Sebuah Pembuktian

9 1 0
                                    

"Yah, nyesel ngomong sama Lu, Bray! Bukannya dikasih masukan, malah diketawain," keluh Ridwan menanggapi respon Hendi yang tidak sesuai harapan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yah, nyesel ngomong sama Lu, Bray! Bukannya dikasih masukan, malah diketawain," keluh Ridwan menanggapi respon Hendi yang tidak sesuai harapan. Ia pun kembali menggeser duduknya, sedikit menjauh dari Hendi.

"Haha, ok ok. Sorry," jawab Hendi. "Gak usah manyun gitulah. Baperan amat, Lu!" Sambungnya.

Hendi dan Ridwan masih terlibat obrolan seru tentang perempuan yang menyibukan pikiran mereka. Hendi baru saja terkesima oleh pesona gadis sederhana. Ana, adik sahabatnya sendiri. Ridwan belum bisa move on. Perasaannya ke Nurul yang lebih dari sekadar teman masih tertanam.

Obrolan mereka mengarah pada satu kata, "Serius". Usia yang sudah tidak muda lagi membuat Hendi berpikir untuk mengakhiri petualangan cintanya.

Ridwan juga demikian. Mau menunggu apalagi. Apa-apa yang ia cita-citakan, hampir terwujud semua. Satu yang masih jadi PR besar di usianya sekarang. Memenuhi permintaan kedua orang tuanya untuk mempunyai menantu. Ya, bukan karena permintaan orang tua juga, tetapi mungkin sudah saatnya bagi Ridwan untuk lebih serius mempersiapkan ke arah pernunahan, bukan sekadar sibuk mempertanyakan perasaan.

Menjelang senja, Hendi berpamitan. Mereka berdua bersalaman begitu erat. Diakhiri pelukan sambil menepuk-nepuk punggung.

"Good luck, Bro!" Kata Ridwan melepas jabat tangannya.

"Sama. Lu juga. Semoga Nurul masih memyimpan rasa yang sama," ucap Ridwan.

Kompak, mereka berdua mengucapkan amin.

***

Dua pekan kemudian ...

Sebuah percakapan di WhatsApp dimulai, Hendi dan Wahyu saling berbalas pesan. Hendi yang memulai percakapan itu.

"Mas Bro ada di rumah, kan?"

"Ada, kenapa?"

"Gue mau ke rumah."

"Emang Lu ada di kampung, Bro? Bukannya dah berangkat ke kota, ya?"

"Dah balik dari kemarin. Ada keperluan sangat penting."

"Urusan apa nih? Bolehlah kalau urusan bisnis bagi-bagi ke gue juga."

"Entar juga Lu tahu sendiri. Betewe, orang tua ada di rumah juga?"

"Ada ..."

"Adik lu? Ana, juga ada?"

"Ada! Kenapa sih, sekeluarga gue ditanyain semua? Si mba yang suka beres-beres rumah juga ada. Kenapa?"

"Syukurlah kalau ada, sih. Gue meluncur sekarang," pungkas Hendi.

"Ada apaan sih, Bro," tanya Ridwan, penasaran. Sayangnya rasa penasarannya berlanjut. Hendi tidak membalas pesannya lagi.

Beberapa puluh menit kemudian, seorang laki-laki berkemeja warna krem, celana bahan, dan sendal kulit khas orang kaya. Rambut pendek, rapih. Tampak baru dipangkas beberapa hari sebelumnya.

Hendi mengetuk pintu dan mengucalkan salam. Kebetulan, Ana yang membukakan pintu untuknya. Kali ini Hendi sudah bisa mengendalikan.

"Ayah ada, Neng?" Tanya Hendi sambil sedikit berjongkok.

"Ada, silakan masuk Mas. Saya panggil dulu, ya?" Jawab Ana. Setelah itu ia memanggil ayahnya.

Tak lama kemudian, pak Sholeh, ayah dari Wahyu dan Ana pun tiba di ruang tamu. Pak Sholeh sempat menghentikan langkahnya. Matanya sedikit melotot, ingin memastikan tamu yang mendatanginya benar-benar Hendi atau bukan? Pasalnya pak Sholeh juga sedikit banyaknya tahu kredibilitas Hendi seperti apa.

"Ini Nak Hendi, bukan?" tanya pak Sholeh.

"Iya, pak." Jawab Hendi.

"Bapak pikir mau nemuin Wahyu. Gimana, ada perlu apa?" Sahut pak Sholeh.

Hendi kemudian menjelaskan perihal kehadirannya itu. Soal ia suka dengan anaknya. Dan Hendi pun menyampaikan keseriusannya ingin meminang Ana untuk jadi istrinya kepada ayah Ana secara langsung.

Wahyu mendengar secara jelas apa yang diperbincangkan Ayah dan sahabatnya, Hendi. Tiba-tiba ia memotong pembicaraan. Menarik tangan Hendi lalu meminta izin ayahnya untuk bicara empat mata dengan sahabatnya itu.

"Lu, jangan macam-macam! Ana adik gue. Kalau masih mau mencari perempuan untuk dipermainkan cintanya, silakan! Tapi bukan adik gue," tegas Wahyu sambil mengangkat telunjuknya dan mengarahkan ke wajah Hendi.

"Eits, sabar dulu, Sob. Gak usah ngegas!" Hendi menurunkan telunjuk Wahyu dari mukanya. Lalu menepuk-nepuk pundaknya. "Lu pikir, gue main-main. Datang ke sini, berpenampilan rapi, nemuin bokap Lu, ngomong baik-baik. Bagian mananya yang main-main?" sambungnya, santai tapi tegas.

Wahyu hanya diam. Ia memalingkan wajah dari sahabatnya itu. Dari pintu ruang tamu nampak Ana memperhatikan apa yang mereka berdua bicarakan. Ia hanya menganggukan kepalanya saja.

"Boleh saya masuk lagi?" tanya Hendi.

Wahyu hanya terdiam sambil tolak pinggang. Menahan diri, menahan emosi. Hendi meninggalkan Wahyu di luar, kembali menemui pak Sholeh dan Ana.

"Diminum Kang, tehnya," ucap Ana mencoba mendinginkan suasana. Hendi hanya teraenyum saja, lalu mengambil secangkir teh di hadapannya. Pak Sholeh pun melakukan hal yang sama. Lalu keduanya berbarengan menyimpan cangkir itu ke tempat semula.

"Hmmm, Bapak mungkin sedikit banyaknya tahu tentang Hendi. Entah mengetahui sendiri atau info dari Wahyu. Tapi kali ini Hendi serius ingin mempersunting Ana," kata Hendi mengawali kembali perbincangan mereka.

Sedari awal, Ana tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Pendengar setia saja. Bahkan saat kakaknya berbicara dengan nada tinggi pada Hendi, ia hanya melihat dari jauh. Padahal ia juga ingin menengahi, tapi tidak berani.

"Kalau saya melihat Hendi anak yang baik dan tanggung jawab. Soal Hendi suka ganti-ganti pacar, itu urusan Hendi. Tapi kalau sudah memutuskan untuk serius dengan Ana, bakal jadi urusan saya," tegas pak Sholeh. Kalimatnya singkat tapi cukup jelas memberikan lampu hijau untuk Hendi.

"Nah, sekarang Nak Hendi tanya langsung sama Ana. Mau nggak serius sama Nak Hendi," ucap pak Sholeh lagi.

Ana tertunduk, semakin tak bersuara. Kedua tangannya nampak meremas sofa yang ia duduki. Wahyu tiba-tiba masuk, pun ingin tahu jawaban adik satu-satunya itu.

Entah beberapa menit Ana belum juga bersuara. Wahyu yang tadinya berdiri di dekat pintu, jadi ikut duduk di bersama Ayah dan sahabatnya. Kemudian Ana menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya. Dan masih tak mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menganggukan kepalanya saja.

"Kamu serius, Na?" tanya Wahyu memastikan keputusan adiknya. Ana mengangkat wajahnya, dan hanya mengucapkan, "Insya Allah, A. Serius."

Wajah Hendi berseri-seri. Senyumnya lebar sekali. Lalu ia menghamburkan badannya ke arah Wahyu. Memeluknya kencang, sambil digoncang-goncangkan. Setelah itu meraih tangan kanan Wahyu lalu menciumnya. "Doakan aku, A Wahyu. Insya Allah aku akan jadi adik ipar yang baik untukmu," canda Hendi. Lalu ia juga menyalami pak Sholeh dan mencium tangannya, tapi tidak pakai becanda. Bisa lain urusannya.

"Ok, bapak tunggu keseriusan Nak Hendi. Ini hanya awalan saja. Nanti ajak orang tua Nak Hendi ke sini, ya!" Pak Sholeh berdiri dari duduknya dan meninggalkan ruang tamu.

Hendi ingin sekali memeluk Ana yang baru saja menerima cintanya. Namun, ia tahu Ana perempuan baik-baik dan pandai menjaga diri. Ditambah ada bodyguard yang sedari tadi stanby terus tak mau berpaling. Jadi ia harus sabar sampai waktunya tiba.

"Bro, kalau sampai Lu main-main doang sama adik gue, persahabatan kita taruhannya", tegas Wahyu pada Hendi. Kali ini tidak pakai telunjuk mengenai wajah.

"Haha siap, A Wahyu," kelakar Hendi, sifat aslinya keluar. "Kita foto dulu ...," lanjut Hendi sambil meraih handphone dari sakunya.

Perbincangan antara Hendi, Pak Sholeh, Ana, dan Wahyu diakhiri dengan swafoto. Mereka bertiga saja, Pak Sholeh tidak ikut serta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pejuang PelaminanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang