—Di suatu tempat asing perkiraan tahun 1504—
Aku sebenarnya kurang yakin dengan apa yang sedang terjadi di depan mataku saat ini. Saat membuka mata, aku langsung melihat seorang pria dengan aura membunuh yang sangat besar. Pria yang sepertinya berumur tiga puluh tahunan lebih dengan rambut merah kelam, bersosok ramping tinggi dengan otot-otot terlatih, berkulit cokelat seakan sering terbakar matahari yang terlindungi dengan baik oleh pakaian mewahnya—pakaiannya?
Aku mengernyit mengamati pakaiannya sekali lagi. Jenis baju yang dipakainya, seperti pernah kubaca dalam komik ataupun kutonton di film-film kerajaan jaman dulu. Pria tampan itu memakai pakaian merah marun gelap mendominasi yang dihiasi benang-benang emas, yang rasanya dapat menandakan bahwa dirinya adalah orang terpandang atau cukup kaya.
Tanpa sadar aku bergerak maju sedikit dan dalam sedetik menyadari sebuah nyeri timbul di bagian leher. Tatapan mataku turun ke bawah dan langsung melihat sebuah belati menempel di sana yang membuat alisku tambah mengernyit. Apa yang terjadi? Kenapa ada belati di depan leherku? Kernyitanku makin dalam saat memandang lebih bawah, ke bagian tubuhku lainnya. Dan apa pula yang sedang kupakai saat ini? Kedua tanganku memakai sarung tangan panjang putih berbahan sutera dengan hiasan pita kecil di ujung lengan. Kemudian pakaianku? Aku memakai gaun perak seakan seorang putri dari dalam negeri dongeng.
Apa-apaan ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku memakai baju seperti ini? Dan kenapa pula belati ini ada di leherku saat ini? Mataku menatap tangan yang memegang belati itu dan mulai menjelajah mulai dari genggaman hingga ke bahu orang yang berada di samping kananku. Terlihat seorang pria dewasa berkerudung hitam yang tatapannya terus fokus ke depan seakan tak memedulikan kehadiranku sebagai sanderanya, matanya tertahan pada kehadiran pria dengan aura membunuh di depan kami. Aku menyadari ketakutannya karena tubuhnya sedikit gemetar.
Beberapa saat kemudian, aku mulai menyadari hal lainnya. Terdengar tarikan napas dari arah belakang kami berdua yang membuatku mencoba melirik ke kiri-kanan belakang. Dari sudut mata, aku dapat melihat beberapa bagian bawah gaun dan sepatu para pria yang rasanya semakin bergeser ke belakang, seakan ingin lebih menjauh dari kami berdua. Aku langsung memahami sesuatu. Semua orang yang berada di belakangku dan si penyandera ingin menjaga jarak sejauh-jauhnya dari pria beraura pembunuh itu yang masih berjarak lima meter dari kami berdua. Meskipun pria itu belum bergerak sama sekali sampai saat ini, aku dapat merasakan banyak napas yang tertahan menunggu gerakannya walau hanya secuil.
Tatapanku jatuh di tangan kiri pria itu yang memegang sebilah pedang runcing dengan mata menjulur ke lantai sehingga darah segar yang menempel jatuh menetes perlahan. Di dekat kakinya, terlihat empat pria berjubah hitam sudah tak bernapas yang sepertinya telah diserang oleh ketajaman pedang berdarah tersebut. "Bagaimana ini? Ard-TÍarna O'Wynford kehilangan kendali saat ini," bisik seseorang cemas yang terdengar jelas karena suasana yang begitu hening. "Kita semua akan dibunuhnya," lanjut suara itu bergetar. "Lord pembantai itu akan menghabisi kita semua."
"Lindungi Yang Mulia," kata seorang dari arah lainnya.
Aku mendengar suara langkah berirama berjalan semakin jauh ke belakang. Aku tak tahu apa yang terjadi, tetapi mengerti bahwa orang yang ingin dilindungi itu bukan aku melainkan seseorang yang posisinya berada cukup jauh dari tempatku berdiri. Alis mataku mengernyit sekali lagi, bukankah akulah sang sandera? Kenapa tak ada seorang pun yang berinisiatif menolongku?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lady Who Can Catch Me [HAI SnackStory/End]
Historical FictionMy Snack Stories Time for you.