Bukan senyum manis yang terukir dibibir tipis Meira. Melainkan senyum bengis penuh keterpaksaan saat menyambut tamu dari kedua orang tuanya.
Syok, marah, kecewa dan bingung. Itulah yang Meira rasakan saat ini. Seharusnya malam ini ia bisa berkumpul dengan keluarganya seperti biasa. Karena menjelang semester akhir, Meira memilih tinggal di apartemen agar lebih dekat dengan kampus.
Pantas saja mamanya menyuruh Meira berpakaian rapi. Ternyata tamu malam ini adalah tamu untuk dirinya. Dari yang Meira simak arah pembicaraan kedua orang tuanya dengan tamu itu adalah perjodohan keluarga yang memang sudah direncanakan jauh-jauh hari.
"Nak Meira ini sudah semester berapa?" tanya pria paruh baya yang seumuran dengan papa Meira itu dengan ramah.
"Semester 5 om," Meira menjawab lirih.
"Sebentar lagi lulus, oiya kamu sudah kenal anak om, 'kan?"
Meira menatap pria yang duduk di sebelah papanya. Tentu saja Meira kenal, siapa sih yang tidak kenal dengan Dhafin Ilham Alfarizi? Dosen alim idaman seantero Universitas. Beliau juga dicap sebagai 'Imam idaman' oleh sebagian mahasiswi. "Kenal, om."
"Bagus deh kalau udah saling kenal, mama senang dengarnya," Santy–mama Meira tersenyum senang.
"Pak Dhafin dosen Meira, Ma."
"Mama tau, kok." Santy tersenyum. "Meira kalau di kampus gimana, Fin?"
"Kadang suka ngobrol dengan temannya," Dhafin menjawab jujur. Memang mahasiswi yang satu itu cukup sering mengobrol saat ia mengajar.
"Meira nggak boleh gitu, kamu udah mau lulus loh! Ngobrolnya dikurangin," peringat Santy.
"Iya, Ma," pasrah Meira. Padahal yang sering mengobrol saat pelajaran itu Vina, ia hanya sebagai pendengar saja. "Boleh Meira bicara sama Pak Dhafin, Ma? Sebentar aja."
"Boleh sana. Tapi jangan lama-lama, ya. Berduaan nggak baik, kalian belum sah nanti ketiganya setan." Mama Meira terseyum, ia memberi waktu pada anaknya untuk mengobrol secara pribadi dengan calon suaminya.
——————
Di bangku taman samping kediaman keluarga Oemar. Meira dan Dhafin duduk berjauhan, sama-sama diujung. Karena bagi Dhafin, mereka bukan mahram.
"Bapak udah tahu kalau kita mau dijodohin?" Meira membuka obrolan setelah lama terdiam.
"Udah."
"Kenapa nggak nolak aja?"
"Apa alasan buat nggak menuhin keinginan kedua orang tua saya?"
"Ya.. Bapak tolak halus dong harusnya. Kita kan belum kenal lama masa dinikahin. Lagian saya punya pacar, Pak."
"Kamu pacaran?"
"Iya. Saya nggak bisa putusin pacar saya gitu aja."
Meira merasa tatapan mata Dhafin berubah tajam saat tahu ia punya pacar. "Memangnya dia siapa?"
"Lagian, pak, ini zaman milenial 2020 masa masih ada perjodohan? Memang ini zaman Siti nur baya apa?" Jika teman-teman Meira di kampus sangat mengidolakan Dhafin, lain halnya dengan Meira. Dia berbeda, tidak tertarik sedikitpun dengan dosen itu.
Dhafin tersenyum tipis. "Memangnya perjodohan cuma ada di zaman Siti nur baya aja? Orang tua kamu dan saya juga dulu menikah karena perjodohan, 'kan?"
Skakmat! Meira terdiam. Memang dikeluarganya sudah sedari dulu mengadakan perjodohan untuk setiap anggota keluarga. Dan jika dulu ia sangat mendukung tradisi itu, mulai saat ini ia menentang keras. Meira tidak mau menikah dengan orang yang tidak ia cintai, begitupun sebaliknya.
Meira juga sudah punya pilihan. Ia yakin kekasihnya saat ini adalah pilihan yang tepat dan terbaik.
Selama 20 tahun Meira hidup. Baru kali ini ia akan mencoba menentang keputusan papa dan mamanya. Ya, Meira akan menolak perjodohan ini.
Ini hidupnya. Menikah memang mudah tapi efeknya seumur hidup. Meira mau menikah hanya sekali dalam hidupnya. Untuk itu ia sudah memutuskan.
——————
"Meira menolak perjodohan ini, Mah, Pah. " Suara lantang atas penolakan Meira di hadapan keluarga besar. Semua mata tertuju berganti ke arah Meira dan Dhafin.
"Nak, mungkin ini terlalu mendadak bagi kamu. Kita nggak memaksa kamu sekarang, sayang. Kamu masih boleh ta'aruf dulu dengan Dhafin," ucap Santy.
"Selama hidup Meira, Meira nggak pernah menolak permintaan mama dan papah. Tapi kali ini, maafin Meira. Masih ada cita-cita yang harus Meira kejar. Lagipula Meira sudah punya pacar, Ar--"
"Arga Atmajaya. Mahasiswa semester 8 fakultas arsitektur, tapi sampai sekarang belum mengajukan judul skripsi pada dosen pembimbing. Saya perkirakan akan lulus diakhir semester 10, karena ada banyak mata kuliah yang harus diulang," sambung Dhafin tanpa diminta.
"Pak, bisa diam nggak? Saya nggak minta bapak untuk ngomong," ketus Meira. "Mending bapak urusin hidup bapak tuh, nggak laku-laku sampai harus banget dijodohin segala."
"PLAKK" Satu tamparan Surya-papah Meira mendarat di pipi anak bungsunya. "CUKUP MEIRA!" ucap Surya penuh amarah. Santy berusaha menenangkan Meira yang meringis memegangi pipi merahnya.
"Papah nggak pernah lajarin kamu bicara seperti itu ke orang lain! Lagipula papah ngga pernah setuju dengan hubungan kamu dan pacar kamu itu. Minta maaf sama Dhafin dan orang tuanya," perintah Surya.
Air mata Meira perlahan mengalir. Entah akibat rasa sakit pada pipinya atau malah hatinya. Ini kali pertama papah menampar Meira bahkan di hadapan orang lain.
"Papah nampar Meira cuma karena belain dosen ini? Papah nggak pernah kaya gini ke Meira. Papah jahat!" Meira meninggalkan ruang tamu. Berlari keluar rumah dengan mata sembab oleh air mata.
"Meira, kamu mau kemana?! Meira!" Surya ingin mengejar tetapi Santy menahannya.
——————
Author's note
Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Gimana kabarnya nih teman-teman? Semoga selalu dalam lindungan Allah, ya.
Author mau infoin kalo ada perubahan di cerita Aksara Cinta. Maaf banget, buat yang udah baca Aksara Cinta dari awal, mungkin bisa dibaca ulang lagi, ya.
Author masih sangat awan jadi sangat menerima kritik dan saran dari teman-teman.
Semoga bermanfaat.
Happy reading.
Jazaakumullahu khayran.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA CINTA
Romance#2 in Romanceislam 3 Juli 2020 #1 in Romanceislam 5 Juli 2020 Menjalani kehidupan baru dengan dosen dingin yang penuh aturan sangat menyebalkan bagi Meira. Terlebih lagi, kehidupan Dhafin bertolak belakang dengan dunia gadis bertubuh mungil tersebut...