Hasil riset mengatakan, aku, Ethana Dirgantara, pukul sembilan pagi tadi secara resmi mendeklarasikan tidak suka dengan laut.
Arde mendorongku ke bibir pantai. Alhasil, aku terinjak Pinna rugosa dan jatuh ke air. Rasanya sangat asin ketika aku mengelap bibir dengan lengan bajuku yang basah.
Belum lagi Egral, ikut tertawa dengan keras mengundang perhatian publik. Mr. George sampai ikut bertanya apakah aku tidak sabaran ingin berenang karena baru sampai sudah terjun bebas ke air.
Jawabanku, tentu saja tidak.
Arde, pria tak bertanggung jawab itu lari bersembunyi di rombongan kelas. Dia penakut, tetapi punya nyali besar untuk menantangku.
"Berhenti tertawa, Egral!" aku menegurnya. Tetapi dia tertawa semakin keras ketika Mr. George kembali ke rombongan untuk memimpin siswa menuju hotel kapsul yang rencananya akan kami tinggali sepekan. Aku mendengkus keras.
Aku menentang ide kunjungan kali ini, melakukan penelitian di laut lepas. Laut itu berbahaya bagi orang yang tidak bisa berenang sepertiku.
"Ya, ya, ya. Aku berhenti." kata Egral sambil mengulum senyum.
"Hei, Ethan, di utara Pulau Newborn ada palung yang terbentuk setelah terjadi pemisahan Kalimantan lama," Egral memberi tahu teori yang ia pelajari di Classzone setelah menyusulku di rombongan. Tapi aku sama sekali tak tertarik dengan topik bahasan.
Ya, zaman nenek moyang dulu pernah terjadi gempa di sekitar akhir abad 30. Daratan Kalimantan terpisah menjadi 3 bagian. Salah satunya adalah yang menjadi kota kelahiranku, Kalimantan Selatan. Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur tetap pada tempatnya, sementara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat bergeser, berakhir membentuk 3 kepulauan baru.
"Tertarik ke sana?" tanya Egral.
Aku menolak cepat, "Tidak."
"Kenapa? Kita bisa membujuk Mr. George agar berlayar ke sana untuk dokumentasi biota. Itu tempat populer, Ethan."
"Aku tidak suka biota." jawabku. Aku memang tidak suka, tapi tugas kunjungan ini sebaliknya, mendokumentasikan hasil kunjungan. Tapi jujur saja aku tidak ingin berurusan dengan yang namanya laut.
"Kau cukup ikut dan temani aku. Tidak perlu memotret." bujuknya.
Bibirku terkatup rapat. Tidak tahu sejak kapan tapi begitu mendengar ide dokumentasi itu terlintas niat jahat untuk mendorong Arde ke palung biar dia tahu rasa.
Ha! Akan kupertimbangkan.
"Ewh ... Tidak. Aku alergi dekat dengan Arde."
Egral tersenyum mengejek. Senyum yang selalu membuatku gemas ingin menutup wajahnya dengan sesuatu yang bisa membuatnya sesak napas.
***
"Ini adalah alat transportasi yang ditemukan di daerah pesisir. Umurnya diperkirakan sudah ribuan tahun."
Pemandu wisata menjelaskan isi dari Museum Aquos. Kami diajak berkeliling sambil diperlihatkan duplikasi fosil dan alat bertahan hidup manusia purba.
"Ini dinamakan 'Jukung'. Biasa dipakai oleh manusia zaman dulu sebagai alat transportasi untuk kegiatan jual-beli di perairan."
Aku membulatkan bibir, terpana dengan sistem yang dibuat oleh para nenek moyang. Bagaimana mungkin setangkup kayu tipis yang bernama 'Jukung' itu bisa mengarungi perairan. Sungguh tidak logis.
"Berbeda dengan Yatch-10, alat ini tidak bermesin. Jadi, harus digerakkan manual dengan tangan."
Teman-teman terkejut mendengarnya. Terlebih lagi alat itu digerakkan dengan tangan manusia, bukan robot. Aku bisa membayangkan betapa pegalnya mengayuh sampan.
"Apa yang kau katakan itu sungguhan, Pak?"
Pemandu wisata mengangguk samar, "Terlihat tidak logis, tapi itulah faktanya. Tidak heran manusia zaman dulu berumur panjang."
Aku bersungut. Kami melanjutkan perjalanan mengitari area museum. Banyak pengunjung yang datang untuk melihat duplikasi secara langsung alih-alih melalui layar 3D.
"Kau percaya yang dikatakan pemandu?" Egral bertanya. Alisnya mengerut pertanda ragu.
Aku mengangkat satu sudut bibirku dan menatap Egral. "Kau selalu mempertanyakan segala hal, bahkan ekstensi 'jukung"."
Egral terkekeh pelan. Tangannya bergerak memukul bahuku. Aku sudah ingin membalasnya sebelum suara Mr. George menginterupsi. Rupanya kami sudah berkeliling di seluruh sisi museum. Sekarang tepat pukul sebelas pagi. Itu artinya kami boleh berpencar dan mengambil dokumentasi.
Aku pergi bersama Egral menuju lantai dua. Dari sana kami bisa memotret seisi lantai satu karena desain bangunannya seperti donat. Di tengahnya kosong dan tidak bersekat.
"Selesai memotret aku akan pergi ke Deep Ocean bersama Boron." ujar Egral sambil mengambil gambar.
Aku terbelalak tak percaya. "Wah, kupikir aku satu-satunya temanmu."
Egral mendengkus pelan. Matanya mendelik tajam. "Lihat siapa yang berbicara."
Ia lalu melanjutkan ucapannya, "Diajak pun kau pasti tak mau ikut."
Aku sontak menoleh dan mengangkat satu alis. "Aku akan ikut."
Kening Egral mengernyit. Ini terlihat seperti aku bergantung pada Egral. Tapi, ya, karena aku tidak punya teman lagi. Seperti yang dikatakan Arde. Ironis.
"Kenapa tiba-tiba?" Tanya Egral heran.
Aku mendelik tajam. Tak suka membahas hal ini. "Tak perlu kujelaskan pun kau tahu alasannya."
Egral tertawa terbahak-bahak, lalu menatapku dengan raut wajahnya yang mengesalkan. "Kau itu memang pantas jadi musuh Arde, ya."
"Sama-sama menyebalkan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDER THE SEA
Science Fiction[BOOK I - GALAXY SERIES] Mereka yang hidup dengan insang, tinggal di kedalaman ratusan meter di bawah permukaan laut, berusaha menyapa manusia melalui seri UNDER THE SEA.