Jeon Jungkook tidak pernah berbohong.
Entah saat berkata ada dua sosok monster mengerikan di dalam rumahnya atau ketika berkata akan membawa lima ekor kepala ayam saat pesta ulang tahun Kim Namjoon, anak kepala desa. Pun kala berujar akan terjadi kerusuhan di sekitar desa pukul tiga dini hari.
Aku tak tahu bagaimana Tuhan menciptakan isi kepala bocah tiga belas tahun itu. Berdiri dengan ekspresi setenang air danau di depan pagar rumahnya ketika semua orang berteriak histeris menatap gumpalan asap merah berdiri gagah menghiasi langit semesta. Aku tercekat kala menemukan Nyonya Jeon tak sadarkan diri di pelukan sang suami. Terdengar sayup suara sirine meraung dari kejauhan dan saat itulah Mama datang dengan wajah cemas menarikku untuk kembali pulang. Namun sosok Jungkook menghentikan kami.
"Terlalu ramai, ya? Aku juga tidak menduga akan seramai ini." Tangannya bergerak mengusap tengkuk. Ia terkekeh.
Mama dan aku hanya saling pandang beberapa detik. Mengerjap risau aku lantas bertanya dengan suara parau.
"Jeon, apa yang.."
"Mhm.. semacam ritual untuk memanggil semua orang, mungkin."
"Sinting. "
Mama bergerak mengusap puncak kepala Jungkook setelah menyenggol lenganku. Ia berkata sangat lembut seolah mencoba menguatkan sosok di hadapannya. Meski aku yakin wanita seperempat abad itu sama sekali tak paham apa yang Jungkook katakan.
Jungkook tak menangis, ia tersenyum. Jungkook tak merasa panik, justru terlihat luar biasa bahagia. Ia tertawa lantang sampai-sampai setetes cairan bening merembes pada permukaan wajah saat Mama mendekap hangat tubuhnya.
Jeon Jungkook kesepian.
Oh, salah besar. Asumsiku ternyata tidak sepenuhnya benar.
Tepat hari ke delapan setelah keluarga Jeon memilih untuk mencari hunian baru, kupikir mereka benar-benar meninggalkan desa. Tapi ternyata sosok Jungkook acap kali datang untuk sekadar berdiri mematung di depan puing-puing bangunan yang sudah menjadi abu.
"Rindu rumahmu?"
Jungkook tak lekas menjawab. Netranya menelisik mengamati sudut-sudut bangunan seolah mencari sesuatu yang hilang. Ada sekelumit perasaan khawatir bercokol saat kudapati tatapannya berubah kosong.
"Tidak." Jawabnya terlewat dingin, enggan menatapku kendati aku sudah memusatkan perhatian padanya sejak ia mendaratkan tungkai di tempat ini. Ini agak menyebalkan, sih. Mengingat hal pertama yang ku lihat saat pertama kali membuka jendela adalah rumah kelurga Jeon yang telah hangus tak tersisa.
"Jadi, kenapa kemari?"
Ia menyunggingkan seulas senyum. Hanya bergidik bahu menanggapi pertanyaanku, "Mencari tumbal."
Entah dorongan macam apa yang membuatku mengeluarkan suara sumbang terlewat aneh. Aku tertawa, padahal Jungkook tengah melototiku dengan tatapan kesal.
"Tidak sopan. Aku kan bicara jujur," ia melirik arloji di tangannya dengan ekspresi sendu. Lantas kembali berkata dengan nada ketus, "Kenapa malah tertawa seperti melihat hantu, sih?"
"Maaf, Jeon. Aku tahu selera humormu itu sedikit err.. payah. Tapi kurasa yang tadi boleh juga."
"Rindu Luna."
"Apa?"
Jemari Jungkook tahu-tahu sudah bergerak meraih surai legamku. Aku meringis merasakan permukaan kulit kepalaku seperti ditarik paksa. Ia menyeringai tatkala jarinya berhasil menarik beberapa helai rambut di dalam genggaman. Lantas terkekeh puas saat mendapati wajahku sepucat perasan susu.
Demi naga peliharaan Mama aku berani bersumpah. Sekarang wajahku pasti terlihat seperti bocah dua tahun yang menahan nafsu buang air besar.
Gila. Jeon Jungkook sangat memabukkan.
Aromanya, wajahnya, tubuhnya. Seakan dipoles sempurna oleh sang pencipta. Membuat anak-anak sebaya kami menatapnya penuh kagum dan tak sekali membuatku terjerumus semakin dalam menyukainya.
"Ayo bertemu sepuluh tahun lagi."
Aku stagnan. Nyawaku seolah ditarik menghantam kesadaran saat ia kembali melanjutkan.
"Ah, ya, pastikan rambutmu tidak tumbuh melebihi bahu. Aku suka gadis berambut pendek, Jo."
Bodohnya sejak hari itu aku percaya bahwa Jungkook akan menepati janjinya, sebab ia tidak pernah berbohong. Namun, selang tahun ke dua setelah kepergiannya, semua luruh kala Jung Hoseok mengumumkan kabar duka di depan kelas. Wajahnya suram. Penuh ketakutan. Semua murid pun betah membisu kala Hoseok berkata bahwa Jeon Jungkook membakar dirinya hidup-hidup.
Kesadaranku hampir tumbang. Namun kembali mencuat ke permukaan kala mendapati Hoseok menatapku takut-takut saat meletakkan secarik kertas usang dengan sisi yang sedikit gosong di sudut meja. Aku buru-buru meraihnya sebelum mengumpat pelan saat menelisik deretan huruf di sana.
'Ayo bertemu di neraka, Jo Luna'
.
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lagom
FanfictionI grew a flower that can't be bloomed in a dream that can't come true. ㅡ 2020 April, 9th