Hanse sudah menunggu lebih dari 30 menit, namun ia tak menemukan kehadiran Jena di kafe, tempat janjian mereka. Berulang kali Hanse melihat arlojinya. Dia menghela napas panjang.
Mungkin terjebak macet.
Hanya itu kemungkinan yang bisa Hanse pikirkan.
Sesaat kemudian, suara sedan terdengar dari luar. Kepala Hanse otomatis menoleh, menatap dua sosok yang keluar dari sedan hitam melalui kaca tembus pandang kafe.
Choi Jena.
Dan dia tidak sendirian. Seorang laki-laki bersamanya.
Hanse mengamati dari tempat duduknya, mulai dari laki-laki itu yang menawarkan pelukan hingga gelengan penolakan dari Jena.
Gadis itu pun berlari menuju kafe.
Lonceng di atas pintu kafe bergemerincing. Semua mata menatap takjub ke arah pintu.
"Dia artis?"
"Mungkin model? Cantik sekali."
"Ini pertama kalinya aku melihat gadis secantik dirinya."
Gaun pendek berwarna cream sangat cocok jika dipadankan dengan kulitnya yang seputih susu. Rambut panjang ikalnya ia biarkan tergerai. Bibir menawan yang dipolesi liptint merah dan kedua pipi yang bersemu merah muda.
Sempurna. Dia begitu sempurna di mata semua orang yang ada di kafe.
Bibir cantik itu merekah saat matanya bertubrukan dengan Hanse. Tangannya mengibas dengan riang.
"Maafkan aku karena membuatmu menunggu lama." Jena cemberut setelah berhasil duduk kursi yang berhadapan dengan Hanse.
Hanse mengulurkan tangan dan sedikit merapikan rambut Jena yang lumayan berantakan. Lelaki itu tersenyum manis. "Aku bisa menunggu selamanya."
"Mereka pacaran? Wah, sungguhan?"
"Gadis itu pantas mendapatkan yang lebih baik."
"Benar, kan? Ahh aku ingin tahu tipsnya."
Hanse berusaha mempertahankan senyum walaupun ia mendengar kata-kata menyakitkan itu.
Jena tertawa, ia turut mendekat ke depan dan menangkup kedua wajah Hanse. "Best boyfriend ever."
Hanse tertawa dan dibarengi oleh Jena.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gumam Hanse.
Mata cantik Jena beralih pada meja kasir. "Aku pesankan sesuatu, ya?"
Sebelum Jena melangkah pergi, Hanse sudah lebih dulu menggenggam tangan Jena. "Biar aku saja," ujar Hanse lembut.
Jena tersenyum, ia melepaskan tangan Hanse perlahan. "Aku terlambat, jadi anggap saja ini hukumannya."
Sebelum pergi, Jena menepuk lembut kepala Hanse seolah mengisyaratkan 'biar aku saja, tidak usah khawatir'.
Hanse memangku tangan sembari melirik gerak-gerik Jena.
Jika dipikir-pikir, Hanse tidak mungkin mendapatkan pacar seperti Jena. Gadis itu nyaris seperti bidadari, berbeda dengannya. Lelaki biasa, kelewat biasa malah.
Ia ingat saat dirinya memberanikan diri menyatakan perasaan lewat lagu yang ia ciptakan kepada Jena. Liriknya benar-benar cheesy. Bahkan, jika Jena mengungkitnya kembali, Hanse akan pura-pura tuli dan tidak mengacuhkan Jena.
Ia belum percaya saat Jena menelepon malam itu dan berkata, "Mulai hari ini, kita berkencan."
Tanpa sadar Hanse tersenyum.
"Kau memikirkan gadis lain, ya? Sampai senyum-senyum tidak jelas begitu." Jena berpura-pura kesal.
Ia meletakkan nampan di atas meja dan mulai menyeruput mango milkshakenya.
Hanse tertawa pelan. "Memang ada yang mau denganku? Dengan wajah standar begini?"
"Bagiku kau itu sangat tampan," jawab Jena.
Hanse tertawa lantas berucap santai, "Berhentilah berbohong, mengatakan kejujuran tidak akan membuatku marah. Aku hanya cukup terima kenyataan saja."
"Kau meragukanku, huh?"
"Ahh terserahlah, aku tidak ingin berdebat." Hanse terkekeh. "Mau berjalan-jalan?"
Jena mengangguk semangat. "Ayo." Gadis itu lebih dulu bangkit dan mengamit tangan Hanse.
Mereka pun keluar dari kafe lantas berjalan di sepanjang trotoar.
Udara terasa dingin di malam hari. Hanse melihat Jena berulang kali mengusap lengan.
"Dingin?" tanya Hanse.
Jena mendongak dan menatap Hanse. Mata cantiknya berubah menjadi bulan sabit. "Sedikit?"
Hanse berhenti. Ia hendak melepaskan long coatnya tapi ditahan Jena.
"Tidak usah." Jena mendekat lalu memeluk Hanse. Menenggelamkan diri dalam tubuh Hanse yang begitu hangat.
Hanse terkekeh pelan. Ia mengeratkan coatnya untuk membungkus tubuh gadis itu.
"Hangat."
Hanse meletakkan dagu di puncak kepala Jena. Membiarkan gadis itu berlama-lama memeluknya.
Hening sejenak, lantas Jena berucap, "Maaf."
Hanse yang semula tengah memejam, kini kelopaknya terbuka perlahan. "Hm."
"Kau tidak bertanya kenapa aku meminta maaf?"
"Tidak perlu, karena kau mengatakannya itu berarti aku hanya perlu mengerti situasimu. Apapun itu."
Jena melepaskan dekapannya. "Kenapa?"
"Karena itu kau. Aku akan mengerti."
Darah Jena berdesir hangat. Ini yang dia sukai tentang Hanse.
Lelaki itu begitu dewasa, ia benar-benar merasa nyaman di dekatnya.
Namun, Hanse selalu berkecil hati, walaupun lelaki itu menyembunyikannya, namun Jena selalu dapat membacanya dengan jelas.
"Aku mencintaimu, aku ingin kau tahu hal itu." Jena menatap lelaki di hadapannya serius.
Hanse mengangguk dan menjawab dengan nada bergurau, "Iya, tentu saja. Kau tergila-gila padaku."
"Aku serius, Do Hanse."
Hanse terdiam. Ekspresi Jena berubah kaku. Itu berarti gadis itu tidak main-main.
Hanse menghela napas. Ia mengusak rambut Jena lantas membawa gadis itu ke pelukannya. "Aku juga, Bodoh. Terimakasih sudah mencintaiku."
"Bodoh?! Kau barusan menyebutku bodoh?!"
Hanse terkekeh lalu mengeratkan pelukan. "Ya, kau bodoh, sangat bodoh."
Karena mencintai orang sepertiku.
Begitu jauh dari levelmu, seorang yang tidak sesempurna dirimu.
TBC
Setelah baca ff orang akhinya berani buat nulis ff sendiri 🤣🤣
guys ini ff pertamaku
mohon dukungannya dengan menekan bintang dan komen yakps. PUNYA TEMEN KERJAANYA RACUN SEMUA ANJG GW KECANTOL SAMA VICTON TRUS SUKA HANSE
SUMPAH DIA KALO RAP SWAG BEUD HUHUHU MONANG🤧🤧🤧
KAMU SEDANG MEMBACA
White Night | Do Hanse
FanfictionJena berparas cantik, mendekati sempurna dan hal itu yang membuat Hanse merasa tak pantas bersanding dengannya. White Night, hansegf 2020 - 03 - 31