Wawancara yang disepakati Raya dan Kirino akhirnya datang juga. Raya tidak bisa berhenti menyembunyikan kegugupan yang muncul. Berkali-kali ia meminum air mineral dan kegugupannya masih terasa. Ia juga menarik dan mengeluarkan napasnya perlahan, berharap dirinya bisa lebih tenang.
Raya sudah ada di lokasi pertemuan sejak tiga puluh menit yang lalu bersama Kevin. Tapi mendadak saja Kevin harus pergi karena urusan organisasi yang mendesak. Raya meyakinkan Kevin kalau ia akan baik-baik saja menunggu sendirian.
"Gue tetep khawatir," kata Kevin dengan sorot matanya yang sama sekali tidak berbohong. Tangannya bergerak mengetikkan sesuatu di ponselnya. "Gue suruh Ino cepat-cepat ke sini, deh, ya."
"Eh, nggak usah," sahut Raya cepat. "Takutnya dia masih sibuk."
Kevin mengabaikan itu dan tetap meminta Kirino segera ke lokasi yang sudah disepakati. Akhirnya Kevin benar-benar pergi dan tersisa Raya sendiri, berusaha mengontrol debar jantung yang mendadak menggila.
"Santai, Ya," katanya pada diri sendiri. "Cuma wawancara biasa kok. Semangat!"
Ia tersenyum dan memandang ke depan. Tepat pada saat itu, netranya menemukan Kirino sedang berjalan ke arahnya dengan senyum.
Begitu Kirino duduk, Raya cuma bisa menyapanya pelan dan dihadiahi tawa oleh Kirino
"Santai aja, Ya," katanya. "Mau mulai sekarang atau makan dulu?"
Otak Raya mendadak tidak bisa diajak bekerja sama saat melihat Kirino. Raya cuma ikut tersenyum canggung karena di depannya kini Kirino masih tersenyum. Raya berdeham pelan, mencoba mengurangi rasa gugupnya. Tangannya bergerak membuka buku catatan dan membaca beberapa pertanyaan yang ingin diajukan. "Kalau mulai sekarang nggak apa-apa, kan?" tanya Raya yang diikuti anggukan kepala oleh Kirino.
"Gue rekam ya, Kak?" Raya menyalakan perekam suara dan mendorong ponselnya untuk lebih dekat dengan Kirino.
Acara wawancara itu berjalan dengan seru, setidaknya itu yang dirasakan oleh Kirino. Sudah lama ia tidak mengobrol semenyenangkan ini. Keduanya banyak bercerita tentang masa SMA dulu yang ternyata banyak yang tidak disadari oleh keduanya.
"Gue pikir lo pacarnya Janu."
Raya tertawa pelan mendengar pernyataan yang entah ke berapa kali ia dengar dalam hidupnya. "Kenapa mikir gitu?"
"Lo tau sendiri Janu kayak gimana, kan? Terus cewek yang deket banget kayaknya cuma lo?"
Raya mengerjapkan matanya. "Emang dulu lo tau gue, Kak?"
"Enggak, sih," Kirino menyengir. "Gue cuma denger aja katanya Janu tuh punya pacar, adik kelas. Gitu doang."
Raya terdiam selama beberapa detik. Bukan sekali dua kali ini ia mendengar orang lain menganggap Januar adalah pacarnya, tapi entah kenapa mendengar hal itu dari Kirino membuatnya tidak nyaman. Ia membenarkan duduknya dan berkata pelan, "Gue bukan pacarnya."
Kirino tersenyum lagi, entah kenapa Raya merasa senyumnya lebih lebar dari sebelumnya dan... tidak biasa. Raya mendadak gugup karena dengan senyum yang masih ada, Kirino bertanya tanpa aba-aba, "Lo masih suka gue?"
Raya membuka mulutnya, tapi ia tidak bisa mengucapkan apa-apa. Bola matanya bergerak gelisah memperhatikan Kirino yang masih memasang senyum. Biar apa lo nanya gitu, anjir? Cuma itu respons yang bisa dikeluarkan otak Raya, meskipun ia mengucapkan dalam hati.
"Lo masih suka sama gue? Sampai sekarang?" Kirino bertanya lagi, kali ini senyumnya mulai luntur ketika pertanyaan selanjutnya keluar, "Kenapa?"
Raya masih memandang Kirino dengan gelisah. Kali ini benar-benar tidak ada lagi senyum dan matanya menatap Raya lurus-lurus. Raya menelan saliva, berusaha membasahi kerongkongan yang mendadak kering.
"Apanya?" cicit Raya pelan, masih tidak mengerti kenapa tiba-tiba Kirino menanyakan hal ini. Tidak pernah terbesit sedikit pun di pikiran Raya kalau Kirino akan menanyakan hal ini. Raya bahkan tidak tahu kalau Kirino selama ini tahu akan perasaannya. Sejak kapan ia tahu?
"Kenapa lo suka gue?"
Raya tidak tahu harus menjawab apa. Sejak tadi otaknya mendadak tidak bisa diajak bekerja sama. Hal yang dilakukannya sejak tadi cuma memandang Kirino dengan gelisah, serta tangannya yang saling meremas di bawah meja.
"Nggak tau..."
Kirino menghela napas panjang, kemudian senyumnya terukir di wajahnya. Raya ikut menarik senyum, meskipun cuma beberapa detik. Aliran darahnya mulai mereda karena wajah Kirino tidak tegang seperti sebelumnya.
"Lo beneran suka gue dari kelas satu?"
Raya cuma mengerjapkan matanya. Degup jantungnya kembali terasa lebih keras, bahkan ia takut jika Kirino bisa mendengarnya.
"Kenapa?"
Jari Raya masih saling meremas, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Ia berteriak berkali-kali dalam hatinya, tapi suaranya sama sekali tidak bisa ia keluarkan. Berhenti tanya kenapa, gue nggak tau! Nggak tau!
"Raya, boleh gue minta satu hal?"
Raya cuma memandang Kirino. Matanya menggelap seiring dengan kata-kata yang didengarnya hari ini.
"Jangan suka gue," kata Kirino pelan. "Jangan menyiksa diri sendiri dengan suka seseorang selama empat tahun. Sia-sia kalau lo masih lanjut suka sama gue."
Raya sudah tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain betapa jahatnya orang di hadapannya kini. Bagaimana bisa orang di depannya ini memintanya menghentikan perasaan?
Kalau bisa, dari dulu juga udah gue lakuin, Kak. Raya tertawa dalam hati. Matanya yang mengerjap cepat, berusaha menghalangi air matanya yang siap tumpah kapan saja.
Satu hal yang Raya ketahui hari ini adalah, Raya tidak pernah mengenal Kirino. Empat tahun yang dilakukannya sebagai usaha "mengenal" Kirino dari jauh, tidak pernah cukup untuk memahami manusia di hadapannya.
"Kak... kenapa lo tau kalau gue..." Raya mengambil napas cukup banyak dan mengeluarkannya perlahan, "suka lo selama empat tahun?" Akhirnya Raya bertanya pelan setelah berhasil menguasai diri. Matanya menatap Kirino yang kini tersenyum.
"Dari blog lo."
Raya membiarkan beberapa detiknya terbuang, berusaha mengingat isi tulisan blognya dan ia merasa tidak pernah sekali pun menuliskan nama subjek di dalam tulisannya.
"Tapi gue nggak pernah nulis nama lo?"
"Iya," sahut Kirino. "Janu yang bilang ke gue."
"Hah?"
"Dia juga yang nyuruh gue baca blog lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost and Found
Fanfiction"Is it possible, in the final analysis, for one human being to achieve perfect understanding of another?"