🍁1🍁

11 2 17
                                    


Selamat membaca!

••••

Wajahnya penuh butiran keringat akibat teriknya panas matahari di siang hari. Bibirnya kini mulai memucat, sesekali digigit oleh sang pemilik agar dapat memerah kembali.
Staminanya kian melemah, rasa kantuk dan lelah mulai menghantui, ingin rasanya ia berteriak kesal, namun tidak bisa ia lakukan.

Daun-daun yang sudah disapu tertumpuk rapi di ujung kanan lapangan bola. Gadis dengan rambut pendek itu berlari pelan mengambil plastik hitam untuk menaruh semua sampah dedaunan tadi.

Hari ini sekolah mengadakan rapat besar mendadak sehingga siswa dipulangkan lebih cepat. Tapi, tidak dengannya. Ia harus menjalani hukuman karena datang terlambat ke sekolah tadi pagi.

"Zara!" panggil seseorang membuat gadis bernama Zara itu menoleh.

"Iya," balasnya sambil memasukkan sampah-sampah itu.

"Dihukum lagi, Neng?" tanya orang itu  dengan tawa kecil.

"Apalagi. Kamu bisa liat sendiri, Zil," Zara memperbaiki masker yang ia pakai dari pagi. Hidungnya mulai gatal, mungkin karena terlalu lama ia pakai.

Zilea atau biasa dipanggil Zil tersenyum kecil menanggapi perkataan Zara. Setidaknya dari satu bulan yang lalu, Zara mulai berani banyak berbicara kepadanya. Walaupun masih terdengar singkat, tapi ia masih memakluminya.

Gadis berambut pirang itu menatap wajah Zara dengan intens. Hanya mata bulat bewarna biru yang dapat ia lihat. Sedangkan pipinya, bibirnya, dan hidungnya tidak bisa ia lihat karena tertutup masker hijau.

Jujur saja, ia penasaran dengan Zara. Wajah yang selalu tertutup oleh masker dan tidak akan dibiarkan terbuka. Ketika istirahat, Zara selalu pergi  ke tempat sepi yang jauh dari kantin. Zilea tidak tahu tempat itu dimana.

Zilea selalu berpikir makser hijau itu adalah benda kramat milik Zara. Bagaimana tidak? Masker itu tidak pernah dilepas, dibuka sedikitpun juga tidak, sangat membingungkan.

"Pulang, gih," ucap Zilea sambil membantu Zara memasukan sampah.

"Iya," Zara mengikat kuat ujung plastik tersebut dengan tali yang diberikan oleh gurunya.

Zara membungkukkan badannya lalu pergi meninggalkan Zilea sendiri. Zara bukan tak mau berbicara leluasa, hanya saja dirinya tetap menjaga jarak takut nantinya Zilea termakan omongan pedasnya.

Plastik sampah itu ia taruh di tempat pembuangan depan sekolah lalu duduk di halte menunggu angkot lewat. Ia tidak seperti murid lainnya, membawa motor dan mobil mahal ke sekolah. Uang sakunya pun tidak sebanyak seperti mereka. Hanya lima belas ribu untuk perhari.

"Jangan ajak gue ribut!" Suara keras itu membuat Zara menoleh.

Matanya menyipit kecil memandang sosok berjaket hitam berdiri di tiang parkir. Ia penasaran dengan pembicaraan mereka yang terlihat sangat serius, namun suara klakson angkot menggagalkan aksinya untuk menguping.

"Lain kali aja," monolog nya sendiri lalu menaiki angkot itu.

🍁🍁🍁

Rumah megah berwarna putih tampak indah dan sunyi. Hanya pohon-pohon kecil dan ayunan besar diujung taman yang menghiasi rumah ini. Pilar-pilar tinggi pun ada di setiap sisi rumah. Di dekat pintu tertera jelas  nama 'Bagaskara'.

"Buna!"

Zara terkejut melihat anak kecil berbaju biru itu berdiri di depan pintu. Tangan kecilnya menggenggam kertas kuning yang entah milik siapa. Zara segera bergegas menyusul anak kecil itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

what's wrong with her?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang