sang ayah, sambil terus mendorong kursi roda.
"Oke, Ayah!" Jawab Napatra dengan senyuman lebar yang manis.
"Satu lagi, jangan bikin ayah jengkel, dong! Ayah sayang sama kamu. Masa sih kamu mau kalau ayah pukulin terus?" Ucapnya lagi.
"Ya.. Ayahnya sabar! Ha..haa.."
Pria itu hanya menggelengkan kepalanya setelah mendengar jawaban anaknya, "yuk pulang," kemudian dibawanya Napatra menuju mobil yang terparkir.
●●●
Di rumah, gadis berumur 8 tahun itu duduk melamun. Menatap pohon-pohon yang ada di seberang jalan dari balik jendela kamarnya. Tak lain, ia memikirkan dua hal. Hal yang tak utuh, kaki dan keluarganya. Napatra kini melihat kearah kakinya. Terlihat normal. Dilihatnya, kaki Napatra cukup indah. Ia membayangkan bagaimana lincahnya ia jika kakinya itu berfungsi.
"Udah lah, udah nasib," ujar Napatra pelan, menatap kasihan pada kakinya sendiri, "sabar ya, kakiku."
Tengah bermonolog, pintu kamar Napatra terbuka, dan ternyata sang ayah yang membukanya. Napatra menoleh, kemudian tersenyum menyambut ayahnya yang barusan datang. Ardi ternyata hanya membuka pintu untuk memastikan keberadaan anaknya, "Napatra, awas ya, jangan ngelamun terus!"
"Hehe.. Iya Yah." Jawab Napatra, tak luput dengan senyuman. Lelaki itu menutup kembali kamar gadisnya.
Baru beberapa detik pergi, Napatra tersontak, seperti baru mengingat sesuatu. Napatra mengayuh roda kursi, kemudian memegang knop pintu untuk membukanya. Setelah membuka pintu dengan susah payah, Napatra melanjutkan langkahnya dengan kursi roda, "Ayah!" Panggil Napatra sedikit berteriak.
Kursi rodanya terhenti ketika melihat ayahnya yang sedang merokok diambang pintu. Pria itu menyadari ia telah dipanggil gadis kecilnya. Setelah meniupkan kepulan asap rokok, pria itu menyahut, "apa Nak?"
"Hmm.. Aku mau ngomong, tapi takut Ayahnya marah. Hehe.." ujar Napatra.
"Halah, kamu nih kayak apa aja."
"Ayah, aku kangen sama Ibu loh," katanya dengan penuh semangat, "Ayuk Yah, ke Kampungnya ibu."
Tak menyadari Ayahnya sudah murka, Napatra yang polos itu masih saja terus mengoceh, "Aku kan kepingin Yah, sekali-kali dirawat sama ibu, bosen kalau sama Ayah! Lagi pula, ibu kan perempuan, bisa diajak cerita, terus kasih Napatra dongeng sebelum tidur."
Lelaki itu merasa tak tahan. Ia membuang puntung rokoknya, kemudian mengambil sebilah kayu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Napatra yang melihat itu amat ketakutan, terlebih saat melihat ayahnya datang kepadanya sambil membawa kayu.
Pletak!! Dicambuknya kayu itu, namun bukan pada Napatra, melainkan pada kusen pintu. Suaranya terdengar sangat kencang. Walau bukan pada tubuhnya, Napatra sudah merasakan sakitnya cambukan itu bila terkena paha atau pun tulang kering pada kakinya. Napatra menangis, dan mungkin kini ia sadar bahwa perkataannya tadi telah membunuh dirinya sendiri.
"Bodoh kamu!! Nggak ada otak! Dari kemaren kemana aja hah?! Berapa kali Ayah harus bilang?!" Lelaki itu mencaci Napatra dengan nada tinggi.
"Iya Yah, maaf!" Jawab Napatra sambil memeluk tubuhnya sendiri, meringkuk karena takut terpukul.
Pria itu menggenggam rambut Napatra, dan menjambak agar wajahnya mengadah ke atas, hingga wajah gadis kecil itu tepat menatapnya, "kamu mau jadi kayak Ibu? Jadi pelacur?! Mau kamu jadi perempuan jalang?! Hah?! Anak bodoh!!" Cecar lelaki itu. Memberikan kosakata noda bagi Napatra, si gadis kecil yang lugu.
"Ma-maaf Yah," Napatra mengulang permintaan maafnya sambil menangis. Anak itu tak kuasa menahan takut. Sedangkan lelaki yang menjadi orang tua satu-satunya yang ada di sampingnya justru mencabik mental Napatra.
"Dengar ya, pergi kamu kalau ngomong gitu lagi!" Ucapnya dengan penekanan.
Lelaki itu melongos pergi meninggalkan Napatra yang malang itu. Napatra hanya dapat menangis kali ini, membekap mulutnya sendiri, agar suara tangisnya tak terdengar terlalu kencang. Takut, ayahnya murka lagi.
●●●
Fajar menyingsing, di dalam kamar, Napatra masih nyaman dipeluk dengan selimutnya, tak peduli dengan cahaya mentari yang berusaha menerobos masuk ke celah jendela. Tak ada aktivitas pagi, rumah ini terlihat seperti rumah tua berhantu.
Ayah Napatra sedang membanting tulang untuk mencari nafkah, menghidupi putri semata wayangnya. Ardi bukan lah lelaki yang tak memiliki tanggung jawab. Ia memang kerap kali menyakiti fisik dan psikis anaknya, tetapi bukan berarti ia membiarkan gadisnya hancur begitu saja. Sikap kasarnya adalah bawaan yang tak bisa dihilangkan, dan itu pun salah satu penyebab perceraiannya dengan sang istri.
Hari ini Napatra tak memiliki tenaga. Mungkin ia sudah cukup lelah dengan kemarin. Saat pertama kali membuka mata, yang Napatra ingat ialah ibunya. Wanita yang sudah lama meninggalkannya. Napatra merindukan pelukan sang Ibu, ia rindu dipeluk hangat seperti dulu.
"Ibu, kalau aku berdoa dengan menyebut nama ibu, apa Ibu dengar? Pasti nggak dengar deh! Ibu kan bukan hantu yang bisa diam-diam melihat tanpa bisa dilihat lagi!" Celoteh Napatra seorang diri, "aha, aku mau coba kirim pesan pakai pesawat terbang! Hihi.."
Napatra bergegas menggunakan kursi roda ke meja untuk menulis sebuah surat. Ia menyobek secarik kertas, dan diambilnya pena yang tempatnya berada tepat diatas meja. Ia mengambil posisi nyaman untuk menulis. Lalu ditulisnya sebuah keluh yang selama ini Napatra rasakan.
Ia mulai menulis. Tulisannya tidaklah rapih, karena ia tak gemar menulis. Kalau di Sekolah? Napatra tak pernah mencicipi asam manis dunia pendidikan. Ayah dan ibunya sungguh khawatir akan keselamatan putirnya. Mereka takut, teman-temannya akan meledek kekurangan Napatra. Membayar guru privat? Sungguh mereka tak memikirkannya.
Napatra menulis, lumayan lamban karena kurang terbiasa. Terkadang bibirnya tertarik ke bawah, sedih terbawa emosi dari apa yang ia tulis
~~~
"Ibuku sayang, aku kangen Ibu.
Kenapa ibu pergi ninggalin aku? Ayah galak ya?
Ibu, aku menyesal sudah memilih ayah.
Seharusnya aku ikut bersama Ibu.
Ibu, aku sakit, hatiku hancur.
Ibu, kembali lah!"~
~~~~"Yes, selesai!" Seru Napatra, kemudian surat itu ia jadikan sebuah pesawat kertas. Setelah itu, Napatra dan kursi rodanya menuju ke luar rumah.
Diangkatnya tangan sambil mengepal memegang pesawat kertas. Dan, "wushhh.." suara Napatra mengikuti pesawat yang terbang perlahan.
"Yaah!!" Napatra menghembuskan napasnya, setelah melihat pesawatnya tak terbang jauh. Wajah Napatra amat suram. Ia mecoba sabar, namun saat ini kecewanya melebihi apa pun.
"Maaf Bu, hari ini aku nggak bisa kirim surat," sesalnya lagi, kini dengan mata berlinang.
___________________________
Tbc
Huhu maaf ya kalau partnya selalu dikiiit:(
InsyaaAllah besok dibanyakin kok wkwkwk..Ugh, makasih banget ya untuk yang udah baca, apa lagi yang vote&komen.. tak terhingga rasa terimakasihnyaa❤
Terimakasih juga deh untuk yang cuma scroll terus boomvote wkwkwk (nggakpapa kok hayati, walau agak sakit haha)
KAMU SEDANG MEMBACA
Merpati, Tolong Sampaikan Surat Ini
Random[SKSKSK DAH, NGGAK DILANJUT] Mungkin setiap orang memiliki segudang ekspetasi, sama halnya dengan Napatra. Berhalusinasi yang tak mungkin terjadi, namun apa salahnya? Sebenarnya sederhana saja, yang ia pinta hanyalah kebahagiaan, sama seperti manu...