4

2.2K 196 50
                                    


Teguh Ekasastra, putra keempat keluarga Ekasastra yang pendiam dan sedikit dingin terhadap kaum hawa, tubuhnya tinggi dan sama dengan Albert, berkulit gelap. Wajahnya lebih mirip bule, sungguh tidak sesuai dengan namanya, tapi Teguh menyukainya, terlebih nama keluarga dari pihak ayahnya, Ekasastra. Sering teman-temannya mengejeknya, tapi si bungsu ini tidak pernah ambil pusing, sebab sejak kecil ia sudah menyukai namanya, pemberian ayah dan ibunya.

Sejak mulai kuliah tiga tahun lalu, ia jarang pulang ke rumah, lebih memilih tinggal di kosan, belajar atau bermain game. Pun saat libur kenaikan tingkat ia lebih memilih untuk mengikuti kuliah semester pendek. Saat ini entah kenapa ia merindukan rumahnya, terutama si pipi tomat, Anne, yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.

Pada kepulangannya kali ini, pemuda itu mengambil waktu libur Jumat, Sabtu, dan Minggu. Ia menaiki kereta api, lalu dijemput Beny sang sopir di stasiun kota kecil yang berjarak sekitar 45 menit perjalanan. Hamparan sawah dan hutan di sepanjang jalan yang dilalui dengan mobil begitu dirindukannya, hawanya yang sejuk membuatnya damai.

Setibanya di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, ia kira Anne sudah tidur, tapi ternyata mereka malah berpapasan di dekat deretan pohon kiara payung.

Saat melihat Anne, tiba-tiba jantungnya berdetak sangat kencang, dan napasnya sedikit sesak. Anne lebih tinggi sekarang, tapi tetap saja mungil jika dibandingkan dirinya. Ada lagi yang berbeda, payudaranya kini menonjol, tampak kencang, mengkal, membuatnya kesulitan menelan ludah.

“Anne....”

Gadis itu menoleh ke arahnya, menghentikan langkahnya. “Kak Teguh!” Bibirnya membentuk senyum lebar, membuat debaran jantung Teguh kian menggila. Ada yang aneh dengan dirinya. Ah, ini pasti karena ia lama tidak bertemu dengan Anne, makanya ia sedikit salah tingkah. “Kak Teguh lagi liburan?”

“Eh, iya.” Teguh tersenyum sekilas. “Ada oleh-oleh buatmu, Riko, dan Bu Emilia, kamu bisa mengambilnya besok pagi ke kamarku.”

Sepasang matanya tampak berbinar mendongak menatap Teguh. “Eh, benarkah? Kak Teguh kenapa repot-repot, sih?”

Rasanya Teguh ingin sekali mencubit pipi Anne, tapi itu bukan kebiasaannya, jadi ia hanya mengepalkan tangan kanannya di sisi tubuhnya. Ia menaikkan kacamata minusnya ke pangkal hidung. “Tidak repot. Oke, sampai besok, ya.”

“Iya, Kak. Selamat istirahat.” Anne membungkuk, lalu kembali berlari melintasi halaman berumput menuju rumahnya.

Teguh merasa heran karena jantungnya masih saja berdebar-debar sampai Pak Beny menyapanya.

“Semua tas dan barang bawaan ini dibawa ke kamar, Tuan Muda?”

“Eh, iya, terima kasih, Pak Beny.”

Beny mengangguk hormat dan berjalan mendahuluinya memasuki pintu samping rumah.

Teguh menghela napas, lalu berjalan menyusul Pak Beny.

Di atas di lantai tiga, Albert memperhatikan sejak tadi. Ia tahu Teguh mengamati Anne hingga gadis itu masuk ke dalam rumahnya. Jangan-jangan Teguh menyukai Anne? Ah, tapi selama ini kan Teguh tidak pernah terlihat menyukai Anne, hanya menganggap gadis itu adiknya. Mungkin hanya perasaannya. Tapi... tumben adiknya itu pulang, bukan di waktu liburan juga.

Albert menenggak ginger ale-nya. Sudah seminggu ini ia dibuat cemas oleh Arya yang mengincar Anne, sekarang... sepertinya bertambah lagi kumbang yang mengincar bunganya. Teguh.

Pria itu memejamkan mata, kedua alis tebalnya menyatu di atas pangkal hidung lurus mancungnya. Anne masih belia, tidak boleh ada laki-laki yang menyentuhnya, tidak boleh berpacaran, tidak boleh... ah, sial, kenapa dirinya bertingkah seperti seorang ayah yang takut putrinya diambil orang?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BrokenHeartedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang