Aku Punya Mimpi yang Mati Setiap Aku Bangun

5 0 0
                                    

Aku tak tahu apa-apa tentang seseorang. Bahkan aku tak benar-benar tahu tentang Abi, Umi, dan kedua saudaraku. Aku hanya mengetahui apa yang mereka ceritakan dan apa yang mereka ingin perlihatkan padaku—sedikit tentang diri mereka. Manusia lebih senang menyimpan rahasia bukan? Entah mengapa, aku pun tak tahu. Hal-hal penting memang terletak di bagian terdalam. Seperti akar tanaman, inti bumi, harta karun, dan makna kehidupan. Bahkan, terkadang kita harus membaca tafsir Quran agar lebih paham makna sebenarnya dari sebuah ayat. Begitulah, hal-hal terpenting sangat sulit untuk ditemukan. Tak bisa ditemukan hanya dengan mata biasa atau tak dapat didengarkan hanya dengan telinga yang biasa kita pergunakan. Butuh penyelaman mendalam dan sebuah cara yang aku sendiri belum menemukannya. Aku tersenyum getir menatap langit di bulan Agustus yang sedikit kelam di setiap sorenya. Bahkan, aku tak benar-benar mengenal diriku sendiri. Apa yang sebenar-benarnya sangat aku inginkan. Hal-hal terpenting kadang juga sulit untuk dibicarakan dan diperlihatkan.

Aku menyembunyikan novel yang baru saja kubeli diam-diam di balik bantal saat mendengar langkah kaki mendekat menuju kamarku. Umi masuk kamar tepat saat aku berhasil merapikan bantal dan berdiri mematung memandang langit—seolah itulah yang sedari tadi kulakukan. Aku pura-pura kaget saat terdengar bunyi decit pintu dan kepala Umi yang berkerudung jingga menyembul. Umi tersenyum manis seperti biasanya.

"Assalammualaikum, Umi boleh masuk?"

"Umi sekedar basa-basi kan? Toh sebelum izin Umi sudah membuka pintu kamarku."

Aku pura-pura ngambek dan berjalan mendekat menuju Umi. "Waalaikumussalam," kataku sambil tersenyum dan menggandeng Umi masuk ke dalam kamar. Kami duduk bersisian di dipanku.

Umi menyentuh lembut pundakku, kemudian memperbaiki kerudungku. Matanya tampak sedih dan ya—ada hal yang ingin dirahasiakan Umi dalam mata indahnya. "Mulai hari ini kamu akan tinggal di asrama." Umi tak dapat menahan sendunya, dia memelukku erat. Ada haru di antara kami dan aku memilih untuk tetap diam. "Umi akan sangat merindukan kamu." Umi mulai menangis.

"Umi. Jika Umi tak ingin kita tinggal berjauhan, Umi bisa sampaikan ke Abi. Bantu aku bilang ke Abi kalau aku lebih suka sekolah di SMA negeri dan tinggal bersama Abi dan Umi, di rumah kita," bisikku.

"Tidak Hanin. Abi tidak akan setuju kalau kamu sekolah di SMA negeri. Umi juga tidak setuju." Umi melepaskan pelukannya dan menggenggam tanganku. "Ini yang terbaik untukmu, ini yang bisa Umi lakukan untuk kebaikanmu. Biarlah Umi menahan rindu, yang penting Allah ridho."

"Umi. Umikah yang menentukan apa yang terbaik untukku? Abikah yang tahu apa yang terbaik untukku? Bagaimana jika Abi dan Umi salah? Bagaimana jika sebenarnya Allah lebih senang aku di SMA negeri?!" Aku kaget karena suaraku berubah menjadi sedikit keras. Umi tampat terkejut. Aku merasa bersalah melihat Umi yang menunduk. Aku genggam lebih erat tangan Umi. "Maaf Umi."

Sebelum benar-benar berangkat. Aku kembali ke dalam kamar dan mengambil koleki novelku yang sudah terssusun rapi untuk dibawa ke asrama. Aku menyembunyikannya di antara pakaian-pakaian yang terlipat rapi dalam koperku. Selama ini cara itu selalu aman.

Abi menyetir dengan tenang an Umi masih membisu di samping Abi. Sejak pembicaraan tadi, Umi belum mau berbicara denganku. Sedangkan Abi, beliau memang lebih senang berdiam diri. Aku yakin di kepala Abi banyak perencanaan. Untuk aku dan kedua saudaraku. Kenapa Abi harus repot-repot memikirkan semua itu? Kenapa tak diserahkan saja padaku?

"Hanin. Kamu harus yakin bahwa Abi mengirimmu ke pesantren bukan hanya karena Abi ingin kamu mendapat pendidikan yang terbaik. Tetapi ini juga untuk umat islam. Kamu harus banyak belajar islam agar dapat mensyiarkannya. Dan ilmu agama yang kamu dapatkan di SMA tak akan sama seperti ilmu agama yang akan kamu dapatkan di pesantren."

"Kenapa Abi begitu yakin?"

"Hanin!" Umi menatapku dengan kesal.

Abi menyentuh pelan telapak tangan Umi. "Hanin, Bang Irsyad dan Kak Sarah juga menjalani pendidikan di pesantren. Mereka tidak membantah apa yang Abi dan Umi rencanakan untuk mereka. Dan kini kamu lihat bukan? Bang Iryad bahkan telah memiliki keluarga yang bahagia sambil terus berdakwah, bahkan mereka juga mendirikan pesantren. Kak Sarah? Sudah lanjut kuliah di Mesir. Tidak ada satu pun catatan keburukan mereka di mata Abi dan Umi. Bahkan kami bangga dengan mereka. Tidakkah kamu ingin seperti mereka?"

"Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri Abi."

Percakapan itu terhenti saat kami telah memasuki area pesantren. Dadaku semakin sesak. Aku tidak ingin di sini karena bukan tempatku. Aku ingin kebebasan. Bukan diikat dengan peraturan-peraturan yang akan membatku tertekan. Aku menangis dan tak mau turun dari mobil saat separuh barang bawaanku telah dikeluarkan abi. Rasanya seperti diusir dari rumah sendiri.

"Abi. Bang Irsyad sudah berkeluarga. Kak Sarah di Mesir. Tidakkah Abi ingin menahan satu saja anak Abi di rumah? Apakah Abi tidak akan merasa kesepian?" Aku meraung-raung di dalam mobil. Tidak peduli dengan tatapan mata dari orang-orang yang berseliweran di sekitar kami.

Umi menangis pada akhirnya, setelah memaksa aku turun. "Karena inilah Abi semakin mantap memasukkan kamu ke pesantren Hanin. Agar kamu lebih mandiri dan dewasa."

"Abi! Apakah para Nabi juga mengirimkan anak-anak mereka pergi jauh?"

"Iya Hanin. Nabi Ismail ditinggalkan di gurun bersama ibunya. Bahkan akan disembelih demi manjalankan perintah Allah."

"Tapi Abi bukan Nabi!"

"Abi mengusahakan yang terbaik untukmu." Abi seperti telah habis kesabaran meladeniku.

"Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang-orang yang dicintainya kelak di hari Kiamat." Aku mengutip HR. Tirmidzi yang susah payah aku hapal untuk membantah Abi.

"Hanin! Kamu tahu itu bukan hadist yang relevan untuk perdebatan kita saat ini." Abi kehabisan kesabaran dan menggengam tanganku. "Sekarang turunlah."

Aku turun dari mobil. Tetapi tanpa diduga oleh seorangpun, aku berlari menuju jalan. Tak peduli dengan teriakan histeris Umi. Aku berlari secepat yang kubisa. Melarikan hatiku yang sedih karena harus berpisah dengan Abi dan Umi. Kenapa hanya aku yang sedih? Tidak. Aku tahu, Abi dan Umi juga sedih, tetapi kenapa mereka begitu keras pada diri sendiri? Kenapa tak memilih jalan yang memberikan kami kebahagiaan tanpa harus berpisah.

"Allahu Akbar!" Suara itu berasal dari seorang kakak perempuan berjilbab dalam yang kini berhasil mencengkram tanganku. Usahaku untuk melepaskan cengkeramannya sia-sia karena Abi dan Umi berhasil menyusul kami. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 03, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jalanku Tertutup PadamuWhere stories live. Discover now